Demokrasi gagal mencetak pemimpin yang amanah. Pemimpin hanya sebagai fasilitator dan regulator saja. Fasilitator artinya sekadar mitra atau penghubung antara kepentingan bisnis kapitalis dengan kepentingan umat. Sementara regulator hanya menjadi wasit berlangsungnya tatanan kehidupan yang diatur dengan kebijakan dan hukum yang berdasarkan akal manusia.
Oleh. Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Penulis)
NarasiPost.Com-Partisipasi Pemilukada menurun, tercermin dalam angka golput yang tinggi hingga mencapai 41%. Hal ini membuktikan bahwa rakyat semakin tidak percaya terhadap pemimpin yang ada saat ini atau yang akan diangkat kelak. Berbagai pihak pun mulai menyoroti angka golput yang tinggi ini. Sebagian berpendapat bahwa partisipasi di bawah lima puluh persen ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah memang terbilang belum berpihak pada masyarakat. Bahkan, urusan masyarakat seringkali diabaikan, berbagai problematika tidak segera dituntaskan. Pemerintah seolah hanya berfokus pada persoalan politik kekuasaan dan keuntungan ekonomi saja.
Kita lihat saja dari bentuk nekat pemerintah menyelenggarakan pemilu sementara angka positif covid-19 masih terbilang tinggi. Sayangnya, hal itu pun diamini oleh daerah dengan dalih bahwa sudah waktunya pergantian kepemimpinan, meski di satu sisi ada kekhawatiran penularan virus ketika penyelenggaraan pemilu.
Itu baru satu persoalan yang tidak segera diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Di satu sisi menyosialisasikan soal pentingnya prokes covid-19, tapi di sisi lain juga lepas kontrol terhadap kerumunan yang mungkin belum terjamah perhatian, misalnya tempat-tempat tongkrongan, interaksi di dunia pekerjaan, interaksi di sekolah, hingga Pemilukada.
Tidak hanya itu, tuntutan penolakan masyarakat terhadap omnibus law beberapa waktu saja tidak memberi pengaruh berarti karena undang-undang tersebut tetap saja disahkan. Banjir di kota Balikpapan juga belum menempuh solusi hakiki. Dan juga persoalan faskes BPJS yang banyak dikeluhkan masyarakat terkait pembiayaannya. Dan tidak terlupa masalah sosial, masalah generasi yang butuh segera dicarikan solusinya.
Namun, jauh panggang dari api. Pemimpin yang sudah duduk di kursi atau pun akan diangkat terlihat jauh dari kata amanah. Yang tampak adalah watak pemimpin khianat. Bermanis muka mendekati rakyat saat menjelang pemilu, tapi setelah naik tahta langsung pura-pura lupa.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan hanya dijadikan alat untuk meraih keuntungan dan mempermudah jalan bisnis para kapitalis saja. Kepentingan kapitalis nomor satu, tercermin dalam kebijakan dan proyek yang diloloskan hanya untuk keuntungan ekonomi saja. Sementara persoalan umat akan dikesampingkan.
Demokrasi adalah sistem yang tidak berpihak pada rakyat. Dia hanya sistem politik yang lahir dari rahim kapitalisme, sehingga hanya berorientasi pada politik uang dan memuluskan kepentingan para kapitalis bahkan membentuk oligarki kekuasaan. Dan ketika sudah terbentuk oligarki, maka pengaturan urusan masyarakat hanya demi memenuhi syahwat segelintir orang saja.
Di sinilah kita harus sadar bahwa demokrasi gagal mencetak pemimpin yang amanah. Pemimpin hanya sebagai fasilitator dan regulator saja. Fasilitator artinya sekadar mitra atau penghubung antara kepentingan bisnis kapitalis dengan kepentingan umat. Sementara regulator hanya menjadi wasit berlangsungnya tatanan kehidupan yang diatur dengan kebijakan dan hukum yang berdasarkan akal manusia.
Masyarakat pun akhirnya apatis terhadap pemilihan pemimpin dalam demokrasi. Rakyat merasa tidak diurusi oleh negara sekalipun ada pemimpin. Masyarakat merasa bisa hidup tanpa diurus dan memilih bertahan masing-masing untuk menyambung hidup. Sehingga wajar, angka golput meningkat karena masyarakat merasa dikhianati. Berbeda dengan Islam yang mampu mewujudkan pemimpin yang amanah. Mengapa bisa demikian? Karena amanah itu adalah buah dari akidah. Amanah adalah akhlak yang akan tercermin dari akidah seseorang yang kokoh beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin yang taat dan takut hanya kepada Allah saja bukan manusia apalagi hanya dengan iming-iming materi.
Islam mampu mencetak pemimpin amanah yang berfungsi sebagai raa'in. Raa'in artinya pelayan. Pemimpin adalah pelayan bagi umat. Ia akan bertanggung jawab terhadap segala urusan umat. Ia wajib mengurusnya dengan syariat Islam dan menyelesaikan persoalan umat dengan Islam saja.
Sebagaimana Rasulullah SAW ketika berdialog dengan Mu'adz bin Jabal yang diamanahi menjadi wali (gubernur) di Yaman. Rasulullah SAW pun bertanya
"Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu'adz?"
"Kitabullah," jawab Mu'adz.
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.
Dengan penerapan Islam kaffah, termasuk dalam pendidikan atau pembinaan partai politik yang sahih, maka akan mampu mencetak masyarakat yang memiliki wa'yu siyasi (kesadaran politik). Masyarakat akan berpartisipasi secara politik memandang segala aspek dengan sudut pandang khas yaitu akidah Islam.
Masyarakat pun akan terdorong untuk memilih pemimpin semata-mata karena dorongan akidah agar pemimpin yang terpilih memimpin mereka dengan Al Qur'an dan as Sunnah. Karna wajibnya umat Islam mengangkat Khalifah. Beginilah sistem Islam, dan hanya akan terwujud dalam naungan khilafah Islamiyyah. Wallahu a'lam bish shawab.[]