Bergabungnya Indonesia ke BRICS justru makin menguatkan ketergantungan terhadap Cina.
Oleh. Arum Indah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia berencana untuk menjadi anggota kelompok ekonomi BRICS. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Sugiono saat menghadiri KTT BRICS+ di Kazan, Rusia. Sugiono mengatakan keinginan untuk bergabung di BRICS merupakan bentuk pengejawantahan politik luar negeri. Menlu juga menyatakan bahwa langkah ini dinilai searah dengan program kerja Kabinet Merah Putih mengenai pemberdayaan SDM, pemberantasan kemiskinan, ketahanan energi, dan ketahanan pangan. Indonesia juga memiliki keinginan untuk mengangkat kepentingan negara-negara berkembang di belahan bumi selatan. (news.detik.com, 26-10-2024)
Rencana itu pun menuai pro dan kontra. Beberapa tokoh ikut menyambut baik, tetapi para ekonom senior justru khawatir karena langkah itu dinilai akan membahayakan industri dan membebani produk-produk dalam negeri.
Mengenal BRICS
BRICS merupakan kelompok negara-negara yang telah bertransformasi menjadi organisasi antarpemerintah. Tahun 2009 silam, Brasil, Rusia, India, dan Cina membentuk BRIC sebagai bentuk komitmen untuk menghadapi tatanan dunia multipolar dan nonintervensionisme global. Tahun 2011, dengan bergabungnya Afrika Selatan, BRIC pun bertransformasi menjadi BRICS. Hingga tahun 2023, anggota BRICS bertambah dengan bergabungnya Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Ethiopia.
Negara-negara ini diklaim memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Jika kondisi ini bisa dipertahankan, diharapkan akan muncul dominasi kekuatan ekonomi baru tahun 2050. BRICS menjadi blok geopolitik baru yang direncanakan mampu mengimbangi pengaruh Barat lewat lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank. (britannia.com)
BRICS sendiri merupakan antitesis dari Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD) yang berisi negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain.
Tujuan BRICS
BRICS dibentuk dengan tujuan untuk menguatkan suara-suara negara berkembang di hadapan Barat. BRICS juga dinilai sebagai kelompok revisionis yang tidak puas dengan status quo yang dibangun Barat. Kelompok ini diharapkan akan bisa mengimbangi dominasi dan hegemoni dari AS.
Awalnya, pertemuan BRICS hanya membahas masalah investasi. Namun, kelompok ini pun beralih menjadi blok geopolitik yang bertujuan menguatkan suara negara berkembang. BRICS memandang bahwa kebijakan dan keputusan ekonomi internasional sering mengedepankan kepentingan-kepentingan Barat, terutama AS. BRICS pun ingin melalukan gerakan dedolarisasi dengan menciptakan sistem keuangan alternatif yang lebih inklusif dan mengurangi pengaruh dolar yang selama ini menjadi mata uang internasional.
BRICS dan Dominasi Cina
BRICS yang menyerukan pembentukan mata uang cadangan sebagai alternatif dolar AS juga telah membangun New Development Bank (NDB) yang bertujuan untuk pendanaan dan pembiayaan proyek-proyek di negara berkembang. Anggota pendiri BRICS sendiri telah berinvestasi $100 miliar sebagai modal dasar bank dan juga memiliki saham di NDB. Bersamaan dengan itu, BRICS juga meluncurkan Contingency Reserve Agreement (CRA) yang merupakan mata uang likuid untuk membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi. Pembentukan mata uang bersama ini bertujuan untuk memudahkan perdagangan internasional antara negara-negara anggota.
Terlalu muluk jika berharap BRICS akan memberikan perubahan bagi negara-negara berkembang sebab BRICS hanya berupa pengelompokan negara yang memiliki kepentingan dan posisi geopolitik yang berbeda. Kekuatan organisasi ini makin terkikis oleh rumitnya masalah internal yang tengah mencengkeram negara-negara anggotanya. BRICS tak lebih dari sekadar ambisi Cina untuk makin menguatkan dominasi politiknya di negara-negara berkembang. Keinginan ini diamini oleh Rusia yang sangat membutuhkan mitra dagang dan sekutu setelah negara itu mendapat kecaman dari dunia internasional karena invasinya ke Ukraina.
Indonesia dan BRICS
Beberapa pengamat yang menyetujui keanggotaan Indonesia di BRICS menilai akan ada potensi pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah harus fokus untuk memperkuat daya saing dengan penghiliran komoditas unggulan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengoptimalan akses ke pasar besar India dan Cina, belajar bioenergi dari Brasil, serta menjalin perdagangan energi dengan Rusia. Sebagian kalangan juga menilai penguatan pangsa pasar akan terjadi dengan terbukanya rantai pasok produksi ke negara anggota lain lewat kerja sama perdagangan.
Baca: Ada Apa di Balik Rencana RI Gabung dengan BRICS?
Sisi yang dianggap positif selanjutnya adalah berkurangnya hambatan seperti pengurangan tarif bagi produk ekspor sehingga Indonesia dapat meningkatkan ekspornya serta terbukanya peluang perluasan negosiasi perdagangan internasional terutama dengan Rusia dan Afrika Selatan. Lebih lanjut, Indonesia diharapkan akan mendapat angin segar dari penggunaan mata uang bilateral BRICS karena akan mengurangi volatilitas dolar AS.
Kedaulatan Makin Tersandera
Bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak serta merta akan membawa kebaikan untuk negeri ini. Meski hal ini dinilai akan memperkuat posisi Indonesia untuk investasi dan perluasan pasar global, tetapi yang terjadi justru kedaulatan negeri makin tersandera. Negeri ini akan kembali menjadi sasaran pasar bagi anggota-anggota negara BRICS. Kondisi ini tentu akan membahayakan keberadaan industri domestik. Meski pemerintah telah merumuskan berbagai cara untuk mengatasi persaingan ini, tetapi tampaknya rumusan itu sulit untuk terwujud. Produk domestik akan tetap kalah saing dengan produk dari luar yang terkadang harganya justru jauh lebih murah daripada produk domestik.
Demikian pula, tak banyak hal yang bisa diharapkan dengan produk domestik yang digelontorkan ke pasar internasional. Produk Indonesia masih harus bekerja keras untuk bisa menyaingi produk-produk dari luar terutama Cina. Bergabungnya Indonesia ke BRICS justru makin menguatkan ketergantungan terhadap Cina. Selama ini saja Cina telah menjadi negara terbesar penyumbang penanaman modal asing di Indonesia. Tak tanggung-tanggung investasi Cina bahkan menembus US$6,06. Penanaman modal asing ini tentunya akan makin meluas begitu ketok palu pengesahan keanggotaan BRICS.
Kerangka Kapitalisme
Meski BRICS digadang-gadang sebagai blok yang akan melawan hegemoni AS, BRICS tetap dibangun di atas pragmatisme dan kerangka kapitalisme. Kerangka ekonomi BRICS tetap dibangun dengan fondasi sistem ribawi yang rapuh dan rentan krisis. Sejatinya, tak pernah ada hal baru yang terbentuk. Mustahil negara-negara BRICS akan menghancurkan ekonomi kapitalisme dan hegemoni AS, sedangkan mereka sendiri tengah mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme sebagai roda pemerintahan.
Oleh karena itu, tidak perlu menggantungkan harapan besar atas bergabungnya Indonesia ke BRICS. Selama negara-negara berkembang masih menjadikan kapitalisme sebagai napas negaranya, tidak akan ada perubahan yang terjadi. Indonesia tetap akan berlutut di bawah dominasi asing.
Pandangan Islam
Harapan untuk menjadi negara maju sebenarnya tak sekadar basa-basi jika Indonesia mau mengambil dan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam yang tidak berbasis ribawi telah terbukti berhasil mengantarkan Daulah Khilafah sebagai negara adidaya selama 13 abad. Pada saat itu, Khilafah menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan dalam kancah dunia internasional. Bahkan, tidak ada satu negara pun yang berhasil mengimbangi kemajuan ekonomi Khilafah hingga kini.
Mengenai hubungan dengan negara lain, Islam menetapkan bahwa dakwah dan jihad adalah politik luar negeri Khilafah. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah dalam bab Perjanjian yang Dibolehkan menyatakan bahwa Negara Islam boleh melakukan perjanjian damai, bertetangga dengan baik, gencatan senjata, perjanjian kebudayaan, perjanjian dagang dan ekonomi, serta perjanjian-perjanjian lain yang mendukung kepentingan penyebaran dakwah Islam dengan syarat-syarat yang diakui dalam Islam sebagaimana hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Syarat apa pun yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal.”
Khilafah boleh melakukan perjanjian bilateral atau multilateral dengan negara yang berdekatan atau berjauhan ketika ada peluang untuk dakwah dan kemaslahatan bagi kaum muslim. Ketetapan yang telah dijelaskan di atas sekaligus menjadi antisipasi terhadap negara-negara lain yang berpotensi mengancam Khilafah.
Khatimah
Bergabungnya Indonesia ke BRICS justru makin menjadikan ekonomi negeri ini kian tersandera. Bumi pertiwi akan makin bergantung pada luar negeri terutama Cina. BRICS merupakan jalan tol bagi Cina untuk makin menguatkan dominasinya di belahan bumi selatan. Begitulah wajah sistem kapitalisme yang hanya menjadikan negara-negara berkembang bak sapi perah bagi negara yang lebih maju dengan terus mencari ribuan cara untuk mengeruk keuntungan.
Sungguh, perubahan hakiki hanya bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam secara kafah dalam seluruh lini kehidupan.
Wallahu a'lam bishawaab []
Barakallah Mbak Arum
Indonesia tetap menjadi korban kepentingan negara-negara adidaya. Berharap melawan hegemoni Barat dengan BRICS, tapi justru malah keluar dari mulut buaya dan masuk ke mulut harimau.
Miris!. Padahal Indonesia kaya dgn sumber daya alamnya. Tapi karena salah kelola maka jadi tergantung sama negara lain terutama dgn negara Cina. Tidak menutup kemungkinan penduduk Indonesia akan banyak yg bermata sipit.
Hubungan yang dibangun tanpa dasar akidah yang sama, sejatinya sangat rapuh.
Mau gonta ganti apapun, selama bukan sistem Islam sebagai hukumnya, percuma
Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Negara-negara berlkembang sudah sadar ada ketidakadilan. Tetapi melawan hegemoni AS dengan bergabung di BRICS, sia-sia. Mestinya bergabung menjadi kekuatan beridiologi Islam.