Melihat dari sejarah, hubungan kerja sama militer antara RI dan Australia sempat putus nyambung.
Oleh. Dyah Pitaloka
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dikutip dari siaran pers indonesia.embassy.gov.au (13-10-2024), Angkatan Pertahanan Australia (ADF) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melaksanakan latihan pendaratan amfibi di Pantai Banongan, Indonesia, pada 13 November, dalam rangka Latihan Keris Woomera. Ini adalah latihan gabungan terbesar dan paling kompleks yang pernah dilakukan antara Australia dan Indonesia.
Dalam latihan gabungan, berbagai kendaraan tempur seperti tank, kapal, pesawat, helikopter, dan sekitar 2.000 personel militer dari Australia dan Indonesia berkolaborasi setelah pendaratan amfibi di Pantai Banongan. Latihan ini menegaskan kemitraan pertahanan kedua negara, yang makin diperkuat dengan perjanjian pertahanan terbaru antara Australia dan Indonesia.
Latihan Keris Woomera merupakan bagian dari Indo-Pacific Endeavour 2024, program keterlibatan militer terbesar Australia di kawasan. Selama latihan, kedua negara berlatih dalam berbagai skenario seperti pemindahan pasukan dan evakuasi kemanusiaan. Latihan ini menunjukkan kesiapan kedua militer untuk menghadapi tantangan keamanan bersama di kawasan.
Tujuan Kerja Sama Militer
Indo-Pacific Endeavour (IPE) bertujuan untuk mempromosikan keamanan dan stabilitas di wilayah sekitar Australia, dengan fokus pada kontribusi kemanusiaan dan keamanan. Pada tahun 2024, IPE akan berfokus pada kegiatan kepemimpinan, pertukaran informasi, dan pengembangan kapasitas di 14 negara Asia Tenggara dan Samudra Hindia Timur Laut. Angkatan laut, darat, dan udara Australia akan berperan dalam latihan dan kegiatan keterlibatan untuk mendukung pertukaran informasi dan pelatihan. (defense.gov.au)
Putus Nyambung Hubungan Kerja Sama Militer RI-Australia
Melihat dari sejarah, hubungan kerja sama militer antara RI dan Australia sempat putus nyambung. Pada 2017, TNI menunda kerja sama militer dengan Australia, yang dianggap sebagai langkah tepat oleh pengamat CSIS Evan Laksmana. Sementara itu, seorang pengamat di Australia menyatakan bahwa hubungan Indonesia-Australia sering kali naik-turun karena adanya saling curiga. Juru bicara TNI Mayjen Wuryanto menyebut penundaan ini terkait masalah teknis, tanpa memberikan penjelasan detail. Harian Kompas melaporkan bahwa hal ini dipicu oleh materi pelatihan di Australia yang dianggap menghina TNI dan lambang negara Pancasila.
Evan Laksmana menilai langkah Panglima TNI untuk meninjau ulang kerja sama ini sudah tepat, karena kerja sama pelatihan dan pendidikan antara Indonesia dan Australia perlu dievaluasi. Evan menegaskan bahwa masalah ini lebih terkait dengan hubungan TNI dan ADF, bukan isu bilateral yang lebih luas, sehingga tidak perlu melibatkan nota protes diplomatik.
Ia juga menekankan bahwa kerja sama militer antara Indonesia dan Australia menguntungkan kedua negara, terutama dalam bidang keamanan maritim dan penanganan terorisme. Namun, Evan menyarankan agar fokus utama hubungan kedua negara saat ini beralih ke perdagangan dan investasi, bukan hanya pada politik dan militer.
RI-Australia Saling Curiga
Hubungan antara Indonesia dan Australia sering mengalami ketegangan, seperti ketika kapal perang Australia memasuki perairan Indonesia pada 2013 dan dugaan pembayaran oleh Australia kepada awak perahu pengungsi pada 2015. Ketegangan memuncak lagi saat dua warga Australia dieksekusi mati karena kasus narkoba pada tahun yang sama. Menurut Evan Laksmana, ketidakpercayaan yang muncul akibat pengalaman masa lalu, seperti peristiwa Timor Leste pada 1999, masih berpengaruh hingga kini.
Meski begitu, Dave McRae dari Universitas Melbourne menjelaskan bahwa selama dua dekade terakhir, kerja sama Indonesia dan Australia terus meningkat meski ada gejolak. Tantangan ke depan bagi kedua negara adalah memperdalam sikap saling memahami karena hubungan geografis keduanya tidak bisa diubah, dan mereka menghadapi tantangan bersama. Pada 2016, Menteri Pertahanan Indonesia dan Australia bertemu untuk membahas kerja sama pertahanan.
Kemudian, pada Agustus 2024, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Australia Richard Marles menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) di Magelang.
Sikap Indonesia terhadap Pengaruh Kehadiran Kekuatan Militer Negara-Negara Besar di Kawasan Asia-Pasifik
Menurut Suselo (2016) dalam Jurnal Lemhanas, dinamika kekuatan negara besar di Asia Pasifik menunjukkan adanya kekuatan baru yang berperan penting di kawasan ini, seperti kebangkitan Cina dan India, serta supremasi AS. Indonesia perlu menyesuaikan pilar politik luar negerinya dengan dinamika ini, seimbang antara diplomasi, ekonomi, dan politik. Kerja sama dengan negara strategis seperti AS, Cina, dan kekuatan besar lainnya harus ditingkatkan, terutama dalam bidang pertahanan dan militer melalui forum multilateral seperti ADMM dan ADMM Plus. Indonesia juga perlu mengalihkan potensi konflik menjadi potensi kerja sama.
Secara internal, Indonesia harus segera mempercepat pembangunan kekuatan militer minimum (MEF), termasuk pengembangan pangkalan militer di Kepulauan Natuna untuk mengantisipasi potensi konflik di Laut Cina Selatan. Selain itu, Indonesia perlu melaporkan batas wilayah ZEE dan landasan kontinen di Natuna ke PBB, karena terdapat tumpang tindih dengan klaim Cina.
Secara keseluruhan, Asia Pasifik adalah kawasan dinamis yang penting bagi kekuatan besar. Untuk menjaga stabilitas kawasan, Indonesia mengusung politik luar negeri bebas aktif dan mendorong kerjasama internasional di bidang pertahanan dan militer, baik secara bilateral maupun multilateral.
Kerja Sama Militer Antarnegara dalam Islam
Kerja sama militer dalam Islam sesuai dengan pandangan KH. Hafidz Abdurrahman dalam tulisannya di visimuslim.com adalah sebagai berikut:
- Batasan Kerja Sama Militer
Kerja sama militer adalah perjanjian antara dua atau lebih negara yang mencakup berbagai kesepakatan di bidang militer. Contohnya, negara-negara yang terlibat wajib memberikan bantuan militer jika salah satu negara anggota diserang. Kerja sama ini bisa berupa pertukaran informasi, strategi, pelatihan, atau bantuan peralatan perang. Dalam beberapa kasus, kerja sama ini melibatkan semua negara yang menandatangani perjanjian, tetapi kadang hanya sebagian negara yang terlibat langsung.
Ketika salah satu negara anggota diserang, negara lain yang terikat perjanjian mungkin diwajibkan untuk membantu, misalnya dengan mengirimkan pasukan atau memberikan bantuan militer lainnya. Namun, beberapa negara mungkin tidak langsung terlibat dalam konflik dan memilih untuk berdiskusi sebelum memutuskan apakah akan mengumumkan perang terhadap negara penyerang. Keputusan tersebut didasarkan pada kepentingan masing-masing negara, tetapi pada intinya, kerja sama ini mengharuskan setiap negara anggota memberikan bantuan militer kepada anggota yang diserang.
- Pandangan Islam
Kerja sama militer yang melibatkan kaum muslim di bawah kepemimpinan nonmuslim dan bendera kekufuran bertentangan dengan syariat Islam, meskipun perjanjian tersebut telah disetujui oleh seorang khalifah. Kerja sama ini dianggap haram karena menjadikan kaum muslim berperang untuk kepentingan negara nonmuslim. Dalam Islam, seorang muslim hanya diperbolehkan berperang di bawah kepemimpinan kaum muslim dan panji Islam.
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasai dari Anas menegaskan hal ini, di mana Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian meminta penerangan dari api kaum musyrik.” Ini adalah kiasan yang berarti larangan bagi kaum muslim untuk berperang bersama kaum musyrik atau menggunakan panji mereka.
Kebijakan Khilafah
Berdasarkan hukum kerja sama militer, secara umum, kerja sama antara negara Khilafah dan negara kafir dianggap haram, terutama jika keduanya memiliki kekuatan yang setara. Namun, jika negara kafir lemah dan tunduk di bawah kepemimpinan negara Khilafah, kerja sama diperbolehkan, seperti yang dicontohkan dalam perjanjian Nabi saw. dengan Bani Khuza’ah setelah Perjanjian Hudaibiyah.
Kerja sama semacam ini diperbolehkan jika negara Khilafah lebih kuat dan memimpin, seperti ketika Nabi saw. menggunakan hubungan dengan Bani Khuza’ah untuk menyerang Quraisy, yang akhirnya menyebabkan penaklukan Makkah. Namun, jika negara Khilafah berada dalam posisi lemah atau setara dengan negara kafir, kerja sama militer tersebut dilarang karena bisa membahayakan negara Khilafah, seperti yang terjadi pada Khilafah Utsmaniyah saat bersekutu dengan Jerman dalam Perang Dunia I.
Dr. Muhammad Khair Haikal menekankan bahwa kerja sama militer yang membawa bahaya bagi negara Khilafah adalah haram, sesuai dengan kaidah “La dharar wa la dhirar fi al-Islam” (tidak boleh ada bahaya dalam Islam). Contoh lain adalah Perjanjian AS-Uni Soviet pada 1961, yang meski mengakhiri perang dingin, akhirnya merugikan Uni Soviet ketika kekuatannya melemah. (www.visimuslim.com, 18-04-2015)
Penutup
Kerja sama militer antara negara Khilafah dan negara kafir dapat disimpulkan bahwa secara umum, kerja sama militer antara keduanya sebagai dua entitas negara adalah haram. Negara Khilafah tidak boleh meminta bantuan militer dari negara kafir sebagai sebuah institusi negara, tetapi diperbolehkan meminta bantuan dari individu rakyat negara kafir.
Namun, kerja sama militer dengan negara kafir diperbolehkan jika kepemimpinan dan bendera berada di tangan negara Khilafah, dengan syarat posisi Khilafah lebih kuat. Selain itu, kerja sama tersebut tidak boleh membahayakan negara Khilafah. Jika kerja sama ini berpotensi menimbulkan bahaya bagi negara Khilafah, maka hukumnya menjadi haram.
Dengan demikian menyikapi hubungan kerja sama antara RI dan Australia dalam militer rasanya perlu dikaji ulang. Ada pil pahit di masa lalu terkait kerja sama militer antara RI dan Australia. Oleh sebab itu, Indonesia perlu mewaspadai maksud dan tujuan sebenarnya dari kerja sama militer ini. Apalagi, Indonesia terletak di wilayah yang strategis.
Wallahu a’lam bish-shawaab []