Menurut, Pakar Imunisasi, Elizabeth Jane Soepardi mengatakan vaksin merupakan produk biologis yang memiliki kerentanan pada perubahan suhu. Maka, perlu tersimpan pada suhu 2-8 derajat celcius
Oleh: Ummu Athifa
Narasipost.Com-Sembilan bulan sudah berdiam diri di rumah saja. Akses ke luar rumah ditahan demi kesehatan pribadi dan orang lain. Ya, virus covid-19 masih bergentayangan tak terkendali. Maka, akibatnya semua pekerjaan serta pembelajaran sekolah dilakukan secara daring.
Virus covid-19 telah menyerang wilayah di seluruh dunia. Kejadian yang luar biasa menjadi bahan perhatian WHO untuk segera mencari cara mengakhiri pandemi ini. Maka, tercetuslah untuk membuat vaksin covid-19 sebagai solusi menyelamatkan jutaan manusia di dunia.
Indonesia merupakan negara tertinggi dengan angka covid-19 se-Asia Tenggara. Hingga hari Selasa, 02 Desember 2020 tercatat 529.000 jiwa yang terkonfirmasi positif. Maka, pemerintah mengambil langkah untuk menyiapkan vaksin yang bekerja sama dengan PT Bio Farma. Hingga saat ini para peneliti terus berjuang mengembangkan vaksin untuk melawan pandemi. Sehingga, hasilnya vaksin tersebut bakal diberikan secara massal kepada seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, PT Bio Farma merencanakan vaksinasi covid-19 dapat segera diberikan kepada masyarakat setelah mendapatkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Harapannya dapat diberikan pada awal Februari 2021, sedangkan EUA dari BPOM dapat dikantongi pada minggu ketiga Januari 2021 (ayosurabaya.com, 01/12/20).
Atas dasar itu, masyarakat haruslah bersabar hingga perizinannya tuntas. Selain perizinan perihal keamanan dan efektivitas vaksin, cara distribusi vaksin juga harus diperhatikan. Menurut, Pakar Imunisasi, Elizabeth Jane Soepardi mengatakan vaksin merupakan produk biologis yang memiliki kerentanan pada perubahan suhu. Maka, perlu tersimpan pada suhu 2-8 derajat celcius, dan harus terjaga dari pabrik sampai ke puskesmas (cnbcindonesia.com, 30/11/20).
Berdasarkan fakta yang terjadi, peran pemerintah sangatlah diperlukan. Pemastian keberadaan vaksin harus disegerakan, jika memang ingin memutuskan mata rantai virus covid-19. Namun sangat disayangkan, pemerintah justru mengklasifikasikan jenis vaksinasi covid-19 menjadi dua, yaitu vaksin mandiri atau dibayar menggunakan uang pribadi dan vaksin bantuan pemerintah yang dibayar menggunakan dana dari pemerintah. Pemberian vaksin bantuan pemerintah akan diprioritas, seperti anggota TNI/Polri, tenaga kesehatan, dan penegak protokol kesehatan lainnya. Selain dari itu, diharapkan untuk bisa masuk dalam jenis vaksin mandiri.
Lantas, bagaimana dengan rakyat yang tak mampu membeli vaksin? Dan bagaimanakah uji klinisnya? Inilah pula yang dilupakan pemerintah. Jangan sampai mempercepat vaksinansi, namun belum lulus uji klinis. Akan sangat berbahaya efek sampingnya bagi masyarakat.
Menurut Pakar Biologi Molekuler Ahmad Rusydan Utomo Handoyo, Ph.D. mengingatkan pemerintah untuk mengomunikasikan secara transparan bagaimana perkembangan vaksin. Tujuannya agar menjawab keraguan masyarakat terhadap efektivitas dan keampuhan vaksin ini, karena uji klinis belum selesai. Sehingga, jika terjadi apa-apa di tengah masyarakat, negara hadir sebagai pengayoman (mediaumat.news, 21/10/20).
Nyatanya, kepala negara tak tahu apapun tentang vaksinasi. Semua ditangani oleh para menterinya. Tak heran, permasalahan pengadaan vaksinasi dipercepat dari yang ditargetkan PT Bio Farma.
Diketahui, melalui Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyatakan vaksinasi covid-19 akan dimulai pada pekan ketiga Desember. Walhasil, ngototnya pemerintah ini dikarenakan adanya dugaan kuat pertimbangan lain, seperti salah satunya menyelematkan perekonomian. Hal demikian menjadi wajar, karena rakyat bukanlah hal utama yang harus diurusi, tetapi lebih kepada kepentingan lain.
Seyogianya, pemerintah benar-benar fokus menangani pandemi ini. Jika memang menjadikan vaksinasi sebagai cara dalam penanganan covid-19, maka pastikan semuanya sesuai dengan baik. Dan ketika sudah ada vaksinnya, berikan kepada masyarakat dengan gratis atau mudah untuk didapatkan.
Ini dicontohkan dalam Islam, vaksinasi murni untuk keselamatan manusia. Berbeda di sistem demokrasi ala kapitalisme yang menjadikan vaksinasi sebagai alat korporasi. Terdapat dalam tulisan Profesor Ahmad Rusydan Utomo, PhD, yang berjudul “Kebijakan Islam dalam Menangani Wabah Penyakit, 2020”. Khalifah pernah menerapkan penggunaan vaksin kepada masyarakat, saat wabah smallpox (cacar air) melanda Khilafah Utsmani di abad ke 19.
Ini terjadi pada tahun 1846, Sultan memerintahkan disediakannya fasilitas kesehatan untuk melakukan vaksinasi terhadap seluruh anak-anak warga muslim dan nonmuslim. Namun, wabah smallpox kembali terjadi di tahun 1850 akibat banyaknya orang tua yang tidak membawa anak-anak mereka untuk diberikan vaksin. Padahal Sultan telah menyiapkan banyak faskes, dokter dan professional kesehatan.
Sultan pun merespons dengan cepat, dengan mengatakan bahwa tindakan para orang tua yang lalai mengantar anak-anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi, telah melanggar syariat dan hak anak. Sikap tegas Khalifah menjadikan warganya mengikuti anjurannya. Akhirnya, wabah tersebut dapat teratasi dengan tindakan tegas dan cepat Khalifah terhadap kondisi masyarakatnya. Maka, jika memang vaksinasi akan digencarkan, amat sangat diperlukan peran kepala negara sebagai pengurus kebutuhan umat.
Wallahu'alam bi shawab.[]