Hal ini akan berdampak pada melemahnya anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya atau dengan kata lain gagal bayar utang. Pada saat inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara pengutang.
Oleh Fitri Sarfan, SE
NarasiPost.Com — Pemerintah Indonesia kembali membuat keputusan terkait penanggulangan ekonomi akibat wabah covid-19. Salah satunya adalah dengan melakukan relaksasi utang yang seharusnya jatuh tempo akhir tahun 2021 sampai pertengahan 2021. Hal ini telah disepakati oleh beberapa negara yang ikut pada KTT G-20 yang digelar secara virtual pada 21-22 November. Negara yang rentan menghadapi wabah covid-19 akan diberi penangguhan pembayaran.
Sementara itu, untuk menutupi defisit keuangan pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani menambah utang baru. Sehingga, dalam waktu 2 minggu utang Indonesia mencapai 24,5 Triliun (kompas.tv, 21/11/2020). Utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp9,1 triliun. Angka yang fantastis yang cukup menguras APBN dengan cicilannya.
Inilah kebijakan jangka pendek yang selalu diambil guna menyelamatkan moneter negara. Padahal, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan kekayaan alam yang melimpah, namun kenapa hasilnya tidak pernah mampu menyejahterakan rakyat. Penguasa malah memberi ruang selebar-lebarnya pada kapitalis untuk mengelola dan menikmati semuanya. Semua bisa tercermin pada UU PMA, UU Sumber Daya Alam dan masih banyak UU lainnya yang lebih berpihak pada kapitalis.
Tentunya, ketika penguasaan sumber daya alam sudah dikuasai oleh kapital, darimana sumber pendapatan negara lagi? Akhirnya, kembali menjadikan utang sebagai solusi tunggal. Padahal, dampak penimbunan utang secara terus menerus akan memberatkan generasi mendatang dan tentunya menjadi ancaman bagi kedaulatan negeri ini.
Utang dengan cicilan bunganya yang tinggi tentu akan menyedot kas negara. Akibatnya, kas APBN sulit untuk dialokasikan pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Perhatian negara terhadap bidang pendidikan dan kesehatan yang merupakan kebutuhan pokok bagi rakyat tentunya akan terabaikan. Yang ada malah pajak akan dinaikkan guna menutup defisit kas negara. Begitupun berbagai subsidi seperti minyak bumi, listrik dan gas akan dikurangi. Resiko lainnya dengan makin besarnya utang luar negeri maka pembayaran utang, baik pokok atau bunganya semuanya juga akan makin tinggi.
Selain itu, utang luar negeri memiliki dampak yang berbahaya bagi kondisi moneter negara. Bila utang jangka pendek jatuh tempo, pembayaran yang tidak menggunakan mata uang domestik melainkan dengan dolar Amerika serikat. Padahal kita paham bahwa Amerika termasuk negara pemberi hutang. Tentunya ketika harga dolar meroket bisa disebabkan langkanya dolar bisa menyebabkan jumlah utang akan semakin tinggi. Atau pun kalau dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal. Sehingga, akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal. Sedangkan, nilai utang jangka panjang semakin lama semakin menggila karena adanya transaksi ribawi di dalamnya.
Hal ini akan berdampak pada melemahnya anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi utang-utangnya atau dengan kata lain gagal bayar utang. Pada saat inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara pengutang.
Kondisi inilah yang telah terjadi pada negara penerima utang seperti Zimbabwe, Sri Lanka dan Pakistan. Dengan keterpaksaan harus merelakan sektor vital diakuisisi oleh negara. Ditambah lagi negara tersebut dipaksa mengganti mata uang negara mereka dengan mata uang pemberi utang.
Strategi inilah yang kerap dipakai oleh negara kapitalis dalam rangka menancapkan kekuasaannya di negara berkembang. Pada hakekatnya mereka ingin menjajah secara ekonomi dan menjadikan negara tersebut sebagai sapi perahan. Sementara, para penguasa tidak dapat berbuat apa-apa karena inilah konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi. Negara pengutang hanya berperan sebagi regulator dan fasilitator bagi negara pemberi hutang.
Sebab, sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal menjadikan para kapitalis berperan besar terhadap rezim dalam meraih kursi kekuasaannya. Kebijakan mempermudah masuknya utang pun merupakan salah satu bentuk balas jasa dari rezim karena dukungan para kapitalis saat pemilu.
Berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan hukum-hukum syariat dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam sumber pendapatan negara, jelas tidak akan mengambil utang luar negeri sebagai sumber pendapatan negara.
Sebab, utang seperti ini pasti akan mengancam kedaulatan negara dan haram diambil karena mengandung riba. Namun ketika negara berada dalam kondisi membutuhkan pinjaman, boleh melakukan pinjaman yang tidak ada riba. Ini dilakukan dalam kondisi darurat saja misalnya dalam rangka melaksanakan perkara-perkara yang diwajibkan kaum muslimin untuk menunaikannya. Semisal, nafkah untuk para tentara, gaji para pegawai yakni para sekretaris, guru, hakim, dan lain-lain. Apabila dikhawatirkan terjadi kerusakan akibat penundaan pembelanjaan untuk menunaikannya. Sebab, nafkah untuk pos tersebut termasuk dalam keadaan yang wajib dibelanjakan baik dalam keadaan ada harta maupun tidak ada harta.
Sistem keuangan negara berdasarkan syariat Islam disebut Baitul Mal. Dan utang tidaklah menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi negara. Pengelolaan pemasukan kas negara berasal dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah), seperti ‘usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu ada pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah), seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas ala, kehutanan dan lainnya. Negara tidak boleh memberikannya pada asing atau privatisasi seluruh pemilikan umum. Negara hanya berhak mengelola dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat sepenuhnya.
Menjadikan negara bebas utang dan menjadi relatif stabil dan tidak mudah defisit pernah ditorehkan oleh khalifah di masa Daulah Abbasiyah Harun ar-rasyid. Cukup tersohor di masa kekuasaan khalifah Harun ar-rasyid begitu aman dan damai. Kesejahteraan rakyatnya begitu terasa hingga sangat sulit mencari orang yang layak diberikan zakat, infak dan sedekah. Bahkan, ada satu riwayat yang mengatakan Khilafah pernah mengalami surplus sebesar 900 dinar.
Sungguh, ketika kaum muslim menyadari tentang bahaya utang bukan hanya akan menjadikan rakyat sengsara dan negara bisa berada diambang kehancuran. Tapi lebih dari itu, ketika utang ribawi telah meliputi suatu negeri, Allah akan memeranginya.
Dosa riba telah diperingatkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, bahkan Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini tentu menunjukkan bahwa dosa riba sangat besar dan berat.
“Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda, mereka semua sama.” (HR Muslim)
Tentunya, jika negeri ini merindukan hidup tenang, aman, dan penuh keberkahan. Hendaknya segera mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Insya Allah, bebas dari segala jerat utang dan terbebas dari laknat Allah SWT. Wallahu 'alam bishowab []