Kebutuhan listrik yang semakin besar, seharusnya menjadikan PLN sebagai perusahaan yang perlu pengawasan serta menjamin ketersediaannya dari pemerintah
Oleh : Ummu Khansa
Pemerhati Pendidikan, Ibu Rumah Tangga
NarasiPost.Com-Listrik sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Hampir seluruh penduduk bumi membutuhkan energi listrik untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Peran listrik ini sangat diprioritaskan bahkan dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah wilayah.
Dilansir dari media Bandungkita. id, Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Zulkifli Yani memberikan penghargaan kepada Bupati Bandung Dadang M Naser pada Selasa, 2 Desember 2020. Penghargaan itu diberikan karena dukungan Bupati Bandung dalam kegiatan strategis kelistrikan nasional. Penilaian PLN didasarkan pada kontribusi pemerintah daerah dalam mengajak masyarakat untuk membayar listrik tepat waktu. Dadang M Naser menganggap, penghargaan itu adalah penghargaan untuk seluruh masyarakat Kabupaten Bandung yang telah sabilulungan dalam mendukung setiap kebijakan pemerintah daerah.
Tak bisa dipungkiri, bahwa listrik merupakan kebutuhan primer masyarakat yang pemanfaatannya tidak hanya untuk rumah tangga. Industri pun memerlukan listrik untuk menjalankan produksinya.
Kebutuhan listrik nasional disinyalir akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat. Pada tahun 2019, konsumsi listrik Jawa Barat mencapai 1.231 KWA per kapita, dan diprediksi akan meningkat menjadi 1.504 KWA pada tahun 2023.
Kebutuhan listrik yang semakin besar, seharusnya menjadikan PLN sebagai perusahaan yang perlu pengawasan serta menjamin ketersediaannya dari pemerintah. Akan tetapi, faktanya kondisi kelistrikan di Indonesia mengalami problematika yang pelik. Pada kurta I 2020 PLN mencatat kerugian sebesar Rp. 38,88 triliyun. Tidak hanya itu Tarif Dasar Listrik (TDL) yang mengikuti harga pasar menjadikan masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan listrik. Indonesia masih menempati peringkat ke 95 dalam kategori Electricity access population. Poisisi ini masih dibawah Malaysia (peringkat 87), Vietnam (peringkat 84) dan Singapura, Thailand, Tiongkok, Korea Selatan (peringkat 2) (finance.detik.com, 3/4/2020).
Dalam upaya liberalisasi sektor kelistrikan yang terus berlangsung sejak dikeluarkannya Kepres No. 37 Tahun 1992, swasta mulai ikut serta dalam penyediaan listrik. Pemerintah mengizinkan swasta untuk membangun pembangkit baru. Sejak disahkan keputusan presiden tersebut, pembangkit swasta berdiri dengan alasan membantu PLN yang kekuarangan suplai listrik. Selain itu disahkannya Undang-Undang No. 04 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah menjadikan swasta asing dapat menguasai sumber energi primer.
Liberalisasi kelistrikan diperkuat dengan undang-undang No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan.
Dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan, Salamudin Daeng menjelaskan ada tiga hal yang menjadikan undang-undang ini bermasalah.
Pertama, undang-undang mengandung semangat komersialisasi listrik, yakni bisnis ketenagalistrikan dengan prinsip usaha yang sehat, yaitu harus menguntungkan.
Kedua, undang-undang ketenagalistrikan mengandung misi liberalisasi, artinya penyelenggaraan kelistrikan bisa dilakukan secara terpisah-pisah.
Ketiga, undang-undang bertendensi dijadikan landasan hukum oleh oligarki nasional untuk melakukan privatisasi sekaligus perampokan kekayaan negara. (mkri.id, 7/4/2016)
Kondisi ini terjadi karena sistem kapitalisme yang sedang mencengkram Indonesia menyebabkan adanya liberalisasi dan privatisasi listrik sehingga hajat hidup orang banyak dikuasai oleh korporasi.
Indonesia memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah listrik. Setidaknya, syariat Islam memberikan dua panduan utama dalam masalah ini.
Pertama, listrik adalah bagian dari bahan bakar dan termasuk api (energi) yang merupakan milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam,
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).”
(HR. Ahmad)
Dalam kitab al-Mabsûth, Imam as-Sarakhsyi menjelaskan bahwa manusia, baik muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal tersebut. Penafsiran syirkah dalam air mencakup air yang mengalir di lembah dan sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil.
Penggunaan manfaat air itu posisinya seperti penggunaan manfaat matahari dan udara. Muslim maupun nonmuslim sama saja dalam hal ini. Tidak boleh ada yang menghalangi seseorang dari memanfaatkan hal-hal tersebut. Hal ini sama dengan pemanfaatan jalan umum dimana manusia bisa berjalan di atasnya.
Maksud dari syirkah bayna an-nâs adalah kebolehan dan kesetaraan (musâwah) bagi siapa pun untuk memanfaatkan (ketiganya). Maka ketiga barang itu merupakan barang yang dimiliki oleh mereka secara kolektif. Maka, air yang mengalir di lembah itu bukan milik seorang pun, tapi milik manusia secara kolektif.
Hadits nabi tersebut mencakup pula berbagai fasilitas seperti gardu, tiang, mesin pembangkit, dan lain sebagainya.
Kedua, batubara, migas dan panas bumi sebagai sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik juga merupakan milik umum. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm dan Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah memaparkan bahwa kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Seluruh manusia dibolehkan memanfaatkan kekayaan tersebut, namun, haram dijadikan kepemilikan pribadi.
Ada tiga jenis kepemilikan publik:
Pertama, sarana umum yang merupakan hajat hidup seluruh warga negara, seperti saluran irigasi, air, hutan, pembangkit listrik, sumber energi dll.
Kedua, kekayaan yang hukum asalnya terlarang bagi individu untuk menguasainya seperti laut , jalan umum, sungai , teluk, danau, kanal, selat, lapangan, dll.
Ketiga, sumber daya tambang dengan jumlah melimpah, baik padat (seperti emas atau nikel), cair (minyak bumi), atau gas (gas alam).
Oleh karena itu, sektor kelistrikan wajib dikelola negara dan tidak boleh diserahkan secara komersial kepada pihak asing dan swasta. Prinsip pengelolaan listrik dalam Islam ini juga mencegah negara dari krisis listrik yang berkepanjangan dan Tarif Dasar Listrik (TDL) tinggi. Sudah menjadi kewajiban untuk menjadikan solusi Islam sebagai pemecah problematika listrik dan meninggalkan solusi liberalisasi yang bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme.
Wallahu a’lam bi ash shawwab[]