Sistem kapitalisme, telah menyuburkan dan menghangatkan hubungan yang sangat erat antara pengusaha dan penguasa yakni koorporasi. Tidak heran jika ekspor bayi lobster pun merupakan politik balas budi terhadap para koorporasi.
Oleh: Siti Ningrum, M.Pd.
NarasiPost.Com — Tenggelamkan! Kata itu masih lekat dalam ingatan bangsa Indonesia, pada sosok perempuan yang menjadi menteri. Penampilannya yang nyentrik dan berani, menjadi ciri khasnya. Sosok menteri paling ditakuti oleh para perompak. Menjadikan Indonesia pun disegani oleh bangsa luar. Namun sayang, jabatannya sebagai menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), tidak diperpanjang di era kedua kabinet kerja Jokowi-Makruf.
Kabinet jilid II, Edhy Prabowo dari partai Gerindra, menggantikan posisi Susi Pudji Astuti. Nasib naas pun mengantarkan Edhy pada rompi orange. Dia terjerat kasus korupsi ijin ekspor benur Lobster.
Dilansir dari laman resmi CNN Indonesia (25/11/20), KPK mengamankan 17 orang dalam kasus dugaan tipikor izin ekspor benih lobster. Beberapa yang ditangkap itu adalah Menteri KKP Edhy Prabowo beserta istrinya, Iis Rosita Dewi, yang juga anggota Komisi V DPR RI dari fraksi Gerindra. Namun, istrinya akhirnya dibebaskan pada Kamis dini hari.
Edhy Parabowo, akhirnya mengundurkan diri dari jabatan menteri KKP dan juga dari jabatannya sebagai wakil ketua umum partai Gerindra.
Indonesia menyimpan SDA nan melimpah. Mulai dari barang tambang, emas, hutan hingga lautnya. Masing-masing menempati posisi teratas ranking di dunia. Namun sayang, meski hal itu dimiliki tetap saja rakyat Indonesia masih banyak yang menderita. Kekayaan alamnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.
Indonesia bahkan dijuluki dengan tanah 'gemah ripah loh jinawi'. Tanah yang subur dan makmur, membuat Indonesia jadi sasaran empuk para investor. Tak jarang yang berebut dengan berbagai cara, demi mendapatkan sebuah jabatan. Jabatan seolah menjadi peluang emas dalam meraup keuntungan. Tidak heran, jika terkadang saling sikut.
Mengapa Marak Kasus Korupsi?
Seolah tak ada habisnya jika berbicara tentang korupsi. Sejak zaman dahulu hingga kini, korupsi di Indonesia sangat sulit diberantas. Seolah sudah mendarah daging dan menggurita. Terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang makin marak baik di daerah atau pun di pusat. Tidak sedikit juga yang sudah terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan). Namun hal ini tidak menjadi pelajaran bagi para pejabat lainnya.
Meskipun sudah ada KPK, namun korupsi tetap subur. Tidak membuat para koruptor ciut nyali. Itu bisa disebabkan oleh sanksi yang tidak membuat efek jera. Padahal, korupsi itu sangat merugikan negara dan rakyat.
Mungkin salah satu penyebabnya adalah pemberian sanksi yang tidak sepadan, antara tindak kejahatan dengan pemberian hukuman yang dijatuhkan. Tidak ada efek jera, dalam sistem kapitalisme, jeruji besi adalah cara yang diberikan oleh negara untuk menghukum para pelaku kejahatan.
Beda menteri tentu akan beda kebijakan. Ada masa Menteri KKP Susi Pudjiastuti, peraturan benur dan lobster sangat ketat. Namun setelah KKP berganti kepemimpinan, regulasi pun berubah.
Edhy Prabowo mengeluarkan aturan baru terkait pengelolaan lobster. Perdagangan benih lobster yang semula dilarang, kini menjadi diperbolehkan dengan aturan tertentu.
Menurut Susi Pudji Astuti -ketika menjabat jadi menteri - jika lobster masih bayi diekspor harganya akan murah. Bayi lobster lebih baik jika dibesarkan terlebih dahulu (dibudidayakan). Setela besar-besar baru diekspor. Harga bayi lobster dengan harga lobster dewasa begitu jauh bedanya. Jadi akan menguntungkan nelayan Indonesia.
Terkadang jabatan yang direngkuh, terindikasi dengan balas budi pada pihak-pihak yang telah turut andil dalam pesta demokrasi, yang berbiaya mahal. Sehingga, dalam kebijakan-kebijakannya selalu menguntungkan pihak ketiga yakni para penanam modal atau pengusaha.
Sistem kapitalisme, telah menyuburkan dan menghangatkan hubungan yang sangat erat antara pengusaha dan penguasa yakni koorporasi. Tidak heran jika ekspor bayi lobster pun merupakan politik balas budi terhadap para koorporasi.
Berbeda dengan politik dalam Islam, biaya yang dikeluarkan untuk menjabat posisi tertentu sangatlah murah bahkan gratis. Sebab, tidak ada biaya yang dikeluarkan, sebagai bentuk kampanye untuk menarik hati dan meraup suara.
Dalam Islam, ketika pemilihan seorang pemimpin/ khalifah, tidak ada kampanye pencitraam untuk menarik hati rakyat. Hanya pencalonan beberapa orang, kemudian rakyat berbai'at kepada orang yang terpercaya. Begitu pun dengan pemilihan pembantu khalifah setingkat menteri, maka khalifah yang akan langsung menunjuknya.
Terkait pemilihan gubernur atau kepala daerah, sang khalifah akan menjatuhkan pilihannya kepada orang-orang yang tepat. Ada pun Majelis Umat merupakan perwakilan dari setiap daerah yang telah ditunjuk oleh rakyat sebagai perwakilan mereka, dalam rangka menyampaikan seluruh aspirasi.
Jadi, tidak ada yang namanya politik balas budi kepada siapa pun. Totalitas dari para pejabat adalah demi melayani rakyat semata. Tidak hanya itu, dalam pemberian sanksi pun, hukum Islam adalah satu-satunya yang bisa memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan. Tanpa pandang bulu.
Sebab, sudah jelas hukuman-hukuman bagi para pelaku kejahatan. Ada yang termaktub dalam Al-qur'an dan hadis. Sanksi yang adil dan memberi efek jera bagi manusia, bahkan menjadi penebus atas dosa yang telah dilakukannya.
Jadi, saatnya menerapkan hukum Islam dalam hal apa pun. Agar tercipta sebuah kedamaian dan kesejahteraan. Sebab, yang berhak menentukan hukum hanyalah Allah semata. Sebaik-baik hukum hanyalah hukum Allah.
Allah swt berfirman dalam Al-qur'an, yang artinya ;
"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam." (Al-A’râf/7:54)
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al-Mâ`idah/5:50)
Semakin terpampang jelas di hadapan kita, betapa umat kini sangat membutuhkan solusi tuntas. Agar negara ini tak terus menerus dieksploitasi kekayaannya. Wallahu 'alam bishawab []