Utang Menggunung, Siapkah Menanggung?

Nyatanya, sebagian besar potensi SDA tersebut telah dikuasai oligarki kapitalis. Pengelolaan sumber daya alam yang melimpah tersebut hanya terdistribusikan di tangan- tangan penguasa kapitalis.


Oleh : Ainun Jariyah

NarasiPost.Com — Belum sempat menghela nafas pasca lonjakan hutang di masa pandemi COVID-19. Kini, negara kembali berhutang lagi. Gali lubang, tutup lubang. Pinjam uang, bayar hutang. Betapa tidak, bunga dari hutang sebelumnya yang kian melonjak saja belum tuntas terbayar. Seoalah ketagihan, negara kembali meminjam uang kepada Australia dan Jerman. Sungguh fantastis, jumlahnya cukup besar dalam waktu yang relatif dekat, hanya dalam dua minggu saja.
Seperti dilansir kompas.com bahwa jumlah utang baru Indonesia saat ini telah bertambah sebesar lebih dari Rp 24,5 triliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral.


Padahal, sebelumnya saja Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri Indonesia sudah meningkat. Dilansir dari CNNIndonesia, bahwa peningkatan utang Indonesia dari US$ 409,7 miliar per Juli 2020 menjadi US$ 413,4 miliar per Agustus 2020. Jumlah utang itu setara dengan Rp 6.084 triliun mengacu kurs Rp14.717 per dolar AS pada 15 Oktober 2020 (15/10/2020).


Tidak bisa dipungkiri, bahwa cengkraman utang berbalut riba yang melanda Indonesia saat ini memang menjadi hal yang biasa terjadi. Karena dalam rezim demokrasi kapitalis, hutang adalah salah satu sumber pendapatan negara selain pajak. Hutang akan tetap eksis dalam sistem demokrasi kapitalis. Sehingga, tak heran jika dampaknya membuat Indonesia semakin tak berdaya. Bermimpi hendak mewujudkan kemandirian negeri, untuk bertahan hidup saja, negara hanya bisa mengandalkan utang. Jika sudah begini, siapkah menanggung hutang negara? Masihkah berharap pada negeri yang menggantungkan harapan pada utang?


Sungguh miris! Rakyat sudah terbebani dengan pembayaran pajak yang besar, kini juga harus terbebani dengan hutang negara. Tidak bisa dibayangkan. Kelak, generasi selanjutnya akan menanggung beban utang yang kian bertumpuk. Belum sempat membayar bunga hutang, negara sudah berhutang kembali. Begitulah akan bergulir sepanjang waktu, selama negeri ini masih menerapkan sistem demokrasi kapitalis. Jeratan hutang akan semakin memuluskan para penguhasa kapitalis yang serakah untuk mencengkram negeri ini. Walhasil, atas nama investasi, pihak asing pun dengan mudah mengeksploitasi sumber daya alam milik negeri. Dengan begitu, berbagai macam aset negara, satu persatu akan tergadaikan untuk membayar bunga maupun hutang yang kian menggunung.

Akibatnya, lagi dan lagi, rakyatlah yang harus menanggung semua beban negara. Sayang seribu sayang. Padahal, tak ada yang meragukan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Sungguh melimpahnya potensi yang ada di daratan maupun lautan selayaknya membuat negeri ini kaya. Lantas ke mana kekayaan SDA yang melimpah tersebut?

Nyatanya, sebagian besar potensi SDA tersebut telah dikuasai oligarki kapitalis. Pengelolaan sumber daya alam yang melimpah tersebut hanya terdistribusikan di tangan- tangan penguasa kapitalis.

Memang layak jika kita mengatakan pemerintah telah gagal mengelolanya, bahkan tidak akan pernah mampu selama masih mengandalkan sistem demokrasi yang masih memanfaatkan sistem ribawi saat ini.


Oleh karena itu, selama negeri ini tidak mengindahkan keharaman riba, maka negeri ini tidak akan mampu menyelesaikan jeratan utangnya. Karena dalam Islam, praktek riba jelas hukumnya adalah haram. Tidak ada dosa yang lebih mengerikan diperingatkan Allah dalam Al-Qur'an kecuali dosa riba. Karena itu, Allah swt telah mengumumkan perang kepada pelakunya. Maka, bayangkan saja, ketika utang ribawi telah menjamur di suatu negeri, maka Allah yang langsung akan memeranginya. Astagfirullah! Sungguh tidakkah kita merasa takut terhadap ancaman Allah jika melanda negeri ini?


Maka, sudah sepatutnya kita menayadari, bahwa tidak ada cara lain untuk membebaskan utang negara yang kian menggunung ini, kecuali dengan penerapan Islam yakni sistem khilafah. Dalam khilafah, sumber pendapat negara jelas tidak diambil dari hutang dan pajak, sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi saat ini. Karena hutang ribawi bukan hanya haram akan tetapi akan mengancam kedaulatan negara.

Dalam Islam sistem keuangan negara dikelola oleh baitul mal. Sebuah lembaga yang akan menyimpan segala bentuk harta, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Tentunya dengan dorongan keimanan dan ketakwaan dan pengontrolan dari pihak-pihak yang berwenang, lembaga ini akan mudah menjamin pendistribusian keuangannya dengan tepat. Sehingga, akan mendorong tertutupnya celah bagi negara untuk berutang.

Karena itu, permasalahan utang yang melanda negeri ini adalah masalah sistemik yang memang hanya akan terselesaikan dengan solusi sistemik. Solusi tersebut hanya mampu diraih jika kita beralih ke sistem khilafah. Untuk itu, jika kita masih saja berdiam diri dan bertahan dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini, maka sudah siapkah untuk menanggung resikonya lagi? Wallahu 'alam bishawab []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ainun Jariyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Utang Luar Negeri, Solusi atau Ancaman?
Next
Korupsi Kian Eksis
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram