Zakat dan wakaf merupakan bagian dari ibadah, bukan solusi bagi masalah perekonomian suatu negara, apalagi dijadikan sebagai tumpuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemanfaatan dan pengembangan harta zakat dan wakaf agar lebih produktif menjadi pembahasan serius dalam konferensi internasional 13th Annual Meeting and Conference of World Zakat and Waqf (WZWF) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Bank Indonesia (BI). Acara tersebut dirangkaikan dalam acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2024. Pasalnya, acara yang mempertemukan 43 negara tersebut membahas tentang inovasi dan pengelolaan zakat dan wakaf di masa depan.
Dalam acara dengan tema “Tatanan Global Zakat-Wakaf Baru: Komunitas Global yang Bersatu Berdasarkan Keadilan, Kasih Sayang, dan Kesejahteraan Bersama” ini, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mendorong agar harta zakat dan wakaf tidak hanya dimaknai sebagai ibadah, melainkan sebagai alat ekonomi. Lebih jelasnya ia menyampaikan bahwa harta zakat dan wakaf memiliki potensi besar untuk menjadi solusi perekonomian global. Oleh karenanya, Kemenag Indonesia sedang menjalankan empat program yang diharapkan bisa memberdayakan masyarakat melalui zakat dan wakaf. Empat program tersebut adalah kampung zakat, KUA pemberdayaan ekonomi umat, inkubasi wakaf produktif, dan kota wakaf (liputan6.com,02-11-2024).
Tidak dimungkiri bahwa potensi zakat dan wakaf di negeri ini begitu besar, apalagi diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Di sisi lain, girah keislaman umat muslim di negeri ini pun kian meningkat yang membuat mereka banyak yang ingin berinvestasi untuk akhiratnya.
Potensi Zakat dan Wakaf
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Kamaruddin Amin mengungkapkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangat besar. Potensi zakat setiap tahunnya di negeri ini bisa mencapai angka Rp300 triliun. Begitu juga dengan wakaf uang mencapai Rp180 triliun, sedangkan jika dikalkulasikan wakaf secara keseluruhan, baik wakaf uang, tanah, maupun lainnya bisa mencapai Rp2000 triliun.
Hanya saja, pemanfaatan dana wakaf dan zakat tersebut dinilai belum maksimal, padahal dana yang begitu fantastis bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat dan bangsa ini. Oleh karenanya, Kamaruddin menjelaskan bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI) berencana untuk mengalihkan aset-aset wakaf yang belum produktif ini ke sektor-sektor yang lebih berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.
Kamaruddin mengatakan bahwa BWI akan membuat sebuah program Gerakan Indonesia Berwakaf. Gerakan ini diharapkan bisa menjadi langkah strategis untuk terus memaksimalkan pengembangan aset wakaf nasional dalam sektor pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pemberian beasiswa, dan lainnya. Ia mendorong agar zakat dan wakaf bisa dimaksimalkan pemanfaatannya secara nyata untuk kepentingan umat. Misalnya, zakat dan wakaf dimanfaatkan sebagai solusi untuk pemberdayaan ekonomi sebab masalah ekonomi dinilai masih menjadi salah satu masalah yang menggurita di negeri ini.
Keinginan penguasa untuk mengelola harta zakat dan wakaf agar bisa lebih optimal dan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat seolah terlihat baik. Namun, sejatinya pengalihan aset-aset wakaf dan zakat ke sektor lainnya merupakan pengelolaan yang salah kaprah sebab pengelolaan harta zakat dan wakaf telah diatur secara sempurna oleh hukum syarak, seperti diperuntukkan bagi siapa yang berhak menerima harta zakat tersebut.
Kebijakan yang Tidak Tepat
Sayangnya negara dalam sistem kapitalisme tidak melihat hal tersebut. Kebijakan yang menjadikan harta wakaf sebagai salah satu instrumen untuk pendanaan pembangunan sektor lainnya demi kemaslahatan rakyat, seperti pembangunan sekolah ataupun untuk mengatasi disparitas ekonomi dan kesenjangan sosial yang dihadapi perekonomian global sangat kurang tepat sebab wakaf merupakan instrumen untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sementara itu, pembangunan dan pemberdayaan ekonomi sejatinya merupakan tanggung jawab negara kepada rakyatnya yang tidak bisa digantikan oleh individu.
Begitu juga dengan kebijakan pengelolaan zakat yang akan dimaksimalkan untuk solusi ekonomi merupakan kebijakan yang salah kaprah sebab penyaluran zakat telah tertulis jelas dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 60. Harta zakat tidak boleh digunakan untuk masalah yang lainnya, misalnya untuk pemberdayaan ekonomi, apalagi jika masih ada golongan delapan asnaf yang belum terpenuhi kebutuhannya di negeri tersebut.
Namun, inilah wajah sistem kapitalisme, pengelolaan zakat dan wakaf yang harusnya bertujuan untuk ibadah bagi individu muslim justru dimanfaatkan sebagai solusi perekonomian negeri. Hal ini wajar terjadi sebab negara yang menerapkan sistem kapitalisme tidak memiliki pemasukan tetap untuk menyejahterakan rakyatnya. Alhasil, dana zakat dan wakaf pun tidak luput untuk pendanaan pembangunan dan solusi ekonomi dengan dalih kesejahteraan rakyat.
https://narasipost.com/opini/02/2021/ramah-pada-wakaf-tapi-bagaimana-pada-hukum-syariah-lainnya/
Di sisi lain, kondisi ini juga kian memperkuat bahwa penguasa lepas tanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat seperti penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan lainnya. Pemenuhan kebutuhan yang harusnya menjadi tanggung jawabnya justru diserahkan kepada individu-individu masyarakat.
Pengelolaan zakat dan wakaf seperti ini sudah sangat melenceng dari aturan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta manusia, yaitu Allah. Oleh karenanya, pengelolaan zakat dan wakaf harus berdasarkan pada sistem Islam sehingga tidak melenceng dan salah kaprah.
Pengelolaan Zakat dan Wakaf dalam Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan harta zakat dan wakaf sebagai pendanaan untuk berbagai sektor hingga menghilangkan tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Pengelolaan zakat dan wakaf oleh Khilafah disandarkan pada syariat Allah, yaitu sebagai salah satu bentuk ibadah kaum muslim kepada Allah.
Zakat merupakan salah satu sumber pemasukan bagi baitulmal. Namun, pengelolaan harta zakat, baik dari segi pengumpulannya maupun distribusinya berbeda dengan jenis harta lainnya yang menjadi sumber pemasukan baitulmal. Zakat hanya diambil atau dikumpulkan dari kaum muslim yang mampu. Pengelolaan zakat terpusat pada Khilafah. Oleh karenanya, Khilafah Islamiah mewajibkan seorang khalifah untuk membentuk petugas pengelola zakat, baik petugas untuk memungut zakat maupun mendistribusikannya sesuai syariat Islam.
Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Islam dalam bab “Baitumal” tentang zakat dijelaskan bahwa pengumpulan harta zakat tidak dilakukan karena ada atau tidak adanya kebutuhan negara dan kemaslahatan rakyat, tetapi pengumpulan zakat disesuaikan berdasarkan nisab harta dari kaum muslim sebagai kelebihan dari pemenuhan seluruh kebutuhan hidupnya, termasuk dalam pembayaran utangnya.
Pengumpulan harta zakat juga dilakukan ketika telah mencapai haul, yaitu hitungan harta dalam setahun. Dengan demikian, baik negara membutuhkan harta ataupun tidak untuk kemaslahatan rakyat, zakat tetap dikumpulkan jika harta kaum muslim telah mencapai nisab dan haul yang ditentukan oleh syarak. Zakat bisa diartikan sebagai harta khusus yang wajib diserahkan kepada baitulmal sebagai bentuk kewajiban dari kaum muslim.
Pendistribusian zakat pun telah dijelaskan secara jelas dalam Al-Qur’an, yaitu untuk delapan asnaf yang disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60. Allah berfirman,
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
Selain kepada delapan asnaf di atas, harta zakat tidak boleh didistribusikan ataupun dialokasikan untuk keperluan yang lainnya, seperti urusan perekonomian. Apabila tidak ditemukan dari delapan asnaf dalam negeri tersebut yang disebutkan dalam Al-Qur’an, harta zakat akan disimpan dalam kas baitulmal dan disalurkan atau dikeluarkan ketika ada kebutuhan untuk dibagikan kepada obyek yang telah disebutkan oleh Allah. Penyaluran dan pengelolaan harta zakat sangat diperhatikan oleh Khilafah sebab hal tersebut merupakan bagian dari perintah Allah dan salah satu tanggung jawabnya untuk mengurusi urusan rakyatnya.
Begitu juga dengan harta wakaf. Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukumnya sunah. Ia merupakan bagian dari sedekah jariah yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang mewakafkan tersebut meninggal dunia. Wakaf juga merupakan penyerahan harta kepemilikan individu untuk menjadi kepemilikan kaum muslim atau milik Allah. Menurut Khalifah Umar dalam sebuah hadis, wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan kepada orang lain, ataupun diwariskan. Harta yang sudah diwakafkan selamanya akan menjadi harta wakaf, haram hukumnya dimiliki individu ataupun golongan tertentu.
Menurut Ustaz Yahya Abdurahman, pengelolaan harta wakaf dilaksanakan oleh Khilafah. Harta wakaf dipergunakan sesuai dengan ketentuan orang yang mewakafkan tersebut. Misalnya, seseorang mewakafkan tanah untuk masjid, maka wakaf tersebut harus ditunaikan.
Harta wakaf bisa diubah dalam dua kondisi, antara lain:
Pertama, seseorang mewakafkan tanah untuk jihad, maka tanah tersebut bisa dijual dan hasil penjualannya untuk keperluan jihad. Selain itu, harta wakaf juga bisa dipindahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, memindahkan masjid ke pemukiman yang lainnya.
Kedua, mengubah wakaf untuk keperluan dan kemaslahatan rakyat yang lebih baik. Misalnya, mengubah atau merenovasi masjid untuk menampung jemaah lebih banyak lagi. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar dan Utsman saat memperbesar dan mengubah masjid Nabawi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa harta wakaf harus dikelola sesuai dengan amanah yang mewakafkan, tidak boleh dipergunakan untuk hal lainnya. Apalagi, sampai dijadikan sebagai solusi bagi perekonomian negara.
Khatimah
Pengelolaan zakat dan wakaf untuk keperluan ekonomi ataupun dimanfaatkan untuk sektor lainnya sejatinya mengindikasikan bahwa negara kian berlepas tanggung jawab untuk mengurusi urusan rakyatnya. Hal tersebut jelas tidak dibolehkan dalam Islam, zakat dan wakaf merupakan bagian dari ibadah, bukan solusi bagi masalah perekonomian suatu negara, apalagi dijadikan sebagai tumpuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Wallahua’lam Bisshawab.[]
Zakat dan wakaf dibidik karena jumlahnya besar.
Memanfaatkan zakat dan wakaf, tetapi menyerahkan SDA ke asing dan swasta menunjukkan kesalahan dan kegagalan negara dalam pengelolaan urusan rakyat.
Barakallah untuk mbk Riah
Beginilah wajah kepemimpinan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Selama rakyat masih bisa dimanfaatkan, berbagai cara pun bisa dilakukan.
Barakallah Mbak Riah
Wa fiik barakallah Mbak Yuli. Syukron dah mampir ngeh