RCEP dapat memperkuat posisi China sebagai mitra ekonomi dengan Asia Tenggara, Jepang, dan Korea serta menempatkan ekonomi terbesar kedua di dunia pada posisi yang lebih baik untuk membentuk aturan perdagangan di kawasan.
Oleh: Aisyah Badmas
NarasiPost.Com — Baru-baru ini pemerintah Indonesia kembali menjalin kerjasama dengan diadakannya Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang resmi ditandatangani pada Minggu (15/11/2020). RCEP adalah perjanjian perdagangan regional di antara negara-negara ASEAN, serta ekonomi raksasa Asia: China, India, Jepang dan Korea Selatan (kompas.com 15/11).
Alih-alih diharapkan RCEP dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi dunia dari resesi global terparah (sama seperti harapan pada kerjasama-kerjasama sebelumnya yakni AFTA, APEC dan MEA). Dimana, kesemuanya cenderung tidak memberi dampak perbaikan ekonomi pada Indonesia. Penandatanganan RCEP banyak menuai kritik dari berbagai kalangan.
Menurut Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ) menyayangkan pemerintah tetap berupaya menyelesaikan perundingan RCEP di tengah pandemik Covid-19. Dengan adanya pandemi, justru pemerintah seharusnya melakukan penilaian (assessment) menyeluruh atas draf teks perjanjian RCEP. Dan melihat kembali pasal-pasal yang berpotensi menghambat penanganan pandemik dan pemulihan ekonomi.
Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan menyatakan perjanjian ini berpotensi mendorong fleksibilitas tenaga kerja tanpa upaya perlindungan hak-hak tenaga kerja. Perempuan yang lebih banyak mengalami tekanan penurunan upah, standar layak kerja maupun perlindungan hak-hak lain.
Ya, RCEP merundingkan perjanjian perdagangan yang komprehensif, mencakup liberalisasi perdagangan barang, pembukaan sektor-sektor jasa, liberalisasi investasi dan penguatan hak kekayaan intelektual. (Indonesia for Global Justice, 11/07)
Tentu ini merupakan rejeki nomplok bagi China di tengah pertanyaan tentang keterlibatan Washington di Asia. Bagaimana tidak? RCEP dapat memperkuat posisi China sebagai mitra ekonomi dengan Asia Tenggara, Jepang, dan Korea serta menempatkan ekonomi terbesar kedua di dunia pada posisi yang lebih baik untuk membentuk aturan perdagangan di kawasan. Ini menunjukkan ASEAN adalah sebagai negara yang tidak mandiri, hanya menjadi alat baru memuluskan kepentingan negara besar baik di bidang politik maupun ekonomi.
China mulai memasang strategi regionalism yaitu salah satu bentuk kerjasama dari kesepakatan negara-negara kawasan untuk menanggulangi isu-isu kawasan. Dengan kedok kerjasama menyatukan negara-negara dengan kesamaan geografis secara kognitif yang meliputi kesamaan identitas, budaya dan kesamaan pandangan tentang isu kawasan. Secara fungsional yang tidak hanya didasarkan oleh kondisi geografis saja, melainkan berdasarkan fungsi ekonomi. Paham ini mengedepankan isu-isu liberal/neoliberal. Strategi ini regionalism sebagai alat mempercepat penguasaan wilayah/kawasan oleh negara besar, seperti China.
Peresmian blok perdagangan baru asia pasifik ini yakni RCEP, sejatinya bukan signal perbaikan kondisi ekonomi negara ASEAN. Tapi lebih besar dari itu, yakni menjadi alat penjajahan ekonomi bagi China. Masyarakat harus memahami ini dan pemerintah harus menyadari kekeliruannya serta memutuskan hubungan kerjasama dengan negara penjajah.
Firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141).
Begitu banyak PR bangsa ini, memperingatkan pemerintah si pengambil kebijakan agar tak terlalu jauh terjebak dalam permainan penjajah. Namun, demikianlah kapitalisme. Ideologi yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Termasuk memperdaya negara-negara yang menjadi sasaran empuk penjajahannya atas nama kerjasama. Wallahu’alam bishshowab []