“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai dan Turmudzi).
Oleh: Aya Ummu Najwa
NarasiPost.com - Tak terasa tahun 2020 akan segera berakhir. Banyak peristiwa dalam dunia yang terjadi di sepanjang tahun ini. Dimulai dari pandemi covid 19 yang masih melanda di beberapa negara hingga saat ini, penghinaan terhadap Rasulullah oleh negara sekuler Perancis yang membuat marah umat Islam di seluruh belahan dunia, hingga populernya buku bagaimana demokrasi mati.
Bagi umat Islam tahun 2020 memberikan banyak sekali peristiwa yang memilukan, baik Indonesia khususnya maupun di dunia umumnya. Di Indonesia sendiri diawali pandemi covid 19 yang bermula dari Wuhan, China hingga merebak ke penjuru dunia termasuk Indonesia, mengakibatkan aktivitas dunia bagaikan lumpuh total, korban yang masih terus meningkat hingga saat ini, perekonomian, pendidikan, hingga pelaksanaan ibadahpun ikut terdampak, dan sampai saat ini masih belum tertangani dengan layak. Sistem negara yang menerapkan kapitalisme sekulerisme telah menjadikan pandemi ini semakin merajalela. Bagaimana tidak di saat pandemi ini masih dalam keadaan bisa dicegah, akan tetapi karena negara yang hanya mementingkan ekonomi para kapitalis malah melahirkan kebijakan tak manusiawi dengan membuka kran pariwisata seluas-luasnya demi menarik wisatawan asing, yang akhirnya penularan covid 19 tak dapat dibendung lagi.
Di tengah kondisi umat yang kian terpuruk ekonominya karena pandemi, PHK masal, usaha yang gulung tikar, naiknya angka pengangguran dan rakyat miskin, melesatnya jumlah korban covid 19 karena penanganan yang tak maksimal dan terkesan abai, kebijakan pendidikan yang setengah hati, hingga bantuan sosial yang tak merata, bahkan dikorupsi, semakin membuat rakyat kian menjerit. Semua kepiluan ini tak membuat pemerintah menjadi memiliki hati, ini dibuktikan lahirnya undang-undang cipta kerja yang sangat kejam hanya untuk memuaskan para investor dan mengebiri hak rakyat di negerinya sendiri. Sistem demokrasi kapitalis ini sungguh telah menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengurus urusan manusia.
Belum selesai keriuhan ini, Indonesia kembali dikejutkan dengan pendeklarasian Papua merdeka. Papua menyatakan kemerdekaannya dan keterpisahannya dengan Indonesia, bahkan kepala negaranyapun sudah ditetapkan. Sungguh ini memilukan bagi segenap rakyat Indonesia. Masih belum pulih sakit hati rakyat Indonesia karena terpisahnya Timor Leste, dan sekarang ditambah Papua. Dengan persamaan motif keinginan untuk memerdekakan diri, karena kurangmeratanya kesejahteraan, pembangunan yang tak merata, kurangnya pengayoman dari pemerintah, membentuk kebencian dan sakit hati sehingga menimbulkan keinginan untuk merdeka. Dan yang lebih memilukan adalah reaksi para penyelenggara negara yang terkesan menganggap enteng dan santai seakan itu hanya lelucon anak kecil yang sedang merajuk, dirayu dengan mainan akan tenang kembali. Berbeda reaksi dengan dakwah Islam yang bahkan hanya ide solusi untuk negeri saja sudah dibredel dan para pengembannya dikriminalisasi dan diintimidasi.
Sesungguhnya kasus disintegrasi Timor Leste dan Papua adalah buah dari demokrasi kapitalis. Kesenjangan yang terjadi adalah kurangmeratanya kesejahteraan. Ekonomi hanya dikuasai oleh sebagian orang saja. Eksploitasi alam yang brutal bukan untuk rakyat namun untuk pemodal. Bagaimana tidak, Papua adalah daerah penghasil emas terbesar di Indonesia dengan gunung Tembagapura nya, namun kekayaan hasil bumi itu bukan untuk rakyat namun diserahkan secara kejam kepada asing, dengan perjanjian yang luar biasa liberal, jangankan rakyat Papua, pemerintah saja hanya mendapatkan bagian hanya sedikit, itupun dengan cara mengemis, bukankah selayaknya membeli air dari sumur sendiri? Kekecewaan inilah yang akhirnya dijaga untuk terus berkobar oleh PBB dan negara barat agar pemisahan itu terjadi.
Kemerdekaan adalah mantra yang dihembuskan oleh kafir barat untuk memecah belah persatuan umat. Belajar dari runtuhnya khilafah Islam di Turki yang diawali dari disintegrasi dan pemisahan diri. Mengakibatkan lemahnya negara dan hilangnya kedaulatan. Barat sangat menyadari bahwa umat Islam adalah potensi besar dalam hal sumber daya alam dan sumber daya manusia, untuk itu mereka akan melakukan segala cara agar umat lemah dan kalah. Salah satunya dengan menghembuskan sihir berbalut madu kebebasan dan kemerdekaan. Sehingga setelah terpecah wilayah yang baru lahir akan mudah dikuasai oleh kafir penjajah.
Keberhasilan kafir penjajah memecah-belah Indonesia yang paling nyata adalah lepasnya Timor leste. Begitu Timor Leste merdeka, wilayah itu langsung jatuh ke tangan Australia, satelit Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Hal yang sama bisa terjadi atas Papua. Karena itu jelas, disintegrasi adalah salah satu jalan yang memungkinkan kafir penjajah untuk menguasai Indonesia. Sungguh hal ini haram berdasarkan firman Allah Subhanahu Wata'aala:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
"Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin." (QS an-Nisa [4]: 141).
Ternyata umat Islam masih harus terus dirundung duka, belum selesai dengan Papua umat kembali dikejutkan dengan pembantaian enam orang anggota FPI yang mengawal Habib Rizieq Shihab. Mereka dibunuh layaknya musuh negara, dengan alasan keamanan mereka dibantai tak berperikemanusiaan. Banyak dalih yang diungkapkan oleh aparat, namun umat sudah sangat cerdas mana kebohongan dan kejujuran. Pembunuhan warga sipil oleh aparat ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah seperti tak ada nurani. Bahkan hukumpun tumpul dan bisu. Dengan dalih negara tak boleh kalah, pemerintah seakan menggulirkan narasi rakyat sedang mengancam negara, dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap negara semakin besar.
Sungguh keterpurukan demi keterpurukan ini adalah buah diterapkannya sistem demokrasi kapitalis. Sistem ini begitu rusak dan merusak. Slogan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat hanyalah isapan jempol semata, slogan ini hanya sebuah angan-angan semu. Karena sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia maka akan sangat berpotensi untuk menimbulkan kecurangan dan keculasan dalam kekuasaan. Perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa adalah hubungan alami dalam demokrasi, melahirkan pemimpin tak bernurani, kekuasaan adalah jalan memperkaya diri, oligarki politik pun tak terkecuali, kecurangan sudah biasa terjadi, semua hanya untuk materi, tak peduli apakah rakyat mati, asal dia dan kelompoknya tetap berdiri.
Dalam demokrasi, kebebasan adalah ruhnya. Maka akan sangat mudah didapati dalam kondisi sekarang ini manusia yang tak terkendali. Karena hak kebebasan yang diagung-agungkan inilah kerusakan merajalela, manusia begitu mudahnya berganti akidah, menghina simbol agama, pergaulan bebas hingga perilaku seksual yang menyimpang. Padahal dalam Islam penjagaan akidah umat adalah utama. Semua hal yang dapat merusak akidah umat akan dibuang dan dihancurkan. Media dan pemikiran perusak akidah akan dilarang, pendidikan berbasis akidah Islam, sekulerisme diharamkan. Hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku menyimpang dilarang dan pelakunya dihukum.
Begitu pula dengan Kebebasan individu yang melatarbelakangi privatisasi yang sekarang terjadi, manusia tak perduli dengan orang lain, membunuh empati demi kepemilikan individu, maka bisa dilihat kekayaan dunia sekarang ini hanya dikuasai oleh 20% penduduk bumi, mereka yang menguasai dan mengendalikan perekonomian dunia dengan cara-cara culas tak berperikemanusiaan. Padahal dalam Islam sumber daya alam adalah milik negara yang dikelola oleh negara dengan seluruh hasilnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk sekelompok orang saja atau bahkan pengusaha asing aseng.
Dalam satu hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Bahwa Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api." (HR.Abu Daud)
Namun, negara dalam sistem demokrasi hanya sebagai regulator maka sangat mudah sekali jika di Indonesia terjadi kebakaran hutan untuk dibukanya lahan pertanian, atau kepemilikan pulau pribadi oleh pengusaha, karena kran itu telah dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah, tanpa melihat apakah itu merusak lingkungan, menguras sumber daya alam, merugikan negara ataukah membahayakan rakyatnya. Asal ada keuntungan apapun bisa dikeluarkan peraturannya. Padahal dalam Islam negara adalah pelayan umat. Negara yang diwakili oleh pemerintah adalah distributor sumber daya alam untuk disalurkan ke seluruh rakyat dengan merata dan adil.
Dalam Islam pemimpin adalah seseorang yang telah diberi tanggung jawab untuk dapat melaksanakan tugas yang telah diembannya dengan baik dengan standar hukum Syara'. Inilah hadits Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang berkaitan dengan tanggungjawab pemimpin:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه (رواه مسلم)
Diriwayatkan Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin umar r.a berkata : Saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggunganjawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. ( HR. Muslim)
Dalam Islam, harga sebuah nyawa adalah sangat mahal. Di akhir 2020 ini Indonesia masih belum terlepas dari pandemi, bahkan data orang yang terdampak kian meningkat. Peningkatan dampak dari pandemi sebenarnya bisa dicegah dan dihindari jika dari awal kasus pemerintah mau lebih serius menangani, dengan memberlakukan kebijakan lockdown tiap daerah bukan malah membuka pariwisata demi dalih peningkatan ekonomi. Seakan nyawa rakyatnya tak sebanding dengan keuntungan tak seberapa.
Bukankah Rasulullah Saw lewat hadisnya sudah mengingatkan kepada kita: “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai dan Turmudzi).
Pembunuhan yang itu direncanakan dan disengaja akan dikenai qishas. Pelakunya akan dibunuh atau dimintai diyat jika keluarga korban memaafkan. Berbanding terbalik dengan negara demokrasi saat ini kriminalitas sangat tinggi tak terkendali, bahkan oleh aparat, negara bahkan diam tak bersuara. Sungguh sangat kejam dan tak berhati.
Padahal Allah telah berfirman:
..مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا..
"Bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia." (Surat Al-Ma'idah, Ayat 32)
Sungguh kerusakan itu telah ada di depan mata, dunia sedang menuju kehancuran, semua terjadi karena manusia menerapkan aturan yang berasal bukan dari sang Pencipta. Sistem rusak dan merusak inilah penyebabnya. Bahkan sistem ini dengan kerusakannya itu telah melukai dan perlahan membunuh dirinya sendiri. Kekejaman dan keotoritarianian semakin merajalela akan semakin mempercepat waktu kematiannya. Sudah saatnya demokrasi mati, dan sudah saatnya manusia kembali kepada aturan yang Maha Kuasa, menuju kesejahteraan dalam kegemilangan dengan kembali kepada Islam secara kaafah.
Wallahu a'lam