Politik luar negeri Indonesia di bawah Prabowo ingin berteman dengan semua pihak sehingga kondisi masih sama saja meski telah berganti presidennya.
Oleh. Netty al Kayyisa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah dilantik pada hari Ahad, 20 Oktober 2024. Setelah dilantik, presiden juga telah mengumumkan kabinet “gemoy” yang menuai banyak pro dan kontra. Kementerian Luar Negeri yang digawangi oleh Sugiono, yang merupakan “anak didik” Prabowo, menjadi satu sorotan yang seksi, mengingat latar belakang presiden terpilih dari kalangan militer, juga harapan-harapan yang disematkan kepadanya untuk lebih berpengaruh dalam perpolitikan dunia. Muncullah spekulasi ke arah mana politik luar negeri RI akan berlayar? Ke arah Timur atau Barat?
Sebagaimana yang disampaikan pengamat kebijakan Hubungan Internasional dari Fisipol UGM Dafri Agussalim pada tempo.com (18-10-2024) menilai politik luar negeri Prabowo akan lebih condong ke Timur karena Cina adalah pusat perdagangan dan menjadi episentrum ekonomi global. Hal ini ditunjukkan dengan kunjungan Prabowo ke Cina sebelum dilantik. Di satu sisi, Prabowo juga akan tetap mempertahankan hubungan dengan dunia Barat karena dianggap Cina adalah ancaman bagi keamanan dan pertahanan. Sehingga kedekatan dengan dunia Barat tetap dibutuhkan untuk menjaga stabilitas keamanan.
Membaca Kebijakan Politik Luar Negeri Prabowo
Isu yang diembuskan di tengah masyarakat saat ini masih dominan dengan arahan Rand Corporation yang menjadikan Islam kaffah atau Islam ideologis sebagai musuh bersama atas nama radikalisme. Untuk mencegah Islam politik berkembang, maka dimunculkan islamofobia dan moderasi Islam, yakni Islam yang sesuai arahan Barat.
Dalam dunia politik, AS mengekspor pemikiran demokrasi, sekularisme, liberalisme, pluralisme, dan isme yang lainya. AS juga berupaya bersaing dengan Cina di Laut Cina Selatan. Di bidang ekonomi, AS lebih banyak bergerak di bidang investasi SDA.
Sebaliknya, Cina berusaha menguasai Indonesia dengan ide OBOR, merevisi sejarah PKI, dan berusaha bersaing dengan AS di Laut Cina Selatan. Di bidang ekonomi, Cina bermain di sektor pembangunan infrastruktur dan TKA.
Dari sini dapat dilihat kondisi Indonesia ke depan secara ekonomi dikuasai oligarki (memanfaatkan negara bagi kepentingan pengusaha dan rakyat menjadi korban), menuju pada negara korporatokrasi yaitu suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan/dikuasai/dijalankan oleh sejumlah korporat. Korporat ini terdiri dari para pengusaha kaya raya/konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dalam suatu negara.
Secara politik, pemerintah tetap akan menjadi pemerintahan otoriter, dengan dukungan DPR yang mayoritas propemerintah. Penguasa hari ini atas arahan Cina juga akan berusaha membersihkan komunis atas nama ‘pelurusan sejarah’ dan menjadikan Islam politik menjadi musuh. Indonesia tetap akan menjadi negara dengan basis sekularisme dalam setiap kebijakannya.
Dengan mengamati berbagai pemikiran yang ada di tengah masyarakat, kebijakan politik luar negeri dan ekonomi yang akan dicanangkan pemerintah mendatang tampak bahwa Indonesia ingin berteman dengan semua pihak, baik ke Barat dengan AS dan negara Eropanya, juga ke Timur dengan Cina yang mendominasinya. Indonesia tidak mungkin meninggalkan salah satu dari keduanya karena kedua blok ini akan memastikan hegemoninya tetap ada di Indonesia. Membela salah satu yang berarti menentang salah satu yang lain, akan menimbulkan bencana bagi Indonesia.
Konstelasi Politik Internasional
Ideologi di dunia ini hanya ada tiga, yaitu Islam, sosialisme, dan kapitalisme. Sosialisme pernah diemban sebuah negara. Di bawah Uni Soviet sebagai pemimpinnya, ideologi ini berhasil menguasai dunia. Saat Uni Soviet bubar di tahun 1991, maka berakhirlah hegemoni sosialisme di dunia meski masih meninggalkan jejak, salah satunya Cina yang digadang-gadang representasi ideologi sosialisme. Meski Cina tidak sepenuhnya mengambil ide ini dalam mengatur hubungan dalam dan luar negerinya.
Jika Indonesia mengarahkan kebijakan ekonominya pro-Cina, maka dengan ideologi sosialisme yang diembannya akan menjadikan pemerataan ekonomi untuk semua rakyat. Pemerintah akan menjadi otoriter secara nyata, tidak ada ruang diskusi atau koreksi kepada penguasa. Yang lebih parah lagi, akan terjadi kebuntuan pemikiran karena semua dikendalikan oleh negara. Agama pun tidak akan diakui dalam sistem sosialisme. Indonesia akan menuju kehancuran dengan semakin cepat. Lebih dari itu, Indonesia akan menjadi musuh nyata AS yang tentu tidak ingin ideologi sosialisme bangkit dan memiliki pengikut lagi.
Sementara hari ini, yang berkuasa adalah ideologi kapitalisme yang diemban banyak negara Barat dan hampir seluruh negeri di dunia hari ini dengan AS sebagai pemimpinnya. AS mengeklaim dirinya sebagai pemimpin, pengawas, dan polisi dunia yang akan memastikan ideologi ini tetap berjaya. Bagi AS, saingan terberat sebenarnya bukan Cina yang mengadopsi ideologi sosialisme tetapi justru Ideologi Islam yang siap berkembang, tumbuh, dan tak bisa dihentikan. Cina masih mampu dikendalikan oleh AS lewat penguasaan regional Cina hanya sebatas Kawasan Asia Timur dan Timur Jauh. AS juga tidak memberi kesempatan pada Cina menguasai SDA Indonesia tetapi telah memberi bagian hanya pada infrastruktur dan TKA. AS masih menjadi penguasa di dunia hingga hari ini.
Jika Indonesia mengarahkan politik luar negerinya pro-Barat, maka saat ini kondisi telah membuktikan rakyat sengsara dan menderita akibat penerapan sistem kapitalisme yang hanya memihak para pemilik modal. Rakyat hanya dijadikan sapi perah untuk menghasilkan kekayaan para korporat. Kondisi generasi juga semakin ambruk dengan ide liberalisasi di semua lini. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju dan sejahtera dengan mengadopsi ideologi ini.
Potensi Indonesia sebagai Negara Ideologis
Melihat sepak terjang kedua ideologi ini, memutuskan ke Barat atau ke Timur bukan pilihan tepat bagi Indonesia. Ada baiknya Indonesia menengok pada ideologi Islam yang hari ini menjadi ancaman bagi AS. Hari ini memang ideologi Islam tidak diemban oleh salah satu pun negara di dunia. Islam hanya ada pada individu-individu atau kelompok tertentu saja. Tetapi tidak akan pernah terhapus dari sejarah bagaimana kejayaan umat saat Islam berkuasa hampir 1300 tahun lamanya. Kemajuan segala bidang dan kesejahteraan bukan lagi mimpi, tetapi terwujud nyata.
Baca: Kabinet Gemoy, Beban APBN Gemoy
Dalam konstelasi politik internasional, Indonesia sebenarnya berpeluang menjadi negara ideologis yang mampu menggeser adidaya AS dan pengaruh Cina di kawasan regionalnya. Syaratnya Indonesia harus mengambil ideologi Islam sebagai sistem kehidupannya.
Secara potensi sumber daya manusia, dari 285 juta jiwa rakyat Indonesia, 87% adalah muslim. Ketika Islam dijadikan ideologi negara, maka peluang diterima oleh rakyat yang mayoritas muslim cukup besar. Indonesia juga memiliki jumlah sumber daya alam yang melimpah. Jika dikelola dengan benar sesuai dengan kepemilikan dalam Islam, maka kekayaan ini akan mampu menyejahterakan seluruh rakyat. Jika terjadi boikot ekonomi oleh negara ideologi lain, Indonesia tak perlu khawatir karena kekayaan alam yang melimpah ini akan mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Jika Indonesia melakukan hal yang sama, misalnya memboikot nikel dunia karena Indonesia memiliki kekayaan nikel terbesar kedua dunia, maka dunia akan terguncang dan mengemis pada Indonesia.
Indonesia juga memiliki tentara yang cukup banyak mencapai 1 juta orang. Angkatan udaranya memiliki 466 unit pesawat udara, termasuk pesawat tempur, helikopter, dan tanker. Angkatan daratnya memiliki 314 unit tank, 12 ribu kendaraan tempur baja, 153 unit senjata artileri, 63 roket, dan 414 meriam tembak. Sementara angkatan lautnya memiliki 324 alutsista termasuk kapal perangnya. Dengan potensi sebesar ini menempatkan Indonesia berada di urutan ke-13 dalam kekuatan militer dunia. Dengan meningkatkan latihan militer untuk persiapan perang, maka akan mampu meningkatkan kemampuan militer Indonesia.
Indonesia hanya perlu mengganti sistem kehidupannya dari sekuler menjadi Islam, mengganti sistem pemerintahannya dari demokrasi kapitalis menuju sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah yang dijanjikan Rasulullah akan bangkit kembali, “…Selanjutnya akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Beliau kemudian diam.” (HR. Ahmad dan Al-Bazar)
Kejayaan Ideologi Islam
Bukti kejayaan penerapan sistem Islam dalam sebuah negara banyak tertoreh pada lembar-lembar sejarah yang membahasnya. Kejayaan ekonomi negara Islam pernah mencapai puncaknya pada masa kekhilafahan Bani Umayah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, tidak ada seorang pun dari fakir miskin yang berhak menerima zakat. Khalifah akhirnya memutuskan zakat digunakan untuk membebaskan budak.
Pada masa kekhilafahan Bani Abbasiyah, negara Islam terkenal dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara menyediakan fasilitas yang lengkap dan memfasilitasi penelitian-penelitian hingga penemuan-penemuan di bidang sainstek berkembang pesat.
Pada masa kekhilafahan Bani Utsmaniyah tentara kaum muslim terutama pasukan lautnya terkenal dengan tentara yang tak terkalahkan. Pada masa itu, di bawah pimpinan Muhammad Al-Fatih, negara Islam mampu menaklukkan benteng Konstatinopel yang tangguh dengan meriam hasil industri persenjataan negara Islam sendiri.
Khatimah
Indonesia telah mendapatkan pemimpin baru. Meski demikian, Indonesia tetap di bawah ketiak negara Cina dan AS. Cengkeraman negara tersebut akan semakin kuat dan akan semakin menambah penderitaan rakyat. Pemimpin baru tetapi sistem tetap, maka arah kebijakan luar negeri juga akan tetap. Indonesia akan menjadi negara yang diperhitungkan di kancah internasional hanya dengan ideologi Islam. Wallahualam bissawab. []
Tanpa Islam, tidak akan ada perubahan, Indonesia tetap akan menjadi objek 'jajahan' bagi bangsa2 maju
Barakallah Mbak, mantap opininya
kasihan sekali rakyat Indonesia. Gejolak di bawah sudah mulai menyuarakan menginginkan perubahan, hanya saja pucuk kekuasaan masih enggan karena khawatir dengan dunia. Padahal, mereka juga lelah ketika ditarik-tarik berbagai kepentingan. Tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga permainan global. Semoga opini Islam Kaffah segera menguasai mayoritas masyarakat.