"Siapa saja yang membahayakan orang lain, Allah akan menimpakan bahaya kepada dirinya. Siapa saja menyusahkan orang lain, Allah akan menimpakan kesusahan kepada dirinya". (HR. al-Hakim).
Oleh: Nina Marlina, A.Md
(Ibu Rumah Tangga Peduli Negeri)
NarasiPost.com - Pilkada serentak telah selesai digelar pada 9 Desember 2020. Salah satunya di Kabupaten Bandung. Hal ini sangat disayangkan, mengingat kasus Covid-19 terus bertambah. Menjelang Pilkada saja, telah banyak anggota pengawas yang terpapar Covid-19. Data terakhir Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Bandung pada jumat (4/12), ada 49 orang pengawas TPS yang positif Covid-19 (Republika co.id, 04/12/2020.). Tidak menutup kemungkinan akan bermunculan kasus baru pascapilkada, baik pada para petugas atau masyarakat secara umum.
Gelaran pesta demokrasi di tengah pandemi tentu sangat ironi. Ini nyata membuktikan bahwa demokrasi bukan sistem manusiawi. Sistem ini tak mempedulikan akan jatuhnya banyak korban. Pilkada seakan dipaksakan untuk tetap terlaksana.
Untuk memuluskan gelaran ini, pihak penyelenggara mempersiapkan sejumlah protokol kesehatan. Agar masyarakat menggunakan hak pilihnya dan tidak takut pergi ke TPS. Salah satunya dengan melakukan tes rapid kepada para petugas dan pengawas. Namun, sebagaimana diketahui bahwa tes rapid tidaklah cukup untuk mendeteksi virus Covid-19. Dari laman Bisnis.com (27/07/2020), Dokter Spesialis Patologi Klinik dari Rumah Sakit Cicendo Bandung, Shinta Stri Ayuda mengatakan bahwa rapid test hanya untuk mendeteksi imun tubuh dan antibodi yang bereaksi apabila terkena virus. Menurutnya rapid test memang bukan buat diagnosi, tapi untuk screening, kalau untuk diagnosa harus diperiksa RNA virusnya, misalnya lewat swab PCR, tapi rapid test ini bisa membantu diagnosis.
Dari sini saja, nampak bahwa Pemerintah tidak berlaku hati-hati dan tak mau mengeluarkan biaya besar untuk melakukan tes swab atau PCR. Padahal tes ini lebih akurat untuk mengecek positif atau negatif Covid-19, meski biayanya lebih mahal dan butuh waktu lama untuk tes lab. Namun, apa salahnya dilakukan untuk keselamatan rakyat. Semestinya tak perlu berpikir panjang demi kesehatan bersama.
Selain itu, pilkada tetap terlaksana dikarenakan ada kepentingan para pemilik modal yang mendukung setiap paslon kepala daerah. Dilansir dari Koran Tempo (09/12/2020), kolaborasi Tempo dan Auriga Nusantara, pegiat pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, menemukan sedikitnya 931 perusahaan terafiliasi dengan para calon pemimpin daerah di tempat mereka berlaga. Jumlah yang sangat fantastis. Para pengusaha memang sangat berperan besar dalam pendanaan dan kesuksesan para kandidat. Konsekuensinya, jika mereka menang, akan ada praktik balas budi. Berbagai proyek dan perizinan perusahaan akan berjalan mulus tanpa hambatan. Akhirnya ketika sudah terpilih, lupa akan janji-janji kepada rakyat di masa kampanye. Bukan lagi memikirkan kesejahteraan rakyat. Namun, mementingkan diri pribadi dan golongannya. Korupsipun kerap terjadi menimpa mereka.
Dalam Islam, Pemimpin adalah pengurus rakyatnya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Adapun pemimpin sebuah wilayah dalam sistem Islam setingkat wali/gubernur (memimpin wilayah/propinsi) dan amil/bupati (memimpin imalah) akan sangat membantu tugas Khalifah dalam meriayah umat di setiap wilayah. Untuk proses pemilihannya adalah dengan penunjukkan langsung oleh Khalifah. Rasulullah Saw, memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan dikenal ketakwaannya (Kitab Struktur Negara Khilafah).
Jadi, tidak perlu dengan pemilu seperti saat ini yang memakan waktu dan biaya besar. Apalagi di tengah pandemi yang membahayakan keselamatan rakyat. Karena Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan mudharat , baik bahaya kecil atau besar. Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa saja yang membahayakan orang lain, Allah akan menimpakan bahaya kepada dirinya. Siapa saja menyusahkan orang lain, Allah akan menimpakan kesusahan kepada dirinya" (HR. al-Hakim).
Ketika pandemi, Khalifah akan serius dalam menangani wabah sejak awal. Hal ini agar wabah tidak terjadi berlarut-larut sehingga menghambat aktivitas masyarakat dan kegiatan ekonomi. Penerapan ini hanya dapat berlangsung dalam sistem Islam di bawah institusi Khilafah. Sistem yang amat menghargai dan melindungi jiwa manusia. Sistem ini akan menerapkan hukum-hukum Allah, tanpa mengkompromikan halal haram. Tidak akan memberikan kesempatan pembuatan aturan sesuai kepentingan penguasa dan pengusaha.
Wallahu a'lam bishshawab.