Dalam pandangan Islam, mendukung normalisasi adalah haram. Tindakan ini terkategori muwalah (bersikap setia) kepada orang kafir. Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhomul Islam pada bab Rancangan Undang-Undang Dasar, bahwa setiap individu, partai politik, perkumpulan, jamaah (organisasi) tidak dibenarkan secara mutlak menjalin hubungan dengan negara asing mana pun.
Oleh: Sonia Padilah Riski
(Aktivis Muslimah Semarang, Pegiat Komunitas Alfath Line)
NarasiPost.Com-Negara Arab Saudi melalui Menteri Luar Negerinya, Pangeran Faisal bin Farhan mengumumkan bahwa Arab Saudi terbuka untuk melakukan diplomasi politik dengan Israel. Dengan salah satu syarat, Palestina mendapatkan kemerdekaannya. ( Replubika.co.id, 6/12/2020).
Dimuat dalam laman Al Arabiya, International Institue for Security Studies Manama Conference, Faisal mengatakan akan selalu terbuka untuk normalisasi penuh dengan Israel, dan Israel akan mengambil tempatnya di kawasan.
Agar hal itu terjadi dan berkelanjutan, maka Israel membutuhkan warga Palestina untuk mendapatkannya. Negara Palestina akan memberikan perdamaian sejati di kawasan, dan itu harus menjadi fokus. Membawa Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan adalah inti dari permasalahan yang berkepanjangan ini (Alarabiya, 5/12/2020).
Normalisasi, secara bahasa diartikan sebagai proses mewujudkan kesepakatan bersama yang bertujuan untuk mengakhiri konflik lewat beberapa cara seperti gencatan senjata, perjanjian damai, atau membangun hubungan diplomatik.
Apa yang terjadi pada Palestina selama ini adalah bentuk dari penjajahan. Masyarakat dunia pun memahami tentang hal ini. Berdamai dengan penjajah, menyerahkan hak ummat Islam kepada penjajah, dan bekerja sama dengan perampok adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh pengkhianat.
Adanya normalisasi diplomatik ini menjadi harapan bagi Arab Saudi, sementara negara Palestina akan mendapatkan kemerdekaannya kembali dan menyelesaikan konflik di daerah tersebut. Upaya normalisasi ini sudah di gaungkan sejak tahun 2002 dalam forum Arab Peace Initiative (API) yang disampaikan oleh Raja Salman.
Harapan hanya tinggal kenangan. Begitulah kalimat yang pas untuk menggambarkan apa yang dialami Palestina. Kerja sama diplomatik melalui normalisasi ini bukan dilakukan secara cuma-cuma, banyak keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak. Keuntungan ini bukan hanya akan dirasakan oleh Arab Saudi, tetapi juga Israel dan Amerika Serikat sebagai sekutu Israel.
Keuntungan yang Memikat para Pengkhianat
Dalam Pikiran Rakyat.com, (18 /11/2020), Industri artileri Israel menganggap kerja sama ini sebagai awal masuknya pasokan persenjataan Amerika Serikat ke negara-negara Teluk. Uni Emirat Arab diperkirakan akan menerima beberapa unit jet tempur F-35 dari Amerika Serikat setelah menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel.
Departemen Pertahanan Amerika Serikat juga mengungkap kalau Boeing berhasil mendapatkan kesepakatan dengan Kerajaan Arab Saudi untuk membuat 70 unit jet tempur F-15. Total nilai kontrak kedua negara tersebut diperkirakan mencapai 9,8 miliar Dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp. 138 triliun.
Apakah demi keuntungan, negara Arab Saudi dengan mudahnya menyetujui kerja sama normalisasi ini?
Berkaca pada sistem yang mengikat hari ini, nampaknya senada dengan asas yang terbangun. Sistem kapitalis yang lahir dari demokrasi hari ini memang terbangun atas dasar tujuan keuntungan dan manfaat, maka selama itu tercapai akan tetap dilanjutkan.
Dasar sistem kapitalis dengan fasilitas kebebasan yang lahir hari ini maka meletakkan kedaulatan di tangan para wakil rakyat telah mematikan persatuan bukan mengikat justru memihak pihak konglomerat. Ilusi persatuan jauh panggang dari api, tidak matang dan tidak pernah terealisasi.
Sikap Muslim dan Kekuatan atas Satu Kepemimpinan Umat Islam
Ummat Islam seluruh dunia pun tau, bahwa Israel telah mencaplok bagian-bagian negara Palestina, membunuh kaum muslimin, menjarah kepemilikan ummat. Tapi sikap yang di munculkan oleh pemimpin Arab adalah mengajak perdamaian dengan kerja sama melalui normalisasi diplomatik.
Sikap yang seharusnya dimiliki oleh ummat Islam adalah dengan tegas menolak apalagi mengajak perdamaian dengan kafir. Terlebih yang dilakukan oleh Israel dan Amerika Serikat jelas ingin memusnahkan keberadaan umat Islam. Mengutamakan kepentingan demi perbaikan negara sendiri adalah kelemahan semua negara muslim saat ini. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat tinggal memenuhi kepentingan negara tujuan jajahannya agar kepentingan AS berjalan tanpa hambatan.
Islam adalah agama sempurna yang diturunkan sepaket dengan aturan dari pencipta. Islam tentu mampu menyelesaikan persoalan ini karena aturan-aturannya lahir dari pandangan hidup, yaitu aqidah islam sebagai dasar negara dengan sistem pemerintahan islam.
Dalam pandangan Islam, mendukung normalisasi adalah haram. Tindakan ini terkategori muwalah (bersikap setia) kepada orang kafir. Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhomul Islam pada bab Rancangan Undang-Undang Dasar, bahwa setiap individu, partai politik, perkumpulan, jamaah (organisasi) tidak dibenarkan secara mutlak menjalin hubungan dengan negara asing mana pun.
Dijelaskan pula, hubungan negara dengan negara-negara lain yang ada di dunia pada poin ke empat yaitu negara-negara yang tengah berperang (muhariban fi’lan) seperti Israel, maka terhadap negara tersebut harus diberlakukan sikap dalam keadaan darurat perang sebagai dasar setiap perlakuan dan tindakan, baik terdapat perjanjian gencatan senjata atau tidak.
Allah juga menegaskan dalam Surah Al-Maidah ayat 51 bahwa Allah melarang mengambil orang-orang kafir sebagai teman setia bahkan pemimpin.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia (wali, pelindung atau pemimpin)mu; Sebagian mereka adalah pelindung (pemimpin) bagi Sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi teman setia (wali, pelindung, atau pemimpin), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(QS Al-Maidah: 51)
Maka, jelaslah, kerja sama diplomatik dengan negara kafir (darul kufur) dalam bentuk apapun meski demi kepentingan umat Islam dilarang. Bahkan seorang pemimpin muslim harus dengan tegas dan tidak boleh ikut serta dalam kerja sama tersebut.[]