Sejak awal pilkada, yang tersorot adalah pengabaian terhadap rakyat. Pesta demokrasi untuk rakyat itu ditolak oleh berbagai kalangan. Namun tak digubris.
Oleh: Rezi Loviyana S.Akun (Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com — Pilkada serentak tinggal menghitung hari. Terdapat 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2020. Sejak awal banyak kalangan yang menolak tentang kontestasi pesta rakyat ini. Kekhawatirannya tentang kasus corona akan meningkat pada pilkada 2020. Namun pemerintah tetap akan melanjutkan pesta rakyat ini dengan syarat mengikuti protol kesehatan.
Baru-baru ini publik dibuat heboh dengan cuitan Hamdan Zoelva, mantan ketua Mahkamah Konstitusi di akun twitter miliknya. Terdapat 70 kepala daerah yang positif corona, 4 diantaranya meninggal dunia. Tidak hanya itu, penyelenggara pemilu lainnya banyak yang sudah terinfeksi corona. Seratus orang terinfeksi termasuk di dalamnya ketua KPU RI. Sejak awal sudah banyak kritik dan penolakan terhadap penyelenggaran pilkada ini. Namun pemerintah tetap melanjutkan pilkada. Supaya kasus corona tidak meningkat protokol kesehatan tetap diutamakan. Namun apakah tidak ada korban? Apakah tidak terjadi kerumunan?
Akan adanya kerumunan tidak dapat dihindarkan. Antusiasme masyarakat terhadap calon yang didukung sangat tinggi. Animo masyarakat yang masih percaya pada janji manis kampanye masih tinggi. Memang masih menggunakan masker, dan mencuci tangan. Namun jarak kadang tak dapat dipisahkan. Sebagaimana yang diketahui kampanye dilakukan di berbagai kabupaten dan kecamatan. Secara otomatis para calon melakukan perjalanan dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya. Tak dapat dihindari, banyak calon kepala daerah terinfeksi corona. Sungguh besar pengorbanan calon kepala daerah, demi pelaksanaan pilkada sukses, mereka berkorban jiwa dan raga. Sehingga banyak yang terinfeksi corona. Layakkah pengorbanan besar seperti ini diberikan kepada demokrasi?
Pengorbanan yang dilakukan tak lain tak bukan dalam rangka melangsungkan eksistensi demokrasi. Hakikatnya demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berkedaulatan di tangan rakyat. Rakyat yang menentukan peraturan dan kebijakan. Tentunya dalam hal ini tak semua rakyat. Tentu saja bukan rakyat kecil. Tetapi, para wakil rakyat yang suaranya mewakili rakyat. Walau terkadang tak pernah berpihak pada rakyat.
Pemerintahan di tangan rakyat menghilangkan eksistensi Pencipta dalam mengatur negara. Padahal sejatinya semua peraturan hidup hanya Sang Pencipta yang berhak mengaturnya. Sungguh tak layak mengorban jiwa dan raga demi menegakkan demokrasi. Di satu sisi menjatuhkan aturan dari Pencipta. Di sisi lain, mereka menyebut itulah pengorbanan tertinggi. Jelas saja, ini pengorbanan sia-sia tiada arti.
Sejak awal pilkada, yang tersorot adalah pengabaian terhadap rakyat. Pesta demokrasi untuk rakyat itu ditolak oleh berbagai kalangan. Namun tak digubris. Kini rakyat harus berpesta untuk pergantian kepala daerah. Berpesta di tengah eksisnya virus Covid-19. Pengabaian tergadap keselamatan rakyat ini seharusnya menyadarkan mata rakyat untuk siapa dan bagaimana nasib rakyat akhirnya.
Pendanaan pilkada disponsori oleh para pengusaha dan cukong. Menurut hasil kajian dari KPK, sekitar 82 persen kepala daerah didanai sponsor. Ada aliran dana dari sponsor kepada para calon kepala daerah yang akan berlaga dalam pilkada tak dapat pungkiri. Bercermin dari hal itu, seharusnya rakyat sudah bisa memahami kalimat no free lunch dan politik balas budi.
Setelah kepala daerah terpilih maka yang dilakukan bukan sibuk melayani rakyat, tapi kepentingan pemilik kapital. Melalui kebijakan yang dilahirkan lewat kursi kekuasaan. Korupsi kebijakan bukan hal yang mustahil dalam demokrasi. Intervasi dari cukong sangat mudah dilakukan apabila sudah termakan budi. Tak heran dalam sistem demokrasi, semua calon berkompetensi untuk memenangkan diri. Sistem yang rusak ini akan menghasilkan pemimpin yang rusak. Lantas bagaimanakah pemilihan pejabat politik dalam Islam?
Islam jelas memiliki sistem paripurna mengenai pemilihan pejabat politik atau penguasa. Pada dasarnya sistem pemilihannya terbagi dua. Pertama, untuk pemilihan kepala negara atau khalifah. Kedua, penentuan penguasa dan pejabat selain kepala negara. Berbicara tentang pemilihan penguasa selain kepala negara, dalam hal ini adalah kepala daerah. Dalam Islam kepala negara atau khalifah yang berwenang memilih kepala daerah ('amil), sesuai dengan kriteria dan syarat yang telah ditentukan dalam Islam.
Sistem pemilihan seperti ini tentu pemilihan yang terbilang berbiaya murah dan tak sarat akan intervensi atau campur tangan pihak lain terutama para cukong. Sementara demokrasi, campur tangan dari pihak lain seperi cukong tidak bisa dihindarkan. Sedangkan, pemilihan dalam demokrasi membutuhkan biaya yang tinggi. Pemilihan kepala daerah dalam sistem Islam akan melahirkan penguasa atau pejabat yang amanah dan adil.
Mengutamanakan kepentingan rakyat dan aspirasi rakyat. Tetap sesuai koridor Islam. Jika kepala daerah ('amil) tidak bisa mewujudkan itu semua, maka Khalifah berhak memberhentikan dan mencopot jabatan kepala daerah (‘amil). Menjadi kepala daerah dalam Islam tidak seperti demokrasi. Berkompetensi dan berebut kursi kekuasaan seperti saat ini. Karena jabatan merupakan amanah, tentunya semua itu memiliki tanggungjawab yang besar dan akan dimintai pertanggungjwaban di dunia dan di akihrat kelak. Wallahu 'alam bish shawab []