"Untuk apa status inkonstitusional itu ditetapkan bila masih disertai embel-embel bersyarat? Apakah ini sekadar untuk menenangkan gejolak rakyat padahal sejatinya mengelabui?"
Oleh. Dwi Indah Lestari
NarasiPost.Com-Meski mengabulkan uji formal terhadap UU Cipta Kerja, namun nyatanya MK masih berat hati membatalkannya. Padahal jelas putusan itu membuktikan UU tersebut cacat secara konstitusi. Keadilan dalam sistem demokrasi rupanya seperti fatamorgana yang penuh ilusi. Tampak air yang menyegarkan, namun nyatanya hanya tipuan saja.
MK melalui putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formal Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), jelas mengakui bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Namun ternyata MK kemudian memberikan pemakluman inkonstitusional bersyarat dengan beberapa alasan, alih-alih membatalkannya.
Sikap MK ini kontan menuai kritikan. Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai putusan tersebut justru terlihat ambigu. MK sepertinya tengah berusaha memfasilitasi berbagai kepentingan terhadap UU Cipta Kerja, sehingga mengambil jalan tengah, yaitu dengan memberikan tenggat 2 tahun bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan.
Ironisnya, selama masa 2 tahun untuk dilakukannya perbaikan, UU Cipta Kerja tetap berlaku. Jika begitu, maka putusan MK tersebut sepertinya tidak akan memberikan dampak apa pun bagi rakyat. Segala kepentingan yang telah berjalan berdasarkan UU tersebut tetap aman berjalan selama masa 2 tahun itu.
Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan adanya kemungkinan pertimbangan politik di balik putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat itu. Bahkan meski dinyatakan dikabulkan, namun pihak pemohon sejatinya tidak mendapatkan kemenangan. (cnnindonesia.com, 27 November 2021)
Senada dengan hal itu, anggota Komisi I DPR RI, Fadli Zon, menyebutkan UU Cipta Kerja sudah bermasalah sejak awal dan bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu, ia menyatakan seharusnya UU tersebut dibatalkan. Selain itu terlalu banyak “invisible hand” di dalamnya, sehingga dalam 2 tahun, pasal yang tidak diperbaiki tidak akan bisa digunakan lagi. (news.detik.com, 27 November 2021)
Ilusi Keadilan dalam Demokrasi
Dengan tetap berlakunya UU Cipta Kerja, kepentingan para korporat dan oligarki akan tetap terlindungi. Sementara rakyat, terutama kaum buruh, yang paling merasakan dampaknya, tetap akan terus merasakan penderitaan. Termasuk berbagai kerusakan yang mungkin akan ditimbulkan dari penerapan UU tersebut, juga akan terus berlangsung.
Padahal rakyat jelas berharap dengan ditetapkannya UU ini sebagai aturan yang cacat hukum, maka dapat dibatalkan penerapannya. UU Cipta Kerja sejak awal disahkan telah mengundang penolakan dari berbagai pihak. Sebab isi di dalamnya merugikan rakyat dan lebih berpihak pada kepentingan konglomerat, di samping proses pembentukannya yang tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Namun sepertinya rakyat tidak bisa mengharapkan MK akan memberikan keadilan itu.
Hal ini jelas menjadi ironi, sebab negara ini menyatakan sebagai negara demokrasi, dimana keterlibatan rakyat dalam pembuatan undang-undang seharusnya menjadi hal utama. Namun nyatanya banyak peraturan yang ditetapkan justru bertolak belakang dengan kemauan rakyat. Bahkan seringkali, pengesahannya diwarnai dengan drama ketok palu di tengah malam.
Ini menunjukkan lembaga kekuasaan di negeri ini justru tidak konsisten dengan sistem yang diterapkan. Bahkan hukum bisa diubah sekehendak hati, bergantung pada kepentingan siapa yang ada di baliknya. Termasuk dalam penetapan status inkonstitusional bersyarat yang dikeluarkan oleh MK terkait UU Cipta Kerja.
Pemerintah dalam hal ini telah bertekad akan melaksanakan putusan tersebut dengan tidak menerbitkan peraturan turunan baru. Namun juga memastikan bahwa UU Cipta Kerja serta peraturan turunan lainnya yang telah dibentuk sebelum putusan itu, tetap berlaku. Ini berarti rakyat harus menahan nestapa lagi selama kurun waktu 2 tahun untuk perbaikan UU tersebut.
Sementara para pemilik modal tetap bisa bernapas lega. Kepentingan mereka yang terwakili oleh UU itu, akan tetap berlangsung. Pundi-pundi keuntungan akan terus mengalir ke kantong mereka. Lalu untuk apa status inkonstitusional itu ditetapkan bila masih disertai embel-embel bersyarat? Apakah ini sekadar untuk menenangkan gejolak rakyat padahal sejatinya mengelabui?
Inilah yang terjadi pada sistem buatan manusia. Siapa yang berkuasa, maka dia dapat membuat bahkan mengubah aturan sesuai dengan kepentingannya. Sementara rakyat yang dipimpinnya tak lagi menjadi prioritas untuk diurusi. Adil sejahtera hanya berlaku bagi mereka yang bermodal besar. Namun ilusi bagi rakyat kecil.
Keadilan dalam Sistem Islam
Berbeda dengan demokrasi, dimana sistem peradilannya berdasarkan aturan buatan manusia, sistem peradilan Islam menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan menjadikan aturan dan hukum-hukum Islam saja sebagai pedoman. Sistem peradilan Islam dijalankan berdasarkan kerangka pemahaman bahwa penerapan hukum Islam merupakan sebuah kewajiban dan kaum muslimin tidak diperbolehkan serta harus menghindari dari mengikuti syariat-syariat selain Islam.
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka.” (QS. Al Maidah: 49)
Lembaga peradilan Islam memiliki peran untuk memutuskan perselisihan, baik antaranggota masyarakat maupun antara rakyat dengan pejabat negara, serta mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak umum. Pejabat yang berwenang untuk menegakkannya disebut Qadhi’.
Salah satu macam Qadhi’ adalah Qadhi’ Mazalim. Qadhi’ Mazalim adalah Qadhi’ yang diangkat untuk menyelesaikan persengketaan akibat tindakan zalim yang dilakukan oleh pejabat (penguasa) terhadap rakyat atau individu yang hidup di bawah kekuasaan negara Islam. Para pejabat yang dimaksud bisa khalifah atau pejabat pemerintahan lainnya.
Anas pernah meriwayatkan pada masa Rasulullah saw pernah terjadi keadaan dimana harga-harga melambung tinggi. Para sahabat kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya Anda menetapkan patokan harga (tentu tidak melambung seperti ini).”
Kamudian Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya Allahlah Yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi Rezeki; dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang berkaitan dengan darah dan harta.” (HR. Ahmad)
Rasulullah saw telah menetapkan bahwa mematok harta adalah sebuah bentuk kezaliman. Sehingga tidak ada siapapun yang boleh melakukannya, termasuk penguasa atau pejabat negara. Ini adalah salah satu contoh perkara yang menyangkut hak-hak setiap individu masyarakat yang diatur oleh negara. Jika perkara tersebut dipandang menzalimi rakyat, maka hal itu menjadi bagian kewenangan Qadhi’ Mazalim untuk memeriksanya.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, pernah terjadi persengketaan tanah antara Gubernur Mesir, Amr bin Ash dengan seorang Yahudi. Khalifah Umar yang mendengarkan aduan dari si Yahudi, kemudian mengirimkan sepotong tulang kepada Gubernur Amr bin Ash, sebagai peringatan. Sang gubernur akhirnya mengembalikan lagi tanah milik Yahudi tersebut.
Dalam memutuskan hukum, Qadhi’ hanya akan bersandar pada hukum syara’, tanpa melihat lagi status sosialnya, apakah dia rakyat, pejabat, atau dari keluarga terpandang. Sebagaimana pernah dikisahkan, ada seorang wanita dari keluarga terhormat Bani Makzhum yang kedapatan mencuri. Keluarganya kemudian meminta bantuan sahabat Usamah bin Zain, agar melobi Nabi saw supaya meringankan hukumannya. Lalu Nabi saw pun bersabda,
“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”
Begitulah keadilan Islam dalam menyelesaikan setiap perkara yang terjadi di tengah umat. Standar peradilannya baku dan tetap, tidak dapat diubah seenak hati demi kepentingan siapa saja, sebagaimana dalam sistem demokrasi saat ini. Kebenaran dan kesempurnaan hukum-hukumnya berasal dari Allah Swt yang Mahaadil. Karenanya hanya dengan penerapan sistem Islam oleh sebuah negara sajalah, yang akan menjamin keadilan yang hakiki bagi umat manusia.
Wallahu’alam bisshowab.[]