“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
Oleh: Dewi Purnasari,
aktivis dakwah
NarasiPost.com - Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia telah berjalan hampir 10 bulan lamanya. Semua kondisi berubah, semua perlakuan berubah. Yang setiap hari harus ngantor, kini lebih banyak WFH (Work from Home). Anak-anak yang biasanya setiap pagi berangkat ke sekolah atau ke kampus, kini hanya melakukan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), yaitu belajar via online dengan gurunya. Kerumunan orang dalam acara hajat dilarang. Bahkan pergi ke pasar untuk membeli keperluan rumah tanggapun tak bisa dilakukan setiap hari. Semua serba dibatasi, harus physical distancing, harus ketat menerapkan protokol kesehatan dan seterusnya.
Meroketnya jumlah korban yang terpapar Virus Covid-19 mau tidak mau melahirkan kecemasan di masyarakat. Perasaan takut tertular virus juga menimbulkan rasa was-was setiap saat. Kemudian masa pandemi yang sudah berlangsung cukup lama tanpa ada kejelasan kapan akan berakhir, juga melahirkan stres yang berkepanjangan. Betapa tidak, berbulan-bulan harus melakukan physical distancing itu sungguh sangat merepotkan. Pembatasan terhadap aktivitas yang rutin dilakukan juga menimbulkan tertundanya rencana-rencana yang diharapkan keberhasilannya.
Banyak hal yang dapat memicu stres bagi ayah maupun ibu selama ‘di rumah saja.’ Ayah bisa jadi generasi rebahan karena berkurangnya job dari kantor. Ibu yang mumet karena anak-anak bercanda dan bertengkar setiap hari, akibat tidak tidak ke sekolah. Bahkan mengontrol anak-anak belajar secara daringpun tak semudah yang disangka.
Contoh kejadian tragis yang menimpa satu keluarga di Lebak, Banten September 2020 lalu. Anak perempuan berusia 8 tahun dianiaya oleh ibu kandungnya sendiri hingga tewas, hanya karena anaknya tersebut sulit mengerti pelajaran.
Proses belajar secara daring, memang banyak kendala yang dapat menimbulkan ketidakpahaman siswa terhadap pelajaran. Dan ketidakpahaman anak, mau tidak mau harus diatasi oleh orang tua. Ibu atau ayah harus berusaha mengajari anak-anaknya pelajaran sekolah yang belum tentu dikuasai oleh ayah ibu sendiri. Akibatnya ayah ibu menjadi stres menghadapi masalah ini. Sementara anak akan merasakan stres dua kali lipat, sebab tidak bisa memahami pelajaran plus stres pula melihat ayah ibunya stres.
Belum lagi kendala jaringan internet yang sinyalnya sering terputus-putus. Biaya yang tinggi untuk membayar kuota internet juga bisa menjadi tambahan masalah. Bagaimana tidak, gaji ayah berkurang karena minimnya job, sementara kebutuhan biaya internet yang semula bisa terjangkau, kemudian jadi melonjak.
Lebih jauh, tidak terjadinya tatap muka antara guru dan murid sedikit banyak mengakibatkan kurangnya ‘ruh’ (rasa yang menginspirasi) yang menyertai proses belajar mengajar. Akibatnya, murid jadi cenderung tidak bersemangat dalam belajar, bahkan bisa jadi malas belajar. Membaca buku pelajaran jadi enggan, karena dirasa lebih praktis dan cepat searching di google ketika harus mengerjakan soal.
Pandemi yang berkepanjangan disamping mengakibatkan banyak nyawa melayang, juga menyeret perekonomian Indonesia menuju jurang resesi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi negara mengalami minus 3,49 persen pada triwulan ke 3 2020 ini.
Kondisi memburuknya perekonomian negeri ini sedikit tertolong karena sejak diketokpalunya Undang-Undang Ciptakerja banyak investasi asing dan swasta domestik yang masuk. Namun harus diingat, investasi itu bukan bantuan uang cuma-cuma. Banyak konsekuensi yang harus ditanggung negara (baca: rakyat) untuk berjibaku melawan kekuatan asing dan para korporat domestik yang menguasai proyek-proyek yang dijalankan.
Lesunya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia telah nyata berdampak besar pada rakyat. Banyak pekerja yang mengalami Putus Hubungan Kerja (PHK). Jumlah pengangguran telah mencapai 10,58 juta orang. Bahkan jika ditambah dengan angkatan siap kerja yang baru lulus sekolah, total pengangguran menjadi 12,58 juta orang. Angka pengangguran yang tinggi ini jika tidak segera diatasi oleh pemerintah tentu akan banyak menimbulkan dampak negatif di masyarakat.
Contoh dampak negatif ini adalah tindakan seorang ibu di Nias Utara, Sumatera Utara yang membunuh ketiga anaknya sebelum akhirnya ia juga bunuh diri. Rabu, 9 Desember 2020, MT membunuh tiga anaknya karena stres akibat himpitan ekonomi yang diderita. Ironisnya, sang ayah saat terjadinya pembunuhan itu sedang menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada Nias.
Kata ironis sangat tepat digunakan, karena saat sang ayah berupaya menggantungkan harapan perbaikan nasib melalui Pilkada, istri dan anak-anaknya meregang nyawa karena putus harapan akan adanya perbaikan nasib. Potret kondisi tragis ini menjadi satu dari sekian banyak potret memprihatinkan yang terpajang di negeri ini. Di mana sang pemimpin saat rakyatnya kelaparan hingga meregang nyawa?
Kampanye hingar bingar tempat para calon pemimpin mengumbar janji, pemilu berbiaya mahal tempat rakyat menggantungkan harapan baru. Semua tak berdampak apa-apa ketika kemudian nasib rakyat tidak berubah. Rakyat sesungguhnya tak terlalu banyak meminta, cukup diberikan dijamin kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupannya. Semua harapan disandarkannya pada pemimpin yang dipilihnya. Namun sayang seribu sayang, harapan itu tak dapat berlabuh. Pemimpin tak dapat memenuhi harapan rakyat yang memilihnya karena tersandera oleh sistem Demokrasi yang memenjarakannya.
Demokrasi selalu membutuhkan biaya tinggi bagi keberlangsungan hidupnya. Sedangkan biaya tinggi tersebut siap ditawarkan oleh para korporat berotak kapitalis melalui partai calon pemimpin. Setelah pemimpin naik ke tampuk pimpinan, ia kemudian harus membayar ‘hutangnya’ kepada para korporat melalui kebijakan yang dibuatnya. Tragis bukan? Sementara itu di mana rakyat berada saat itu? Ternyata mereka segera dilupakan setelah mereka memberikan suara mereka. Sungguh tragis bukan?
Nasib rakyat tidak akan demikian jika sistem Islam yang diberlakukan dalam negara. Rakyat memilih pemimpin untuk menjadi sosok yang diharapkan dapat memberikan segala kebaikan melalui penerapan syariat Islam dalam negara. Pemimpin harus menjadi pengurus (raa‘in) sekaligus laksana tameng (junnah) bagi rakyatnya. Raa’in harus menjamin rakyat mendapatkan keadilan dan kesejahteraan yang menjadi haknya. Junnah harus melindungi rakyatnya dari segala keburukan dan mara bahaya. Jika ada bahaya, maka pemimpin harus tampil di depan, melindungi rakyatnya.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
“Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR.al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). []