Pengutamaan sisi ketakwaannya, menjadikan orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah mereka yang memahami besarnya amanah yang ada di pundaknya. Amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Oleh: Yessi Wangi
NarasiPost.com - Orang–orang besar negeri ini tak bermoral. Mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Belum tuntas rasa geram di hati rakyat atas tertangkap tangannya Menteri Kelautan dan Perikanan karena kasus baby lobster dengan dugaan suap 3,4 miliar akhir November 2020 lalu, kini giliran Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang terciduk melakukan korupsi senilai 17 miliar (cnbcindonesia .com, 6 Desember 2020).
Uang yang diterima sang menteri disinyalir berasal dari dana proyek bantuan sosial paket sembako bagi warga terdampak covid 19. Bantuan yang diberikan dalam dua tahap tersebut merupakan hasil rekanan dengan beberapa perusahaan supplier penyedia bahan sembako. Satu di antaranya adalah perusahaan milik salah satu dari dua pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial sendiri yang juga menjadi tersangka. Dua tersangka berikutnya adalah dari pihak swasta sebagai pemberi suap (cnbcindonesia.com,Kompas.com, 6 Desember 2020).
Tradisi korupsi yang turun-temurun di setiap rezim seolah menjadi peristiwa wajib yang senantiasa menghiasi roda pemerintahan negeri ini. Tiada habis-habisnya. Meskipun rezim selalu berganti, kasus korupsi tiada berhenti. Mulai level terendah seperti Kepala Desa, sampe tingkat pemerintahan pusat. Secara individu maupun berjemaah. Tidak peduli masa pandemi ataupun tidak, jika ada kesempatan meskipun rakyat dalam kesempitan, proyek–proyek korupsi tetap beraksi. Inilah karut marut pengelolaan negeri ini. Negeri salah asuhan.
Faktor Pembentuk Karakter Pemerintah Korupsi
Banyak penelitian menyoroti masalah korupsi. Di antaranya Natal Kristiono, dari Universitas Negeri Semarang, mengkaitkan penyebab korupsi dengan empat faktor: faktor politik, yaitu melalui money politic dalam setiap peristiwa politik seperti pemilu ataupun pilkada; faktor hukum, yaitu dari produk hukumnya yang tidak jelas, multi tafsir, tidak adil, memihak pada golongan tertentu, serta sanksi hukum yang tidak sepadan; faktor ekonomi dan birokrasi yang berbelit-belit; dan faktor transnasional di mana masuknya perusahaan-perusahaan atau investor asing membuka peluang baru untuk praktik korupsi di kalangan pejabat daerah yang memiliki wewenang perizinan usaha (researchget.net, 2015).
Sementara Dian Herdiana (jurnal.kemendagri.co.id, 2019) mengungkapkan tiga faktor maraknya korupsi tingkat Kepala Desa, yaitu: faktor regulasi yang memberikan kewenangan yang besar kepada Kepala Desa untuk melakukan pembangunan di desanya; faktor kepribadian Kepala Desa yang tamak, minim integritas dan moralitas, tuntutan ekonomi maupun janji-janji politik; dan faktor kontrol masyarakat, di mana masyarakat tidak dapat melakukan pemantauan dan penilaian kinerja Kepala Desa.
Semua faktor di atas secara filosofis dan teknis sangat memungkinkan mengantarkan kepada suburnya praktek korupsi di semua lini dan jenjang pemerintahan.
Dalam konteks politik, secara lebih jauh bisa digali bahwa mengakarnya tindak korupsi dalam negeri ini bisa dikembalikan kepada beberapa hal.
Pertama, sistem pemilu dan pembentukan pengelola negara (pemerintah) yang rentan dengan praktik pendahuluan korupsi itu sendiri. Kampanye dengan menghamburkan dana besar, money politic untuk perolehan suara, sampai kepada bagi-bagi kursi di jajaran para Menteri dan posisi pejabat strategis level pusat, menghasilkan teori balas budi politik. Hal ini menjadikan rusaknya good will terhadap rakyat yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi penguasa baru.
Kedua, kepentingan politik dan ekonomi menjadi tolak ukur pola pengelolaan Negara. Hal ini mengantarkan kepada pandangan untuk lebih mementingkan kolega, partai, keluarga dan pihak-pihak yang telah menjadi penyumbang utama bagi keberhasilan naiknya penguasa baru. Sekali lagi, kepentingan rakyat akan terpinggirkan.
Ketiga, pola ini berlanjut kepada peremehan terhadap pentingnya menyerahkan segala bidang urusan rakyat kepada ahlinya. Akibatnya banyak urusan rakyat yang tidak beres, terlantar dan terabaikan karena ditangani oleh orang-orang yang berkepentinga di sana, bukan orang-orang yang sungguh-sungguh memahami dan menginginkan kebaikan rakyat.
Selanjutnya kerangka politik seperti ini terus mengalir dan berjalan dari rezim ke rezim, pilkada ke pilkada, instansi ke instansi, dan seterusnya. Tidak akan berhenti selama sistem perpolitikan yang melingkupi Negara ini tidak berubah.
Pembentukan Pemerintahan yang Minim Korupsi
Pemilu merupakan pangkal pembentukan pemerintahan. Sistem pemilu yang sarat dengan persaingan ekonomi antar-calon pemimpin, kebutuhan dana yang besar dan penggalangan donasi dari para kapitalis, menjadikan sulit untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Maka perombakan sistem pemilu yang minim biaya, minim hegemoni para pemilik modal, independen dan bersih dari praktik suap-menyuap akan dapat melahirkan pemerintahan yang akan dapat berdiri sendiri. Tidak ada lagi kepentingan pihak-pihak tertentu yang harus diutamakan, tidak ada lagi utang politik yang membebani yang harus dipenuhi. Sehingga praktik korupsipun akan terminimalisasi.
Selanjutnya posisi-posisi strategis, apalagi yang menyangkut hajat hidup umat banyak, akan bisa diberikan kepada orang-orang yang ahli dibidangnya. Ditambah dengan pengutamaan sisi ketakwaannya, menjadikan orang-orang yang duduk di pemerintahan adalah mereka yang memahami besarnya amanah yang ada di pundaknya. Amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Jika sudah demikian, tentu saja kebijakan-kebijakan, undang-undang, dan keputusan-keputusan, terutama yang berkaitan dengan bidang ekonomi akan lebih pro kepada rakyat umum, bukan lagi hanya merapat kepada kolega bisnis tertentu, keluarga ataupun partai. Siapa yang paling kompeten, dialah yang akan ditunjuk untuk menjadi mitra bagi pemerintah dalam menjalankan proyek-proyeknya.
Sebagai penyempurna dan penjamin terlaksananya hal-hal di atas, harus didukung pula oleh sistem dan perundang-undangan Negara yang berlandaskan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'aala Dengan pondasi Negara yang kuat dan kental sisi kerohaniannya, maka akan memancarkan rahmat dan keberkahan yang akan melingkupi seluruh negeri.
Penutup
Rakyat sudah lelah, capek dan menderita. Covid 19 belum juga reda. Ekonomi tak kunjung pulih. Beban kehidupan, sandang pangan papan tak jua berkurang. Sementara para pejabat Negara alih-alih berkoban untuk rakyatnya, mereka malah berlomba menguras dan mencuri harta milik rakyat. Apakah ingin menyiksa rakyat pelan-pelan? Ingatlah, Allah Subhanahu Wa Ta'aala akan menanyakan setiap langkah dan tindakan yang diambil oleh setiap pemegang urusan umat.