Perubahan diksi RUU akan meringankan hukuman bagi pelaku korupsi, yaitu sebatas mengembalikan aset pada negara dan tidak dihukum dengan sanksi pidana yang membuat jera.
Oleh. Puput Ariantika, S.T.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali jadi perhatian sejak dibuat pada 2008. RUU ini terus menuai konflik dan viral di sepanjang pemerintahan Indonesia. Pasalnya, sejak awal dibuat hingga sekarang tidak kunjung disahkan oleh DPR RI.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi ada banyak RUU yang telah disahkan menjadi UU dalam waktu singkat, tetapi tidak dengan RUU Perampasan Aset. Hingga Presiden berganti, RUU ini belum tuntas dibahas. Pada masa pemerintahan Presiden Prabowo, muncul wacana untuk mengubah RUU Perampasan Aset menjadi RUU Pemulihan Aset. Perubahan diksi pada RUU ini menuai kritikan dari para pengamat politik.
Perubahan Diksi Bisa Menghilangkan Esensi
Pengamat hukum Pieter Zulkifli mengungkapkan, perubahan diksi bisa menghilangkan esensi dari RUU Perampasan Aset. Bahkan, perubahan ini bisa menghilangkan semangat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemerintah seharusnya menunjukkan sikap tegas, berani, dan berkomitmen nyata dalam menyelesaikan masalah korupsi hingga ke akar-akarnya. (CNN Indonesia.com, 10-11-2024) Pengamat hukum dan penggiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho mengatakan, pergantian diksi akan menghilangkan roh utama dari RUU Perampasan Aset.
Ide perubahan diksi pada RUU Perampasan Aset berasal dari Badan Legislatif (Baleg). Setelah mereka mempelajari upaya-upaya dalam memberantas korupsi berdasarkan aturan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Dalam aturan itu, tertera kata stolen asset recovery yang berarti pemulihan aset yang telah dicuri. Jadi, pemerintah akan mengikuti standar UNCAC untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia. Namun, perlu diketahui, perubahan diksi pada RUU Perampasan Aset sejatinya tidak akan berefek selama pejabat negara tidak punya kesadaran dan komitmen dalam memberantas korupsi.
Pemerintah Tidak Serius dalam Memberantas Korupsi
Pemerintah tidak pernah serius dalam memberantas korupsi di negeri ini. Lihatlah, RUU telah dibuat sejak 2008, tetapi tidak kunjung disahkan. Pada 2012 RUU ini direvisi, tetapi nasibnya tetap sama. RUU Perampasan Aset telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 untuk dibahas, tetapi tetap mangkrak di meja DPR RI hingga presiden berganti. Parahnya, pada 2024 RUU Perampasan Aset tidak masuk dalam daftar Prolegnas DPR RI.
Sikap pemerintah yang terus menunda-nunda dan abai terhadap RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar ingin memberantas korupsi di Indonesia. Bukannya menyegerakan pengesahan RUU Perampasan Aset, pemerintah malah sibuk mengganti diksi menjadi RUU Pemulihan Aset. Perlu diketahui, jika pemerintah terus menunda pembahasan dan pengesahan RUU, ini jelas akan membuat Indonesia kehilangan peluang untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, pemerintah juga takut jika RUU Perampasan Aset disahkan akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri, meskipun negara telah mengalami kerugian yang besar akibat korupsi. Jelas sudah, harapan untuk menjadikan Indonesia bebas korupsi hanyalah mimpi bagi rakyat Indonesia.
Korupsi di Negara Kapitalisme
Korupsi telah menjadi masalah yang tidak bisa diselesaikan hingga saat ini. Walaupun kepemimpinan terus berganti, korupsi tidak pernah selesai, malah makin menjadi-jadi. Jumlah uang yang dikorupsi juga tidak sedikit. Mulai dari puluhan juta hingga triliunan rupiah. Miris, hampir seluruh tindakan korupsi dilakukan pejabat negara yang memiliki kekuasaan.
Seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris Lord Acton mengatakan korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Korupsi akan senantiasa berjalan bersama dengan kekuasaan dan kekuasaan adalah pintu masuk bagi aktivitas korupsi. Ini adalah kondisi yang wajar dalam sistem kapitalisme karena kapitalisme telah menghilangkan peran agama dalam kehidupan melalui asas sekularismenya.
Individu penguasa yang tidak paham agama bertingkah sesuka hati untuk memenuhi nafsunya akan materi. Negara dengan hukum buatan manusia akan mudah disesuaikan dengan keinginan para penguasa, termasuk mengganti diksi RUU dalam rangka menunda pengesahannya. Perubahan diksi ini akan meringankan hukuman bagi pelaku korupsi, yaitu sebatas mengembalikan aset pada negara dan tidak dihukum dengan sanksi pidana yang membuat jera. Sungguh ini adalah kerusakan yang nyata akibat penerapan kapitalisme.
Pemberantasan Korupsi dalam Islam
Islam punya mekanisme khusus dalam memberantas korupsi karena korupsi adalah tindakan haram dan setiap yang melakukannya akan berdosa. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw., ”Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan gaji maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR. Abu Dawud)
Sebelum menerapkan sanksi hukum, Islam punya langkah-langkah untuk mencegah seseorang melakukan tindak korupsi, yaitu:
Pertama, sistem Islam akan membentuk akidah Islam dalam setiap individu masyarakat melalui pendidikan Islam. Individu yang bertakwa akan memiliki kendali terhadap dirinya sendiri ketika berbuat. Individu bertakwa akan berpikir sebelum bertindak, apakah perbuatannya melanggar syariat Islam atau tidak. Bahkan, melekat tujuan hidup mulia dalam setiap individu, yaitu hidup hanya untuk meraih rida Allah Swt. sehingga aktivitas yang mengarah pada kemaksiatan senantiasa dihindari, termasuk korupsi.
Kedua, adanya kontrol masyarakat. Selain individu yang bertakwa, adanya kontrol masyarakat menjadikan aktivitas korupsi sulit untuk dilakukan. Individu bisa lalai, tetapi ada masyarakat yang senantiasa mengingatkan.
Ketiga, sistem hukum negara. Dalam mengangkat pejabat negara harus sesuai dengan hukum syarak, yaitu hanya akan mengangkat orang yang adil. Ahli maksiat dan orang fasik dilarang untuk menjadi pejabat negara.
Baca juga: Perubahan Diksi RUU Perampasan Aset, Apakah Solutif?
Negara akan rutin menghitung harta yang dimiliki para pejabatnya dan membandingkan dengan harta sebelumnya. Jika terdapat kenaikan jumlah harta yang mencurigakan, kepala negara atau khalifah akan menanyakan sumber harta tersebut dan pejabat itu harus mempertanggungjawabkannya. Jika tidak mampu bertanggung jawab, harta akan disita oleh negara dan dimasukkan ke baitulmal.
Selain itu, negara Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan adil. Bagi pelaku korupsi, hukumannya berupa takzir, yaitu hukuman yang diberikan berdasarkan ijtihad Khalifah, bisa dipenjara, diasingkan, didenda, atau hukuman mati, semua tergantung keputusan khalifah.
Sistem Islam telah memberikan kepastian hukum terhadap para pelaku kejahatan yang merugikan negara dan rakyat. Pelaksanaan hukum syariat terhadap pelaku korupsi telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. hingga masa Kekhilafahan Utsmaniyah. Tidak ada perbedaan sedikit pun dalam penerapan itu. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih terhadap hakim yang menerima suap. Hakim itu dihukum sesuai dengan keputusan sultan.
Khatimah
Kasus korupsi tidak akan pernah tuntas jika negara tidak dibangun dengan tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan hukum sanksi yang diterapkan oleh negara. Namun, semua ini tidak ditemukan dalam negara kapitalisme, melainkan hanya ada dalam negara yang menerapkan syariat Islam. Wallahua’lam bishawab.[]
Gilliran berkaitan proyek, gercep banget jadi UU seperti UU IKN. Untuk yang ngeri ngeri sedap, dibikin mangjkrak. Oh Indonesiaku, kapan pejabat koruptor dibikin kapok?