"Negara ini telah mengambil kebijakan moderasi dari hulu ke hilir. Sebab, agama dianggap tidak boleh berposisi di atas kebijakan nasional."
Oleh. Dia Dwi Arista
NarasIPost.com-Semakin mendekati akhir zaman, anehnya kaum muslim malah banyak yang beralih memilih Islam kaffah sebagai resolusi. Padahal, syahdan dikatakan jika umat akhir zaman adalah seburuk-buruk umat. Padahal, Islam kaffah sangat berbahaya bagi eksistensi kedigdayaan para bangsa kolonial. Maka liberalisasi haruslah digencarkan agar kaum muslim semakin jauh dari agamanya.
Sayangnya, kaum muslim tak terkecoh dengan istilah 'Islam liberal', mereka hanya butuh ganti istilah menjadi 'Islam moderat' untuk dengan senang hati menerima ide-ide yang sama dengan pendahulunya. Bukankah mudah untuk mengelabui kaum muslimin? Padahal, dulu kaum kafir mati-matian menciptakan segala uslub agar pikiran kaum muslim teracuni. Ternyata kuncinya hanya ada pada Khilafah.
Ya, Khilafah merupakan benteng kukuh yang melindungi kaum muslimin dari segala mara bahaya, baik fisik maupun nonfisik seperti pemikiran rusak. Sadar akan gembok yang harus dirusak, kaum kafir segera berunding untuk meruntuhkan Khilafah dari muka bumi. Perjuangan panjang kaum kafir akhirnya berbalas, hingga meruntuhkan Khilafah pada tahun 1924 M. Dan pada saat itu, benteng terakhir kaum muslim telah lenyap. Tak ada lagi institusi yang berjuang demi salihnya kaum muslim.
Saat ini baru kita sadar, ternyata tidak mempunyai negara seakidah bagai hidup memegang bara api, mati segan hidup tak mau. Sistem kapitalisme yang dipaksakan menjadi aturan, akhirnya menjadi malapetaka tak hanya dalam urusan agama, namun berbagai aspek kehidupan seperti tercampur racun. Ekonomi rusak, moral hancur, politik rusuh, korupsi marak, kejahatan apalagi!
Namun sayangnya, hati bagai telah membatu. Kerusakan di depan mata nyatanya yang dikambinghitamkan malah syariat Islam. Sebab, semua arah bidikan kejahatan seperti diarahkan pada kaum muslim yang taat syariat. Akhirnya syariat dibredel dengan dalih moderasi. Adakah mata dan hati kita salah melihat dan merasa?
Negara ini telah mengambil kebijakan moderasi dari hulu ke hilir. Sebab, agama dianggap tidak boleh berposisi di atas kebijakan nasional. Sayangnya, target moderasi seperti hanya diarahkan kepada Islam dan syariatnya. Pelajaran-pelajaran dirombak dan gaung moderasi dikeraskan. Bahkan, para influencer pun tak ketinggalan untuk menyuarakan moderasi dengan menyudutkan Islam pada saat yang sama. Seolah Islam dianggap agama yang paling intoleran.
Bahkan, akidah pun menjadi barang gadaian. Demi terlihat paling bertoleransi, gereja pun dijaga, outfit Natal tak lupa dipakai, sambil mengucapkan selamat Natal pada pemeluknya. Padahal toleransi bukanlah mencampur-adukkan ajaran, namun membiarkan.
Bangsa ini ingin sebuah resolusi. Resolusi menjadi negara yang lebih sekuler dan liberal. Maka jalan moderasi diperjuangkan. Rupanya peta jalan masa depan Indonesia sudah diproyeksikan dengan menjadikan moderasi sebagai jalan menuju Indonesia yang lebih liberal dan moderat.
Resolusi hendaknya menuju arah perbaikan. Pun seorang muslim harus meyakini bahwa Islamlah satu-satunya jalan menuju kebaikan. Namun agaknya mereka tidak paham. Hidup bebas dan bergelimang harta dianggap sebagai sandaran.
Andai mau sedikit berpikir, dari manakah istilah moderasi ini berakar, maka kaum muslim akan dapat menemukan bahwa dirinya dan agamanya sedang diadu domba. Menjadikan Al-Baqarah ayat 143 sebagai dalil moderasi, sungguh adalah pemikiran dangkal. Islam jelas telah memiliki segala perangkat dalam memaknai ayat Al-Qur'an, para ulama muktabar telah menjelaskan istilah ummatan washaton dengan gamblang.
Dalam riwayatnya Imam Ath-Thabari menggunakan jalan riwayat dalam memaknai sebuah ayat, wasath bermakna al-'adl (adil), sebab umat yang mempunyai keadilan dalam dirinyalah yang mampu menjadi umat pilihan. Begitu pula Syaikh Atha ibn Khalil, memaknai wasath sebagai umat pilihan. Sebab, Allah menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai saksi yang adil bagi umat manusia.
Jadi, istilah ummatan wasathan dimaknai dengan umat pilihan dan adil. Yaitu, umat yang adil dengan menjadikan syariat Islam sebagai jalan hidup. Bukan sebaliknya, dimaknai ala Barat yang tentu tak paham dengan syariat Islam. Mereka memaknai ummatan wasathan dengan arti umat yang moderat maka hal itu adalah pengaburan makna yang fatal.
Berhati-hatilah dalam memaknai dalil, mengikuti ulama muktabar bukan ulama moderat adalah langkah benar. Sebab, hari ini telah muncul umala' berbaju ulama. Pilihan kita menentukan posisi, di sisi hitam atau putihkah kita?
Allahu a'lam bis-showwab.[]