Sebagai sebuah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan-Nya tapi juga mengatur hubungan antara manusia satu dengan lainnya, artinya seluruh sistem kehidupan sosial manusia sudah lengkap tertata termasuk dalam sistem pemerintahan, yang dikenal dengan nama Daulah Khilafah Islamiyah.
Oleh : Irma Ismail
( Aktifis Muslimah Balikpapan dan Member AMK)
NarasiPost.com - Pesta Demokrasi dalam Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 telah usai. Ada 270 daerah yang mengikutinya dan ada di 9 Provinsi, 37 Kota dan 224 Kabupaten, dengan 25 paslon melawan kotak kosong. Hal yang menarik kali ini, selainnya meningkatnya kotak kosong juga meningkatnya paslon dari Dinasti kekuasaan sebelumnya. Di lansir dari Voaindonesia.com (25/10/2020), Febriansyah Ramadhan dari Lembaga Kajian Negara Institut UGM mengungkapkan adanya peningkatan paslon dari dinasti politik pada pilkada tahun 2020 yaitu 124 calon, terdiri dari 67 laki-laki dan 57 perempuan. Dan dari 57 perempuan tersebut sebanyak 29 orang adalah istri dari kepala daerah atau petahana sebelumnya.
Politik Dinasti atau Dinasti Politik adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM, A.G.N Ari Dwipayana, menyatakan bahwa tren politik kekerabatan sebagai gejala neopatrimoniastik, yaitu berupa sistem patrimonial yang mengutamakan regenarasi politik berdasarkan ikatan genealogis. Dan dinasti politik ini harus dilarang tegas karena proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak akan berjalan.(mkri.co)
Indonesia bukanlah satu-satunya negara demokrasi yang menjalankan praktik ini, negara asal demokrasi yaitu Amerika termasuk salah satunya, di samping ada beberapa negara lainnya, semisal Malaysia, Pakistan, India, Korea Utara dan lainnya (Sindonews.com 15/01/2019). Hal ini semakin subur, sejak MK mengeluarkan Putusan No. 33/PUU-XIII/2015 yang telah memberikan landasan legal formal bagi politik dinasti di Indonesia dengan alasan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dalam pilkada. Putusan MK ini juga bisa berarti bahwa MK telah melegalkan keluarga petahana untuk ikut serta dalam pilkada.
Dalam sistem demokrasi, tidak bisa dihindari besarnya biaya dalam berkampanye, wilayah yang luas dan tersebar membuat biaya ini membengkak di samping adanya biaya untuk tim sukses sendiri. Untuk itu KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2017 tentang dana kampanye peserta Pemilihan Umum Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya. Dalam pasal 7 ayat 1 sampai 3, dimana paslon, parpol pengusung, gabungan parpol atau badan hukum swasta dibatasi menyumbang sebesar Rp 750 juta dan untuk perseorangan sebesar Rp 75 juta yang dipergunakan semasa kampanye (mkri.id>pkpu_pilkada> pdf). Dan tidak ada batasan berapa jumlah perorangan dan badan hukum swasta yang bisa bergabung. Dan semakin banyak yang menyumbang maka akan semakin besar pula dana kampanye yang terkumpul.
Politik bukanlah bisnis atau perusahaan, apalagi dalam sistem demokrasi ini, politik tak ubahnya kekuasaan semata. Selalu ada kepentingan lain dari setiap kebijakan yang diambil. Maka bagi pemenangnya tentu ada perhitungan lain yaitu masalah biaya politik yang sudah dikeluarkan. Dan ini akan dihitung sebagai modal yang akan kembali, tetapi bukan dalam bentuk uang atau materi tapi dalam bentuk kebijakan yang pastinya akan menguntungkan atau mengedepankan para partisipan yang telah ikut menyumbang. Banyaknya yang menyumbang juga akan menyumbang konflik kepentingan. Terkait kebijakan akan ditetapkan, hal ini berpeluang besar membuka jalur korupsi.
Dan dinasti politik dalam lingkar kekuasaanpun tak luput. Adanya kekerabatan yang lebih dekat akan membuka peluang untuk maju sebagai wakil partai atau gabungan partai politik untuk maju dalam pilkada, tanpa mengikuti jenjang kestrukturan atau pengkaderan layaknya sebuah organisasi atau kepartaian yang dimulai dari bawah. Ini jelas menimbulkan rasa ketidakadilan bahkan bagi anggota partai lain yang merangkak dari level bawah, tetapi biaya politik memanglah mahal.
Loby antar anggota partai bahkan antar partai politikpun bukan lagi menjadi sebuah rahasia, dan status sebagai petahana atau kerabat terlebih keluarga dari sang calon jelas memberikan keuntungan besar. Kolega yang sudah terjalin dan akses sudah terbuka. Inilah politiknya dinasti politik dalam meraih atau mempertahankan kekuasaan agar tetap bertahan, tidak bisa terlepas dari kepentingan mereka yang notebene adalah para pengusaha, yang berpartisipasi dengan menyumbang untuk dana kampanye.
Hal yang berbalik jauh dengan Islam. Sebagai sebuah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam tidak hanya mengajarkan bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan-Nya tapi juga mengatur hubungan antara manusia satu dengan lainnya, artinya seluruh sistem kehidupan sosial manusia sudah lengkap tertata termasuk dalam sistem pemerintahan, yang dikenal dengan nama Daulah Khilafah Islamiyah, dengan Khalifah sebagai sebutan bagi pemimpinnya.
Dalam Islam, kekuasaan yang dipegang oleh Khalifah adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat yang diambil dengan baiat iniqod, untuk menjalankan apa yang telah Allah tetapkan dalam Alquran dan Assunnah. Maka loyalitas Khalifah hanya kepada Allah Swt, kepentingannyapun untuk seluruh rakyat bukan kepada partai atau golongan. Dan pertanggungjawabannya kepada Allah dan rakyat. Maka akan ada Mahkamah Madhzolim yang senantiasa mengamati dan mengawasi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah, bahkan masyarakat umum juga bisa memberikan masukannya kepada Majelis Umat.
Kini saatnya umat Muslim kembali menengok kepada sejarah peradaban keemasan Islam yang telah berjaya selama 1300 tahun lamanya menguasai 2/3 dunia dan berusaha kembali untuk mewujudkan Islam Rahmatan lil'alamin dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Wallahua'lam.[]