Dengan literasi, masyarakat tak hanya pandai membuat kritik terhadap penguasa. Mereka pun diharuskan mengetahui seluk beluk kebijakan
Oleh. Ummu Azka
NarasiPost.Com-Era 4.0 meniscayakan arus informasi bergulir cepat. Tanpa mengenal waktu dan tempat, semua masyarakat dapat menangkap kejadian demi kejadian lintas benua. Pun begitu, di era ini terdapat banyak fenomena yang mencengangkan. Dimana popularitas dan kedudukan sosial bisa didapat secara cepat. Istilah Panjat Sosial (Pansos) pun dikenal saat ini.
Banyak orang melakukan berbagai cara agar tujuan pribadinya bisa tercapai. Ada yang ingin meraih popularitas, atau sekadar mengejar kepuasan diri semata. Istilah netizen tersemat pada mereka. Aktivitasnya beragam, mulai dari selfie, wefie, hingga aktif melontarkan komentar terkait kejadian apapun yang terjadi di media sosial.
Kelompok netizen ini pun ternyata beragam. Mereka yang terkategori sebagai penggembira, hanya asyik berkomentar menebar kata. Menciptakan keramaian suasana cenderung menjadi tujuan yang utama. Bahkan ada beberapa diantaranya yang menggunakan sindiran dalam menyampaikan pendapat dan komentar. Selain itu, ada golongan netizen yang tampak berbeda. Mereka mulai mencerna berbagai peristiwa yang ada. Tak hanya berkomentar, mereka ternyata aktif memberikan saran, serta pendapat yang bermanfaat untuk kebaikan. Harapan besar tersemat di benak mereka. Secuil komentar positif atau secarik kata yang dirangkai dalam tulisan lalu ditayangkan dan dibaca banyak kalangan, diharapkan mampu menjadi bahan bakar terjadinya perubahan kepada kebaikan.
Alasan kelompok terakhir ini cukup logis. Mencintai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) serta kewajiban untuk saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran serta menjadi penguat tatkala harus berada di posisi netizen yang peduli, cerdas dalam menangkap peristiwa serta menyampaikan kritik sembari menawarkan solusi yang terbaik.
Berbagai fenomena yang terjadi di medsos tersebut tak dipungkiri banyak menuai reaksi. Mulai dari reaksi antar individu, hingga reaksi yang datang dari kelompok/organisasi, bahkan lebih jauh negara. Ya, fluktuasi kondisi media sosial saat ini ternyata jauh melebihi ekspektasi sebelumnya saat keran media sosial pertama kalinya dibuka. Jalan alternatif bagi kaum super sibuk untuk mendapatkan informasi ini, kini malah menjadi dunia kedua setelah dunia nyata. Imbasnya tentu tak main-main. Mereka yang populer di medsos, mudah terkenal juga di dunia nyata.
Mereka yang menyuarakan aspirasinya secara kompak melalui media sosial, ternyata mampu didengar oleh pihak yang lain di dunia nyata. Bahkan keterlibatan masyarakat yang semakin massif dalam menilai kebijakan, tak jarang dianggap mengganggu ketentraman.
Yang terbaru adalah keluarnya kebijakan terkait polisi siber. Dilansir dari Kompas.com, pemerintah menyatakan akan mengaktifkan kepolisian siber pada 2021. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD dalam wawancara khusus dengan Kompas.id, Kamis (17/12/2020).
"Serangan digital memang dilematis, tetapi kami sudah memutuskan ada polisi siber," kata Mahfud dikutip dari Kompas.id, Sabtu (26/12/2020).
Menurut Mahfud, polisi siber akan diaktifkan secara sungguh-sungguh karena terlalu toleran juga akan berbahaya.
Kebijakan ini berlaku sapujagat alias melibas semua pihak yang dianggap menyalahi aturan UU ITE. Yang menjadi bias adalah, mengenai standar pelanggaran etika bermedia sosial yang bisa dipelintir sesuai dengan kepentingan pihak berkuasa. Menjadi baik jika yang digunakan adalah standar kebaikan, namun akan sangat berbahaya jika kekuasaan hanya menjadi alat untuk membenarkan semua tindakan terhadap rakyat. Melarang segala bentuk kritik serta nasehat kepada mereka.
Oleh karena itu, keberadaan polisi siber ini diharapkan menjadi penegak hukum yang sebenarnya di dunia maya. Memberi sanksi bagi pelanggar aturan, serta mengapresiasi penyeru kebaikan di media sosial. Bukan malah sebaliknya. Karena faktanya penerapan UU ITE yang selama ini terjadi hanya menyasar pihak yang melemparkan kritik dan nasihat pada penguasa. Menjerat mereka dengan kurungan penjara, dengan delik ujaran kebencian terhadap penguasa. Tentu hal ini menjadi kurang berimbang, mengingat kritik dan masukan dari rakyat adalah bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kritik yang disampaikan kepada penguasa pun merupakan bukti bahwa masyarakat peduli kepada penguasa. Mengharapkan yang terbaik bagi mereka dengan memberikan solusi yang semestinya.
Yang perlu digaris bawahi adalah tata cara melontarkan kritik dan masukan. Masyarakat seyogyanya memiliki etika dalam menyampaikan kritik dan pendapat. Penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam hal ini menjadi penopang utama, dimana pendapat yang disampaikan bisa terbaca dengan baik, sehingga dapat ditanggapi dengan semestinya.
Banyak cara yang bisa dilakukan agar penyampaian aspirasi dari masyarakat terwacanakan dengan baik. Jalan literasi adalah salah satu caranya. Ya, menjadikan masyarakat melek literasi dengan menggalakkan membaca serta menulis menjadi alternatif agar tampil elegan dalam menyampaikan aspirasi.
Dengan literasi, masyarakat tak hanya pandai membuat kritik terhadap penguasa. Mereka pun diharuskan mengetahui seluk beluk kebijakan, hingga menelusurinya latar belakangnya. Solusi yang ditawarkan merupakan masukan berharga sebagai bentuk kepedulian rakyat kepada negaranya.
Alangkah baiknya jika kita sebagai rakyat dan penguasa bisa hidup berdampingan dalam rangka saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Inilah karakteristik penguasa yang dicintai rakyatnya. Mengurusi urusan rakyat serta terbuka atas segala nasihat dari rakyatnya.
Potret ideal seperti inilah yang terjadi tatkala Islam dalam bingkai khilafah berkuasa. Khalifah kedua, Umar bin Khattab pernah mencontohkannya. Diantara banyaknya keutamaan yang dimiliki, beliau menjadi sosok yang terbuka terhadap kritik rakyatnya. Bahkan beliau menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.
Ketika ditunjuk untuk menjabat sebagai Khalifah menggantikan Abu Bakar, beliau menolak jabatan tersebut, hingga seorang sahabat menjamin akan menjadi orang yang akan memuhasabahinya dan meluruskannya dengan pedang.
Kisah khalifah Umar di atas menunjukkan bahwa seharusnya penguasa dengan tangan terbuka menerima nasihat dan kritik yang dilayangkan terhadapnya. Selain itu, nasihat terhadap penguasa merupakan bagian dari perintah Allah untuk manusia.
Rasulullah Saw bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“
[HR. Imam Ahmad][]
Photo : Google Scource
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]