Menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh tiga hal, yaitu lemahnya struktur transformasi perekonomian Indonesia, lemahnya kapasitas negara, serta faktor ketidakberuntungan.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dalam lima tahun terakhir, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun. Ekonomi Indonesia memang tetap tumbuh, tetapi jumlah kelas menengah makin turun, sedangkan jumlah masyarakat miskin dan rentan miskin makin bertambah. (bisnis.com, 17-11-2024)
Apa yang menyebabkan turunnya kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia? Bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat? Bagaimana pula Islam mewujudkan kesejahteraan bagi tiap anggota masyarakat?
Penyebab Menurunnya Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
Penyebab menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia ini belum diketahui secara pasti. Meskipun demikian, Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf berupaya untuk menyampaikan hipotesisnya. Namun, ia menyatakan bahwa hipotesis itu masih membutuhkan kajian.
Menurut Arief ada tiga faktor penyebab menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, lemahnya struktur transformasi perekonomian Indonesia. Ia kemudian menjelaskan bahwa struktur transformasi perekonomian yang kuat ditunjukkan dengan pertumbuhan manufaktur yang tinggi. Sementara itu, kondisi di Indonesia menunjukkan yang sebaliknya. Dalam pengamatan Arief, sektor manufaktur di Indonesia masih lemah dalam 15 tahun terakhir.
Lemahnya sektor manufaktur ini menyebabkan tidak terserapnya tenaga kerja, padahal sektor inilah yang memiliki produktivitas tinggi. Mereka yang tidak terserap di sektor manufaktur kemudian bekerja di sektor tersier yang produktivitasnya kecil. Pertumbuhan tenaga kerja yang besar tanpa diimbangi oleh lowongan kerja yang banyak menyebabkan bertambahnya pengangguran.
Kedua, kapasitas negara yang lemah (weak state capacity). Yang dimaksud di sini adalah kemampuan negara dalam melindungi rakyatnya, seperti pemberian fasilitas bantuan sosial. Lemah kuatnya kapasitas negara ini bergantung kepada kekuatan fiskal pemerintah. Akibatnya, rakyat sangat rentan dalam menghadapi berbagai guncangan.
Kekuatan fiskal ini diindikasikan melalui rasio fiskal, yaitu nilai penerimaan negara dari pajak dibagi produk domestik bruto (PDB). Dari rasio ini dapat diketahui kemampuan belanja negara untuk melindungi rakyat. Menurut Arief, rasio fiskal Indonesia sangat rendah dan terus menurun, yaitu 9–10%.
Lemahnya perlindungan negara terhadap rakyat ini diperparah dengan buruknya belanja sosial pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya persentase anggaran sosial yang tidak tepat sasaran, yakni mencapai 50%. Penyebabnya adalah tidak adanya pembaruan basis data, padahal dinamika miskin dan tidak miskin terjadi sangat cepat.
Ketiga, adanya faktor ketidakberuntungan (badluck), seperti pandemi Covid-19. Pandemi telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Hingga saat ini, banyak dari mereka yang belum terserap lapangan kerja.
Dampak Negatif Merosotnya Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
Menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi ini memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan kondisi Indonesia dalam 5 tahun terakhir dengan periode 2002–2019. Pada periode 2002–2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5–6%. Pada periode ini, jumlah middle class dan aspiring middle class bertambah, sedangkan kelompok miskin dan rentan miskin menurun.
Sementara itu, pada periode 2019–2024 ini, yang terjadi adalah sebaliknya. Pada periode ini, jumlah kelas menengah berkurang sebanyak 9,5 juta, sedangkan jumlah rakyat miskin bertambah 12,7 juta jiwa. Jika dipersentase, populasi middle class pada 2002 mencapai 7%, sedangkan pada 2019 naik menjadi 21%. Namun, jumlah ini turun menjadi 17% pada 2024. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah rakyat sejahtera pada periode 2002–2019 lebih banyak dibandingkan sekarang.
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Kekayaan
Dalam sistem kapitalisme, pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolok ukur baik buruknya kondisi perekonomian suatu negara. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi tolok ukur sejahtera tidaknya masyarakat. Ekonomi negara dikatakan tumbuh jika kegiatan ekonomi masyarakat memberi dampak langsung kepada kenaikan produksi barang dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi memiliki empat fase yang disebut siklus bisnis. Pertama, fase ekspansi, yaitu ketika pendapatan, produksi, serta penjualan mengalami peningkatan. Demikian pula dengan pendapatan PDB riil. Kedua, fase puncak, yaitu saat ekspansi berada di titik puncak. Fase ini juga menjadi titik balik.
Ketiga, fase kontraksi, yaitu saat semua elemen pada fase ekspansi mengalami penurunan. Fase ini akan berubah menjadi resesi jika terjadi penurunan yang signifikan dalam semua aktivitas ekonomi. Keempat, fase palung, yaitu saat fase kontraksi mencapai titik nadir.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari produk nasional bruto atau produk domestik bruto. Pertumbuhan ekonomi berarti barang dan jasa makin banyak tersedia bagi lebih banyak orang. Namun, apakah banyaknya barang dan jasa menjamin semua orang dapat menikmatinya?
Ternyata, tidak demikian. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi hanya memperhatikan rasio jumlah barang dan jasa dengan jumlah penduduk, tetapi tidak memperhatikan pendistribusiannya. Faktanya, masih banyak orang yang tidak mampu mengakses barang dan jasa tersebut. Di sinilah kualitas pertumbuhan ekonomi itu tidak terwujud.
Kegagalan Kapitalisme Mewujudkan Kesejahteraan yang Merata
Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tidak cukup dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonominya juga harus berkualitas. Hal ini terwujud jika pendapatan masyarakat merata, tidak ada kemiskinan, serta kesempatan kerja terbuka luas.
Namun, tingginya angka pertumbuhan ekonomi tidak berarti kesejahteraan itu dinikmati oleh semua kalangan. Penelitian yang dilakukan oleh Institut Riset dan Ekonomi Pembangunan Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa sebagian besar negara maju yang menyatakan berhasil mengurangi kemiskinan dan meningkatkan akses masyarakat terhadap barang mendasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, lembaga itu juga mencatat bahwa pertumbuhan itu tidak berlanjut jika manfaatnya hanya dinikmati oleh kelompok elite. (investopedia.com, 05-06-2024)
Laporan World Inequality Report (2022) dari Lucas Chancel dan Piketty juga menunjukkan bahwa distribusi kekayaan (wealth) dan pendapatan (income) belum merata. Dalam laporan itu disebutkan bahwa ada tiga kategori penduduk dunia berdasarkan kekayaan dan pendapatan, yaitu tingkat bawah, menengah, dan atas. Persentase masing-masing kategori tersebut adalah tingkat bawah 50%, menengah 40%, dan tingkat atas 10%.
Mereka yang berada di tingkat bawah ternyata hanya menikmati 2% kekayaan dunia dan 8% pendapatan. Sementara itu, tingkat menengah menikmati 22% kekayaan dan 39,5% pendapatan dunia. Adapun tingkat atas yang jumlahnya paling sedikit, ternyata menikmati 76% kekayaan dan 52,5% pendapatan dunia. (kompas.id, 08-11-2024)
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Hasil penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar dari tahun ke tahun. Tim peneliti Celios mencatat adanya kenaikan yang terus-menerus pada jumlah kekayaan 50 orang super kaya Indonesia sejak 2019. Pada 2019, total kekayaan mereka mencapai Rp2.470,57 triliun. Total kekayaan itu naik menjadi Rp5.243,07 triliun pada 2024. Kekayaan 50 orang super kaya ini setara dengan kekayaan 50 juta orang. (cnbcindonesia.com, 26-09-2024)
Sistem Ekonomi Islam Menyejahterakan Semua Rakyat
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, sistem ekonomi Islam akan menjamin kesejahteraan tiap orang. Hal ini dapat diwujudkan melalui kebijakan ekonominya yang tecermin dalam mekanisme dan sistem ekonominya. Adapun mekanismenya memiliki empat hal. Pertama, mewajibkan setiap laki-laki yang berakal, balig, dan mampu untuk bekerja.
Kedua, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Ketiga, negara akan mendorong orang-orang kaya agar membantu mereka yang tidak mampu, seperti anak-anak terlantar, orang lanjut usia, atau perempuan yang tidak memiliki keluarga. Jika di sekitar mereka tidak ada orang kaya, negara yang akan menanggung kebutuhan mereka.
Keempat, memberikan hukuman takzir kepada laki-laki yang malas bekerja, padahal ia mampu. Hukuman takzir juga dapat diberikan kepada mereka yang tidak melaksanakan kewajiban memberi nafkah kepada keluarga yang menjadi tanggungannya. Negara juga akan memberi peringatan keras kepada orang kaya yang tidak mau membantu mereka yang kekurangan.
Sementara itu, penerapan sistem ekonomi Islam memiliki tiga aspek. Pertama, membedakan kepemilikan menjadi kepemilikan individu, umum, dan negara. Masing-masing kepemilikan ini telah diatur oleh syariat. Misalnya, lahan pertanian milik individu tidak boleh dijadikan milik negara, meskipun untuk kepentingan bersama.
Kedua, pemanfaatan kepemilikan, baik dalam pembelanjaan maupun pengembangan harus sesuai dengan hak yang melekat pada kepemilikan tersebut. Misalnya, harta milik pribadi tidak boleh dipakai oleh umum. Namun, harta milik umum boleh dimanfaatkan oleh pribadi, tetapi tidak boleh dikuasai.
Ketiga, menjamin distribusi kekayaan merata bagi semua orang. Inilah kunci terselesaikannya masalah ekonomi. Jika distribusi kekayaan lancar, masalah ekonomi akan teratasi. Agar distribusi kekayaan lancar, Islam melarang penimbunan harta, emas, perak, serta uang, agar semua itu beredar di tengah-tengah masyarakat karena ekonomi Islam berbasis sektor riil. Dengan demikian, keuntungan hanya dapat diperoleh melalui usaha yang nyata (riil) dalam memproduksi barang dan jasa.
Dengan mekanisme dan sistem seperti inilah dahulu para penguasa muslim berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Kaum muslim pun hidup makmur. Kemakmuran ini merata di berbagai wilayah.
Kondisi inilah yang dirasakan umat Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu, Muadz bin Jabal yang menjabat sebagai wali di Yaman tidak menemukan orang yang berhak menerima zakat di sana. Ia berinisiatif untuk mengirimkan harta zakat tersebut ke Madinah. Namun, Khalifah Umar bin Khattab mengembalikannya karena kondisi di Madinah pun sama. Muadz kemudian hanya mengirimkan sepertiga harta zakat tersebut. Khalifah Umar pun kembali menolaknya.
Pada tahun berikutnya, Muadz mengirimkan separuh harta zakat. Lagi-lagi, Khalifah Umar mengembalikannya. Hal yang sama dilakukan oleh Muadz pada tahun berikutnya. Namun, Khalifah Umar bin Khattab pun tidak bersedia menerimanya (Abu Fuad, Syarah Al-Amwal).
Kemakmuran ini tidak hanya terwujud pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa-masa setelahnya, kaum muslim hidup sejahtera dalam naungan Islam. Hal ini membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
Khatimah
Demikianlah, sistem ekonomi Islam telah mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Mereka mendapatkan rahmat dari-Nya. Semua itu merupakan buah ketakwaan terhadap Allah Swt. sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A’raf [7]: 156.
وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْىٍٔ فَسَأكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ
Artinya: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa.”
Wallahua’lam bishawab. []
Pertumbuhan ekonomi dihitung di antaramya dari besaran konsumsi masyarakat, ekspor, investasi, impor, dan belanja negara. Konsumsi masyarakat juga tidak mencerminkan kondisi riilnya. Jadi memang angka pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kesejahteraan rakyatnya. Barokallohu fiik, mba
Masya Allah tabarakallah Mbak Mariyah