Hari ini, institusi itu telah tiada. Kaum muslimin hidup tercerai-berai tanpa perisainya. Penderitaan muslim Rohingya, maupun Xinjiang, Palestina, Suriah, dan muslim di belahan dunia lainnya, hanya akan tertolong jika institusi daulah khilafah kembali ditegakkan sebagaimana kejayaannya di masa lalu.
Oleh: Nurhayati (Aktivis Muslimah Kaltim)
NarasiPost.Com — Sejak melarikan diri dari kezaliman Myanmar, hingga kini muslim Rohingya belum mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan bertahun-tahun hidup sebagai pengungsi di negeri orang. Tanpa status kewarganegaraan yang pasti.
Bangladesh mulai memindahkan ribuan pengungsi Rohingya ke pulau Bhasan Char. Sebuah pulau terpencil nan tiada kehidupan. Kantor berita Reuters melaporkan hingga Jumat (4/12) ada sekitar 1.600 pengungsi yang telah dipindahkan (viva.co.id, 6/12/2020). Alasan pemindahan pengungsi Rohingya ke Basan Char demi mengurangi kepadatan di kamp-kamp yang didirikan untuk menampung ratusan ribu pengungsi Rohingya.
Basan Char adalah pulau terpencil yang terbentuk secara alami oleh lumpur Himalaya di Teluk Benggala, sekitar 60 kilometer dari daratan. Seperti apa yang dikatakan kelompok HAM, pulau itu rentan terhadap bencana alam dan tidak cocok untuk pemukiman manusia. Human Rights Watch, Amnesty International dan Fortify Rights sangat menentang relokasi para pengungsi ke pulau itu. (okenews, 5/12/2020)
Derita Muslim dalam Skat-sekat Nasionalisme
Muslim Rohingya adalah bagian tubuh kaum muslimin. Mereka hidup dalam ketidakpastian, terusir dari tanah kelahiran, terkatung-katung tanpa perlindungan. Kaum muslim di seluruh dunia dapat menyaksikan penderitaan saudara muslim Rohingya. Namun hanya bisa menyaksikan tanpa mampu membela apalagi memberikan pertolongan.
Kebijakan pemerintahan Bangladesh yang memindahkan ribuan pengungsi Rohingya ke pulau terpencil Basan Char menunjukkan bahwa negeri mayoritas muslim tersebut juga angkat tangan, tak sanggup lagi menolong saudaranya lebih lama. Alasannya sederhana, menyangkut kapasitas negara atau mungkin sejenisnya.
Adapun organisasi kemanusiaan internasional seperti PBB, Human Rights Watch, dan sejenisnya, hanya bisa mengutarakan pendapat, mengecam, atau mengeluarkan konvensi yang tak mampu memberikan solusi nyata bagi masalah Rohingya. Organisasi internasional yang mengatasnamakan melindungi hak kemanusiaan di dunia itu sebatas bersuara tanpa memiliki power yang berarti.
Muslim Rohingya harus menelan pahit kenyataan bahwa ia bukan siapa-siapa di negeri saudaranya sendiri. Harus menerima realita bahwa ada sekat nasionalisme yang menghalanginya mendapatkan pertolongan dari negeri-negeri muslim di berbagai belahan dunia. Ikatan nasionalisme membuat kaum muslimin mengedepankan tanah airnya, melupakan ukhuwah islamiyah yang semestinya diutamakan sebagaimana yang Rasulullah dan para sahabat teladankan.
Akhirnya, berharap akan ada negara yang berempati dan sukarela menjadikan pengungsi Rohingya sebagai warga negaranya. Dalam suasana nasionalisme yang tersistemik di negeri kaum muslimin hari ini, hanya akan menjadi harapan semata. Bertahun lamanya muslim Rohingya hidup dalam ketiadaan kewarganegaraan, hingga hari ini kondisi itu masih tetap sama.
Jika kaum muslimin tidak segera membuang ikatan nasionalisme yang batil ini, maka ikatan ini akan membuat kaum muslimin saling berhadap-hadapan sebagai lawan. Mereka akan saling mengabaikan, saling tak peduli dengan kondisi saudaranya di belahan bumi lainnya, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Ikatan ini membuat kaum muslimin melupakan ukhuwah islamiyah yang menjadi pemersatu kaum muslimin di seluruh dunia.
Nasib muslim Rohingya adalah salah satunya. Di belahan bumi lainnya seperti Suriah, Palestina, Xinjiang, juga mengalami nasib yang tak kalah menyedihkan. Akankah kita masih tetap diam dengan alasan mereka bukan bagian dari negara kita? Bukan urusan penguasa kita?
Ukhuwah Islamiyah dalam Naungan Khilafah
Rasulullah bersabda, "Perumpamaan kaum muslimin dalam urusan kasih sayang dan tolong-menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas." (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Islam mempersatukan kaum muslimin dengan menjadikan mereka saling bersaudara dalam ikatan akidah Islam. Rasulullah mengumpamakan eratnya persaudaraan dalam akidah ini bagaikan satu tubuh. Satu bagian saja yang sakit, maka bagian lainnya akan bereaksi, bersama menyembuhkan rasa sakit tersebut.
Islam berhasil mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia selama hampir 13 abad lamanya. Selama itu, kaum muslimin hidup dalam ukhuwah islam tanpa sekat-sekat wilayah, tanpa batas suku, ras, maupun adat istiadat. Semua menyatu dalam institusi daulah khilafah. Institusi yang menaungi diterapkannya syariat Islam secara kaffah. Institusi yang tak pernah mengabaikan nasib bangsanya, termasuk pada rakyatnya yang selain muslim.
Hari ini, institusi itu telah tiada. Kaum muslimin hidup tercerai-berai tanpa perisainya. Penderitaan muslim Rohingya, maupun Xinjiang, Palestina, Suriah, dan muslim di belahan dunia lainnya, hanya akan tertolong jika institusi daulah khilafah kembali ditegakkan sebagaimana kejayaannya di masa lalu.
Oleh karena itu, perjuangan kaum muslimin haruslah perjuangan yang totalitas dan menyeluruh. Yaitu perjuangan mengembalikan kehidupan Islam yang pernah berjaya dengan menegakkan kembali daulah khilafah. Karena hanya dengan khilafah kaum muslimin akan bersatu dalam ikatan akidah dan akan membentuk ukhuwah islamiyah.
Rasullah saw telah memperingatkan setiap muslim agar peduli terhadap nasib saudaranya setiap hari melalui sabda beliau,
"Barang siapa bangun di pagi hari, tapi tidak memikirkan nasib kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golonganku.''
Semoga, kita tidak termasuk salah seorang yang tidak diakui oleh Rasulullah di hari akhir kelak. Hendaknya kita menyerukan perubahan itu, agar keberadaannya segera dikabulkan Allah. Wallahu'alam bishawab []