Hanya dengan menerapkan sistem Islam yang mampu menyejahterakan rakyat dan memberikan pendidikan gratislah yang akan mewujudkan pemerataan pendidikan.
Oleh. Tami Faid
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Namun, pada saat ini pendidikan tidaklah murah ataupun gratis, melainkan berbiaya mahal. Pemerintah telah menerapkan wajib belajar 9 tahun, tetapi masyarakat golongan ekonomi lemah masih ada yang tidak mampu mengenyam wajib belajar 9 tahun. Apalagi melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi seperti yang direncanakan program ICMI wajib belajar 15 tahun. Dengan fakta yang ada, mungkinkah pemerataan pendidikan akan terlaksana?
Mengutip laporan dari Republika.co.id. Bandung, Ikatan Cendiakawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) menawarkan program wajib belajar 15 tahun pada masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di seminar nasional yang bertema tentang Arah Pembangunan Politik Pendidikan Indonesia di Auditorium FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, (25-10-2024). Prof. Aris berharap bahwa untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas pembelajaran, dan pembentukan karakter yaitu dengan wajib belajar 15 tahun. Perlukah masyarakat melakukan wajib belajar 15 tahun?
Program ICMI
Program wajib belajar 15 tahun yang ditawarkan ICMI kepada pemerintah bukanlah sebuah solusi untuk pemerataan pendidikan. Dari tampilan luar program tersebut ke depannya bagus untuk masyarakat. Namun, program tersebut tidak akan terwujud dengan kondisi perekonomian negara yang tidak stabil sebagaimana saat ini. Faktanya, semua itu hanya sebuah angan-angan saja bagi masyarakat golongan ekonomi bawah untuk merasakan pemerataan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun pun belum semua masyarakat mampu mencapainya, apalagi sampai mencapai ke perguruan tinggi.
Rata-rata masyarakat golongan ekonomi lemah hanya mengenyam pendidikan sampai ke jenjang tingkat sekolah menengah atas saja, sebab untuk masuk ke perguruan tinggi butuh banyak biaya. Oleh karena itu, setelah lulus orientasinya hanya agar mendapatkan lapangan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit. Impitan ekonomi memaksa rakyat untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ketika pemerintah ingin meratakan pendidikan, seharusnya pemerintah memberikan masyarakat pendidikan gratis dari semua jenjang pendidikan, tidak hanya wajib belajar 9 tahun, tetapi wajib belajar 15 tahun. Adanya pendidikan gratis, memungkinkan masyarakat untuk lwbih sejahtera, sebab salah satu pokok kebutuhan sudah terpenuhi.
Baca: Program Makan Siang Gratis harus Realistis
Anggaran Pendidikan
Pada masa kepemimpinan Jokowi, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebanyak 20% dari APBN. Mandat Pasal 49 UU Sistem Pendidikan Nasional mengharuskan negara menyediakan anggaran dana minimal 20% APBN untuk pendidikan. Namun, pada faktanya pemerintah tidak sepenuhnya menganggarkan dana sebesar Rp665,02 triliun atau 20%. Nyatanya, anggaran pendidikan sebanyak 20% dibagi ke kementerian lainnya atau lembaga lainnya dan sisanya ditransfer ke daerah serta ke dana desa.
Berikut ini perinciannya:
- Kemendikbud Ristek sebesar Rp98,99 triliun atau 15%.
- Kementerian Agama sebesar Rp62,305 triliun atau 9%.
- Kementerian/lembaga lain sebesar Rp32,859 triliun atau 5%.
- Anggaran pendidikan pada belanja sebesar non-K/L sebesar Rp47,313 triliun atau 7%.
- Pengeluaran pembiayaan sebesar Rp77 triliun atau 12%.
- Transfer ke daerah desa dan dana desa sebesar Rp346 triliun atau 52. (kompas.com, 2-7-2024)
Anggaran dana yang terbagi-bagi, membuat lembaga pendidikan akhirnya kekurangan biaya untuk perbaikan sekolah, penyediaan fasilitas, dan sumber. Hal ini akhirnya menjadi polemik pada sektor ini dan hingga kini belum teratasi, sehingga mengakibatkan lembaga pendidikan memutuskan untuk berbayar mahal, tidak murah maupun gratis.
Dampak Pendidikan Mahal
Imbas dari pendidikan mahal adalah masyarakat akhirnya memilih sekolah yang berorientasi agar ketika anak lulus bisa memperoleh lapangan pekerjaan dengan mudah. Masyarakat lebih memilih sekolah yang mengajari anaknya live skill di bidang perindustrian agar bisa langsung bekerja di pabrik-pabrik ketika lulus. Mereka lebih memilih setelah lulus anaknya bisa menghasilkan uang daripada mengejar kualitas itu sendiri. Para orang tua tidak memikirkan apakah dari pendidikan tersebut anak mereka sudah memperoleh akidah yang benar, berakhlak karim, ataukah sebaliknya. Terpenting bagi masyarakat adalah anak mereka mendapatkan keterampilan untuk bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Inilah pengaruh cara pandang dari penerapan sistem kapitalisme, yakni hanya berpikir materi saja.
Buah dari Sistem Kapitalisme
Kapitalisme adalah paham yang hanya mementingkan materi dan keuntungan. Paham ini berasakan pada pemahaman memisahkan agama dari kehidupan. Dan hal ini sejalan dengan out put masyarakat pada saat ini yang berpikiran sempit tentang pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai materi, sebab dengan sekolah atau kuliah setelah lulus anak mereka akan mendapat ijazah dan menggunakannya untuk bekerja. Mereka memahami bahwa dengan bekerja akan menghasilkan banyak uang sehingga kebutuhan hidup terpenuhi. Parahnya, untuk mendapatkan uang terkadang mereka tidak mengenal standar halal haram. Apalagi adanya fakta sulitnya mendapatkan pekerjaan, akhirnya halal haram makin dipinggirkan. Pemerintah pun sepertinya enggan untuk serius menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, terbukti dengan banyaknya GKA asing yang masuk ke Indonesia, banyaknya pajak bagi pelaku UMKM, dll. Hal ini akan berbeda dengan penerapan sistem Islam.
Pendidikan Gratis dalam Islam
Dalam sistem Islam, pendidikan sangat penting bagi tiap individu. Oleh karena itu, kepala negara sangat memperhatikan atau meriayah umatnya di sektor tersebut. Rasulullah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang artinya, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. Oleh karena itu, dalam sistem Islam pendidikan gratis bagi tiap individu dan bagi semua kalangan, baik kaya maupun miskin. Anggarannya diperoleh dari baitulmal. Pemasukan baitulmal dari harta kepemilikan umum seperti tambang minyak, batu bara, timah, hasil hutan, hasil kelautan, dan tambang lainnya.
Semua biaya pendidikan, fasilitasnya, pendidik, dan tenaga pengajar profesional ditanggung oleh negara. Seperti pada masa khalifah Umar bin Khattab r.a., khalifah menggaji pendidik yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebesar 15 dinar atau setara dengan 63,75 gram emas per bulan. Ini menunjukkan bahwa negara mampu memberikan pendidikan yang berkualitas dan berakhlak mulia pada masyarakat. Kurikulumnya pun berbasis akidah dan keimanan serta berintelektual.
Negara juga memfasilitasi pendidikan dengan teknologi yang canggih dengan mendirikan perpustakaan umum dan laboratorium, sehingga mampu mencetak sosok ilmuwan. Negara juga memberikan beasiswa bagi yang berkemampuan, contoh pada masa Khalifah Al-Mustansir Billah di Kota Baghdad. Setiap siswa menerima beasiswa berupa satu dinar setara dengan 4,25 gram emas per bulan. Negara menjamin kesejahteraan tiap individu dan mencetak generasi yang cemerlang, berintelektual, dan berakhlak mulia.
Khatimah
Sistem kapitalisme tidak bisa mewujudkan pendidikan gratis dan tidak mampu meratakannya. Hanya dengan menerapkan sistem Islam yang mampu menyejahterakan rakyat dan memberikan pendidikan gratislah yang akan mewujudkan pemerataan pendidikan. Ditambah dengan segala fasilitas yang canggih, generasi pun akan menjadi umat yang maju.
Wallahualam Bissawab. []
Sebagai sebuah cita-cita di masa depan, sah-sah saja. Tapi kalo untuk direalisasikan sepertinya masih sangat-sangat jauh karena besarnya biaya di Pendidikan Tinggi
Saya kalau dengar janji pendidikan gratis cuman mesem. Susah diwujudkan bahkan mustahil karena besarnya biaya penyelenggaraannya, sedangkan APBN sudah kembang kempis.