Kita berada di sistem demokrasi yang jelas kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi dalam sistem ini, jika hal ini terjadi sama saja seperti mengonfirmasi akan kecacatan dari kebebasan berpendapat dalam sistem itu tersendiri
Oleh: Nada Navisya
NarasiPost.Com-Tahun 2020 akan segera berlalu, banyak sekali berita kontroversial yang terjadi tahun ini, diantaranya adanya virus corona yang tidak kunjung usai karena penanganannya yang tidak serius, adanya pengesahan UU yang dianggap oleh rakyat hanya menguntungkan korporasi namun merugikan para buruh, menteri yang korupsi, yang paling parah ialah korupsi bansos beberapa waktu lalu, dan berita lainnya.
Di tengah era digital yang kian mendominasi kehidupan, ditambah pandemi yang mengharuskan semua kegiatan dilakukan secara online, membuat masyarakat pun lebih mudah mendapatkan berita dari media sosial. Berita-berita itu pun dengan mudah bisa ditanggapi langsung oleh masyarakat, mulai dari memberikan selamat jika ada berita yang baik, ataupun memberikan kritikan berikut saran pada berita yang buruk untuk oknum tertentu, seperti pemerintah misalnya. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang melek akan situasi yang terjadi di negara ini.
Namun tahun depan sepertinya akan berbeda dengan tahun ini, kebebasan berpendapat sebagai salah satu dari kebebasan yang ditawarkan oleh demokrasi akan sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan tahun depan pemerintah akan membuat kepolisian siber yang akan mengawasi media sosial. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD,
"Serangan digital memang dilematis, tetapi kami sudah memutuskan ada polisi siber, tahun 2021 akan diaktifkan sungguh-sungguh karena terlalu toleran juga berbahaya," kata Mahfud (kompas.id, 26/12/2020).
Sangat mengherankan jika nantinya polisi siber diaktifkan. Bagaimana tidak, kita berada di sistem demokrasi yang jelas kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi dalam sistem ini, jika hal ini terjadi sama saja seperti mengonfirmasi akan kecacatan dari kebebasan berpendapat dalam sistem itu tersendiri. Tidak adanya standar yang jelas dari kebebasan membuat masyarakat berpendapat sebebas-bebasnya tanpa batas. Timbul pertanyaan besar, salahkah masyarakat atas hak kebebasan berpendapat yang diberikan oleh negara yang menganut sistem demokrasi ini? atau kesalahannya justru terletak pada asas kebebasan berpendapat yang tidak mempunyai standar atau batas dalam sistem demokrasi ini?
Adanya polisi siber untuk mengawasi aktivitas sosial media pada rakyat tidak akan menjadi solusi dari berbagai persoalan yang terjadi. Apalagi kebijakan polisi siber hanya akan menangkap seseorang yang berpendapat di media sosial namun dianggap menghina ataupun menyinggung tentang kepentingan masyarakat.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, menilai bahwa kebijakan polisi siber yang diterapkan pada 2021 mendatang membuat kebebasan berekspresi semakin terbatas. Rivan yakin bahwa dengan adanya kebijakan tersebut maka orang-orang akan enggan berkomentar tentang kebijakan negara. Karena menurutnya kalau mengkritisi negara itu kerap kali dituduh melawan negara atau di stigma menjadi kelompok tertentu. Rivan juga berharap patroli siber harus bekerja secara terukur, ada legalitasnya, ada proporsionalitas, harus ada ukuran jelas dan tegas di dalamnya, supaya tidak subjektif. (cnnindonesia, 29/12/2020)
Senada dengan pernyataan Rivan, Tidak adanya ukuran yang jelas ini memang akan membuat masyarakat takut untuk mengkritik ataupun memberikan saran kepada penguasa. Hal ini tentu dapat mengakibatkan adanya miskomunikasi antara rakyat dan penguasa. Padahal tugas penguasa adalah sebagai ri’ayatul suunil ummah yaitu pengurus kepentingan rakyat. Bagaimana penguasa akan mengurus urusan rakyat, jika penguasa tidak tahu-menahu tentang permasalahan yang sedang dirasakan oleh rakyatnya?
Oleh sebab itu, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rezim menjalankan sistem demokrasi yang dikenal dengan selogan kebebasan berbendapat hanya untuk menarik perhatian masyarakat saja agar percaya bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dengan jaminan kebebasan. Namun dalam implementasinya sangat jauh dari kebebasan berpendapat itu sendiri. Malahan bisa dibilang, rezim dalam sistem demokrasi ini menjadi rezim yang antikritik. Padahal peran masyarakat dalam sebuah negara adalah mengawasi, mengkritik dan menyarankan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum yang nantinya akan berdampak kepada masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kritik seharusnya rezim dapat intropeksi ke depannya, namun ternyata rezim semakin garang dengan adanya kritikan dari rakyat.
Apalagi jika melihat ke belakang, di tahun 2020 saja banyak kebijakan dari penguasa yang dianggap menguntungkan suatu pihak namun merugikan pihak yang lain. Jelas ini adalah sebuah kezaliman yang harus ditentang. Tentu jika tidak ada yang mengkritik kebijakan tersebut maka akan lahir kebijakan-kebijakan yang tidak adil lainnya. Hal ini juga tidak lepas dari sistem yang dianut oleh negara ini, yaitu sistem demokrasi yang meniscayakan aturan berada pada tangan manusia.
Padahal sudah diketahui bahwasanya manusia itu serba kurang, lemah, dan terbatas. Dikarenakan manusia membuat aturan hanya dengan hawa nafsu dan kepentingan belaka, jika kekurangan dari kebijakan telah nampak maka rezim akan menutup mulut siapapun yang membuka kekurangan tersebut.
Kebijakan Polisi siber adalah salah satu cara rezim menutup mulut rakyat yang kritis akan masalah politik, seolah olah untuk kepentingan rakyat padahal hanya untuk kepentingan diri sendiri dan korporasi yang ada dibelakangnya.
Berbeda halnya dengan sistem demokrasi yang antikritik, dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) diam terhadap kezaliman bukanlah kultur Islam, Islam justru menyuruh rakyatnya agar senantiasa mengkritik penguasa jika penguasa tersebut berbuat suatu kezaliman, baik itu yang melanggar hak individu maupun masyarakat.
Bahkan dalam sistem Islam terdapat mekanisme kontrol (muhasabah). Ada Majelis Umat yang akan melakukan fungsi muhasabah terhadap penguasa (Khalifah). Selain itu ada juga Mahkamah Mazhalim yang bertugas untuk menghilangkan kezaliman oknum penguasa, mulai dari penguasa tertinggi khalifah sampai dengan yang menjabat jabatan terendah dalam negara khilafah.
Jika Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim tidak dapat menjalankan tugasnya dengan sempurna, maka khilafah membuka ruang kepada rakyat baik itu ulama maupun semua partai politik untuk melakukan kontrol terhadap khalifah. Sehingga jika ada suatu kezaliman yang dilakukan oleh penguasa, sistem Islam akan dengan mudah dapat mengatasinya. Berbeda dengan sistem demokrasi yang malah semakin menyuburkan kezaliman tersebut.
Nabi SAW bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ، كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.”
(HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011).[]
Photo : Google Scource
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]