Penguasaan SDA oleh asing dan koorporat swasta menjadikan negara tidak memiliki kemandirian ekonomi. Akibatnya, ULN akan berdampak sangat besar menekan perekonomian negara. Jadi dalam masalah ULN, tidak bisa dilihat dari berapa besarnya utang, tetapi harus dihitung pula kemampuan negara tersebut dalam membayar utangnya.
Oleh. Dewi Purnasari,
(Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA), wajar jika Indonesia melakukan pembangunan di segala bidang. Anggaran pembangunan seharusnya dibiayai dari hasil pengelolaan SDA dan devisa negara. Namun apa yang terjadi jika pembangunan massif dilakukan, sementara hasil pengelolaan SDA tidak mampu mendongkrak penerimaan negara? Di sisi lain, cadangan devisa negara ternyata kondisinya sangat minim.
Dalam Revisi Anggaran Pendapatan Negara tahun 2020, pemerintah menetapkannya menjadi Rp. 1.699,94 triliun. Sementara Anggaran Pembiayaan direvisi menjadi Rp. 1.039,21 trilyun. Dalam Beleid Perpres, pemerintah juga meningkatkan Anggaran Belanja Negara menjadi Rp. 2.739,16 triliun. Sementara Bank Indonesia (BI) melaporkan, cadangan devisa negara pada akhir November 2020 tercatat 133,6 miliar dollar AS.
Namun cadangan devisa yang demikian besar ternyata terus mengalami penurunan. Pasalnya, seperti diakui oleh Onny Widjanarko, Direktur Eksekutif BI, cadangan devisa menurun karena pemerintah harus membayar utang luar negeri (ULN).
ULN negeri ini pada akhir Oktober 2020 tercatat meningkat 3,3 persen. ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) 202,6 miliat dollar AS. Sementara ULN sektor swasta, termasuk BUMN tercatat 210,8 miliar dollar AS. Dengan angka ULN sebesar itu, tak heran kalau Indonesia berada pada peringkat ke-6 negara pengutang terbesar di dunia (Bank Dunia, dalam laporan Statistik Utang Internasional/IDS pada 12/10/2020).
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menyatakan akan mengoptimalkan peran ULN untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional. Namun ULN tetap diyakini sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan di samping pajak. Bahkan Kementrian Keuangan mengklaim bahwa posisi ULN Indonesia saat ini masih aman dan terukur.
Namun seaman apapun, utang tetap berisiko bagi perekonomian negara. Utang akan membebani APBN dalam pembayarannya. Indonesia, bunga utangnya saja yang harus dibayar pada tahun 2020 ini sudah sebesar Rp. 335,16 triliun. Sementara selain pemasukan dari sektor pajak, pemerintah minim sekali memberdayakan sumber pemasukan lain.
Bagi banyak negara, ULN tidak secara signifikan beresiko pada perekonomian negara. Hal ini karena, SDA negaranya dikuasai dan dikelola secara mandiri oleh negara tersebut. Contohnya Brunei dan Qatar. Dua negara tersebut memiliki ladang dan cadangan minyak yang melimpah. Penguasaan SDA oleh pemerintahnya menjadikan Brunei dan Qatar cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dan penguatan ekonominya. Hal itu menjadikan ULN negara-negara tersebut tidak membahayakan perekonomian negara.
Sebaliknya yang terjadi di Indonesia, penguasaan SDA oleh asing dan koorporat swasta menjadikan negara tidak memiliki kemandirian ekonomi. Akibatnya, ULN akan berdampak sangat besar menekan perekonomian negara. Jadi dalam masalah ULN, tidak bisa dilihat dari berapa besarnya utang, tetapi harus dihitung pula kemampuan negara tersebut dalam membayar utangnya.
Cadangan devisa Indonesia yang terhitung minim menjadikan negara ini terpaksa harus menggenjot pemasukan dari pajak untuk membayar utang. Di samping itu, pemerintah terpaksa pula harus mencari utang baru. Kondisi ini diperparah dengan masuknya investasi baik dari asing maupun koorporat domestik dengan basis utang. Di sisi lain, utang juga dapat membuka pintu bagi penguasaan politik negara melalui MoU yang berdampak pada pembuatan kebijakan negara yang pro pada pemberi utang.
Alhasil, utang telah nyata dapat memengaruhi arah kebijakan politik negara. Pemerintah bahkan harus memberikan kompensasi demi memperoleh utang, seperti yang terjadi pada penghentian produksi pesawat oleh PT. Dirgantara Indonesia di era Habibie. Kala itu, pemerintah tidak berdaya, karena terjebak perangkap utang.
Di era Jokowi jebakan utang makin merajalela. Kegemaran rezim untuk berutang dan meraup investasi asing semakin menjadi-jadi. Bahkan sektor-sektor strategis seperti listrik, migas, kereta cepat, pelabuhan sampai bendungan pun ‘diserahkan’ pada asing. Akibatnya, bisa dipastikan, kesejahteraan rakyat yang diharapkan makin jauh panggang dari api. Rakyat terpaksa harus berjibaku melawan kekuatan korporat asing dan swasta bahkan untuk sekadar menyambung hidup. Sementara itu pemerintah tak peduli, karena sudah masuk dalam perangkap utang.
Dalam pengaturan keuangan menurut Islam, terdapat sistem yang sangat solutif bagi kebijakan pengelolaan keuangan negara. Lembaga keuangan negara (Baitul Mal) ditetapkan mempunyai sumber pemasukan yang baku. Disamping hasil dari pengelolaan SDA yang merupakan harta milik umum, Baitul Mal juga mempunyai sumber pemasukan lain untuk kas negara.
Sumber yang sangat besar bagi pemasukan kas negara adalah dari perolehan harta fai’ (harta yang diperoleh dengan penaklukan damai), ghanimah (harta yang diperoleh dengan penaklukan melalui peperangan), kharaj (kompensasi atas tanah yang didapat melalui perang atau damai), dan jizyah (pemasukan dari ahlu dzimmah). Di samping itu, Baitul Mal juga memperoleh pemasukan dari harta milik negara, usyur, khumus, rikaz dan zakat. Sedangkan pajak (dharibah) hanya dipungut oleh negara dari orang-orang kaya dalam kondisi krisis keuangan saja. Negara dilarang berutang, apalagi berutang pada negara kafir yang memusuhi Islam (kafir harbiy).
Dalam pengaturan Islam, utang piutang hanya diperbolehkan di tataran individu dan kelompok saja. Negara diharamkan berutang, karena akan berpotensi mengancam kemandirian negara. Untuk biaya pembangunan dan pengelolaan negara, cukup dari dana pemasukan Baitul Mal saja. Hal ini menjadi niscaya karena pemasukan yang sangat besar dari sumber-sumber yang telah ditetapkan di atas, juga ditambah dengan kekuatan menjaga amanah kepemimpinan yang dipegang teguh oleh pemimpin negara (khalifah) dan para pejabatnya. Sehingga, melakukan suap dan korupsi menjadi hal yang sangat dihindari oleh khalifah dan jajaran pejabatnya.
Memegang amanah kepemimpinan dengan didasari oleh keimanan dan ketakwaan pada Allah memang akan berbeda perspektifnya dengan kepemimpinan yang didasari oleh kerakusan akan jabatan dan harta. Karena perbedaan perspektif ini akan sangat menentukan arah kebijakan pemimpin negara.
Di samping itu, sistem pengaturan negara yang benar berdasarkan Islam akan meminimalisasi terbukanya celah bagi pemimpin dan jajaran pejabatnya untuk bisa melakukan kezaliman kepada rakyat. Karena kewajiban khalifah sebagai pemimpin negara adalah mengurus rakyatnya dengan peraturan Islam. Di samping itu, khalifah juga wajib menjadi pelindung bagi rakyatnya terhadap semua upaya jahat dari musuh yang ingin menghancurkan eksistensi negara atau melakukan penjajahan. Sehingga rakyat akan merasakan indahnya diurus oleh pemimpin negara, sekaligus merasakan keamanan dalam lindungan pemimpinnya. []
Photo : Google Scource
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]