Dilema Pembelajaran Tatap Muka

Upaya mewujudkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menerapkan protokol kesehatan masih rendah. Banyak terjadi pelanggaran. Akibatnya, penyebaran covid-19 semakin tak terkendali.


Oleh: Sri Yulia Sulistyorini, S. Si (Praktisi Pendidikan)

NarasiPost.Com — Dilema tengah melanda para orang tua, tatkala sekolah tatap muka akan kembali dibuka. Pilihan sulit muncul ketika harus mengizinkan anaknya pergi ke sekolah saat pandemi. Di lain sisi, ada rasa khawatir akan pendidikan anaknya, jika terlalu lama tidak masuk sekolah. Hanya doa dan kepasrahan yang bisa dilakukan untuk keselamatan dan kesuksesan anaknya. Bagaimanapun kondisinya, orang tua harus merelakan anaknya untuk menuntut ilmu di tengah pandemi.


Sekolah tatap muka bakal dibuka bulan Januari 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim sudah mengizinkannya. Asalkan disetujui oleh tiga pihak, yaitu Pemerintah Daerah, Kepala Sekolah, dan orang tua murid melalui komite sekolah. Keputusan terakhir ada di pihak orang tua. Jika orang tua mengizinkan, maka sekolah tatap muka diperbolehkan. (CNBC Indonesia, 28/11/2020).


Sambutan gembira bagi para siswa, setelah sekian lama tidak bisa masuk sekolah, bertemu dengan teman-teman dan guru, menikmati pembelajaran di sekolah secara normal. Begitu pula para guru yang merindukan anak-anak didiknya, setelah sekian lama tidak bisa menyampaikan materi pembelajaran secara lebih leluasa. Pembelajaran daring tidak bisa menggantikan pembelajaran tatap muka sepenuhnya. Banyak hal yang tidak bisa tersampaikan. Kendala jaringan internet, kuota, dan ketersediaan gadget kerap melanda para siswa dan guru.


Namun, rasa khawatir tentu ada. Tak hanya orang tua, berbagai pihak juga menyatakan kekhawatirannya akan munculnya kluster baru di sekolah. Hal ini wajar, karena laju penyebaran covid-19 belum menurun. Seketat apapun protokol kesehatan yang akan diterapkan, resiko penularan akan tetap ada. Apalagi, anak-anak yang sulit untuk diarahkan agar mematuhi protokol kesehatan.


Wahana Visi Indonesia (WVI) melakukan survey kepada para guru dan tenaga kependidikan terkait rencana pembelajaran tatap muka. Hasilnya, 76% merasa khawatir karena menganggapnya kurang aman. Sisanya, 24% tidak mempermasalahkan, karena menganggapnya aman dan kemungkinan kecil terjadi penyebaran virus. Medcom.id ( Kamis, 22 Oktober 2020).


Sementara, Ketua umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada Tribun Kalitim menyatakan kekhawatirannya terkait pembelajaran tatap muka di sekolah. Menurut Dr. Aman. B. Pulungan, pembelajaran tatap muka di sekolah memiliki resiko tinggi lonjakan kasus Covid-19. Karena, anak-anak berada pada masa pembentukan berbagai perilaku.


Kebijakan yang Membingungkan adalah Latar Belakangnya.


Sejak awal munculnya Covid-19 ini, masyarakat dibuat bingung dengan kebijakan yang ada. Betapa tidak, ketika kebijakan social distancing dilakukan, maka seluruh sekolah langsung Belajar Dari Rumah (BDR). Banyak masjid ditutup untuk membatasi interaksi sosial. Namun, masih banyak tempat kerumunan yang dibiarkan, seperti mall-mall dan pertokoan. Padahal, wacana karantina wilayah sudah banyak muncul dari masyakat. Tampaknya, sektor perekonomian yang diutamakan.


Selanjutnya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)9 diterapkan. Sekolah tetap memberlakukan Belajar Dari Rumah (BDR). Arus lalu lintas mulai diperketat pengawasannya. Berbagai tindak pelanggaran juga diberi sanksi. Namun, lonjakan kasus covid-19 tetap terjadi. Berlanjut lagi dengan era New Normal. Masyarakat menjadi semakin bingung, kondisi dibuat seolah-olah normal tapi pandemi makin merebak. Lagi-lagi sekolah juga masih memberlakukan Belajar Dari Rumah (BDR).


Akibat dari Kebingungan Masyarakat


Para siswa dan orang tua banyak yang stres. Para guru juga dibuat bingung harus menggunakan strategi seperti apa lagi agar anak didiknya paham, walau tak ada tatap muka. Padahal, berbagai diklat dan pelatihan untuk peningkatan kualitas guru sudah dilakukan. Namun, masih banyak kendala yang terjadi. Seperti, ketidaksiapan siswa dengan perangkat yang dibutuhkan atau aplikasi yang memungkinkan siswa bisa mengaksesnya. Belum lagi kendala jaringan internet dan kuota.


Kondisi ini memicu para orang tua dan siswa untuk melakukan upaya-upaya demi pelaksanaan pembelajaran anaknya. Seperti, mengajak anaknya bekerja membantu perekonomian orang tua agar bisa membeli kuota. Meski kuota sudah diberikan oleh pemerintah, namun tidak bisa menjangkau semuanya. Selanjutnya, fokus belajar menjadi berkurang, sering telat mengerjakan tugas, semakin pusing, akhirnya memutuskan untuk keluar dari sekolah. Ancaman putus sekolah semakin banyak terjadi.


Selain itu, pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan secara daring, tidak bisa utuh. Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan anak didik semakin merosot. Oleh karena itu, wacana pembelajaran tatap muka muncul. Awalnya, hanya wilayah pada zona hijau saja yang boleh menerapkan tatap muka. Sampai akhirnya direncanakan sekolah bakal dibuka Januari mendatang.


Sementara, kondisi masyarakat sepertinya juga sudah jengah. Tak sedikit mereka yang bersikap tidak peduli lagi dengan protokol kesehatan. Mereka hanya pasrah menerima keadaan. Yang penting, mereka bisa bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Interaksi sosial menjadi semakin tak terkendali. Sementara, siswa juga berinteraksi di masyarakat. Ketika berangkat sekolah, potensi penyebaran virus akan semakin tinggi.

Mengatasi Virus, namun Pembelajaan Tetap Terlaksana


Upaya mewujudkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menerapkan protokol kesehatan masih rendah. Banyak terjadi pelanggaran. Akibatnya, penyebaran covid-19 semakin tak terkendali. Pihak Rumah sakit dan tenaga kesehatan semakin kewalahan, bahkan banyak yang tutup, baik karena ketersediaan pelayanan kesehatan yang minim maupun tenaga kesehatan yang tidak bisa melayani karena terjangkit virus.
Padahal, jika dipisahkan sejak awal, mana yang sehat dan mana yang sakit, tentu akan lebih mudah mengatasi pandemi ini. Sekolah juga masih bisa diselenggarakan secara normal bagi orang-orang yang sehat di wilayah yang bebas dari virus. Sementara, wilayah yang sudah ada virus, maka harus betul-betul dijaga agar terisolasi, tidak boleh ada orang yang keluar masuk. Istilahnya adalah karantina atau lockdown. Segala kebutuhan logistik dicukupi oleh pemerintah di wilayah yang di-lockdown.


Islam Mengatasi Segala Persoalan


Islam adalah diin yang sempurna dan paripurna, maka segala persoalan manusia pasti ada solusinya. Tinggal manusia mau mengikutinya atau mengabaikannya. Ketika ada persoalan, maka dicari apa akar persoalannya. Sehingga, setiap persoalan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah dalam dunia pendidikan pasti berkaitan pula dengan masalah-masalah yang lain.

Munculnya persoalan pembelajaran adalah buah dari diabaikannya aturan Allah. Maka, kembali kepada Islam untuk mengatur kehidupan adalah keniscayaan.


Solusi lockdown sejalan dengan solusi Islam mengatasi wabah. Untuk menekan penyebaran penyakit di wilayah yang terjangkit virus, maka telah dicontohkan pada masa penerapan Islam. Orang yang sakit dipisahkan dari yang sehat. Sehingga, orang yang sehat masih bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari secara normal, termasuk untuk keperluan pendidikan. Akan tetapi, tidak diperbolehkan memasuki wilayah yang terkena wabah, sedangkan orang yang berada di wilayah yang terkena wabah tidak boleh keluar dari wilayahnya.

"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu."

(HR Bukhari)


Begitu pula dalam hadist Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Jelaslah bahwa untuk mengatasi persoalan wabah, solusinya adalah karantina, selain dicarikan pengobatan dan pencegahan dengan maksimal. Maka pembelajaran pun juga akan dapat terlaksana dengan baik. Hal ini pernah diterapkan ketika masa Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Wallahu 'alam bisshawwab []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sri Yulia Sulistyorini, S. Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Politisasi Agama, Tamu Rutin dalam Pilkada
Next
Ketika Zina Adalah Hutang
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram