Tidak Ada Solusi Kejahatan Seksual Selain Islam

Kejahatan seksual

Solusi agar persoalan kekerasan seksual selesai tuntas adalah dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai pemerintahan Islam, yakni Khilafah.

Oleh. Sarah Asha Fadillah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pelecehan dan kekerasan seksual kerap kali kita jumpai, baik di kehidupan nyata maupun maya. Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah ditetapkan pada Selasa, 12 April 2022, ternyata tidak menjadi solusi tuntas untuk menghilangkan berbagai kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang ada. Bahkan makin banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang bermunculan, baik secara verbal maupun fisik.

Seperti halnya kasus yang terjadi baru-baru saja di Kalimantan Timur yakni Bontang dan Berau. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Berau diduga telah melakukan tindak kekerasan seksual kepada anak di bawah umur di Kecamatan Maratua. Keluarga sudah berusaha melaporkan pelaku ke pimpinannya di DPPKBP3A, tetapi hasilnya nihil dan kasusnya mengendap begitu saja. Jangankan menindaklanjutinya dengan serius, tanggapan atau dukungan moral pun tidak diterima oleh pihak keluarga.

Adapun di Bontang, seorang guru Sekolah Dasar (SD) dengan tega mencabuli anak didiknya sendiri dengan melakukan tindak pidana persetubuhan. Dari keterangan korban, ternyata perlakuan guru ini sudah sering kali dilakukan. Namun, korban tidak berani untuk melaporkan hal tersebut kepada orang tuanya. Sampai pada satu titik korban mengeluh sakit di bagian vital saat buang air, pada saat itulah orang tua korban baru mengetahui bahwa anaknya telah dicabuli setelah diperiksa ke dokter.

Pelaku terkena delik Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta denda Rp15 juta.

Sungguh ironis, dua pelaku pelecehan dan kekerasan seksual tersebut adalah orang-orang terdidik dan bekerja di lembaga yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukung bagi korban yang terkena pelecehan seksual. Namun, siapa sangka malah merekalah yang melakukan tindakan keji seperti itu kepada anak yang masih di bawah umur. Jika diamati, kasus serupa sering kali terjadi, di sebuah lembaga yang berisi orang terdidik seperti sekolah, pesantren, perkantoran, dan lain sebagainya. Tidak jarang pula yang melakukan adalah orang-orang terdekat dari korban. Lantas, berharap kepada siapa lagi agar anak aman dari pelecehan dan kekerasan seksual?

Memang benar, negara sudah menerapkan aturan berupa UU TPKS yang bertujuan melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Selain itu, Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) di satuan pendidikan yang bertujuan menangani dan mencegah kekerasan seksual di satuan pendidikan, baik jalur formal, nonformal, dan informal yang meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan lainnya. Namun, apakah aturan yang ada ini bisa menjadi efek jera bagi pelaku serta solusi yang mengakar bagi permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual?

Ternyata sanksi yang ada dianggap tidak menjerakan dan masih banyak pula kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penyelesaian masalah ini. Contohnya, hukum kebiri kimia bagi predator seksual yang dinilai tidak menjerakan sebab suntik kebiri hanya menghentikan hormon/libido sehingga tidak akan efektif jika motif sang predator adalah psikologi. Apalagi hukuman penjara, sejak dahulu hukuman ini sudah dinilai tidak efektif dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain yang melihatnya, buktinya saja kejahatan seksual malah makin meningkat.

Ada pula hukuman mati yang jelas bisa dinilai menjerakan. Namun, hal ini akan sulit untuk dieksekusi sebab bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika pun hukuman mati benar-benar diterapkan, semua itu tidak akan mampu menyelesaikan persoalan dengan tuntas sebab penerapannya tidak disertai dengan penyelesaian akar masalah.

Liberal Adalah Akar Persoalan

Selain hukumannya dianggap tidak menjerakan, banyak pula kebijakan pemerintah yang kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan kekerasan seksual. Misalnya kurikulum pendidikan yang berbasis sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan para pengajar dan pelajarnya jauh dari agama. Apabila agama tidak lagi dijadikan sebagai landasan dalam berkehidupan, sudah pasti segala aktivitas yang dilakukan akan berjalan sesuai dengan hawa nafsu pribadi yang hanya memikirkan kesenangan, tidak peduli lagi apakah dibenci Allah atau tidak. Inilah potret liberalisme atau kebebasan dalam berpikir yang dituangkan dalam kebebasan bertingkah laku yang marak terjadi sekarang. Ditambah lagi mudahnya budaya luar masuk ke daerah-daerah yang dibawa dari sektor pariwisata sehingga dengan mudah pemahaman liberal merajalela di negeri-negeri kaum muslim.

Alhasil sekalipun berada di lembaga terdidik, akan sulit terhindar dari budaya kufur ini sebab liberalisme begitu masif dari segala arah, baik pendidikan, media, dan lain sebagainya. Terlebih lagi banyak sekali program yang dibentuk di dunia pendidikan seperti MBKM dan moderasi neragama agar sekularisme makin tertanam dalam benak sehingga mereka lebih sibuk dengan dunia atau materi dan mengabaikan belajar dan dakwah demi tegaknya Islam. Inilah potret buram pendidikan hari ini. Yang berbasis agama pun tidak bisa lepas dari jerat sistem sekuler liberal.

Akhirnya, para pemuda makin jauh dari Islam. Mereka merasa bebas untuk berekspresi, termasuk ekspresi seksual. Mereka merasa bebas untuk menyukai sesama jenis, bebas melampiaskan hawa nafsunya kepada siapa pun dan di mana pun dan tidak ada lagi rasa takut akan dosa dan api neraka.

Peran Islam dalam Mencegah Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Perlu diketahui, perlindungan hakiki terhadap anak dan korban pelecehan dan kekerasan seksual hanya akan diperoleh ketika syariat Islam secara kaffah diterapkan. Islam mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk anak, sehingga dapat hidup aman dan berkembang sempurna. Aturan UU TPKS dan PMA PPKS tidak akan mampu memberantas tuntas sebab pemberantasannya membutuhkan langkah yang menyasar akar permasalahan. Jika ingin persoalan ini selesai, maka benahi terlebih dahulu sistem pendidikannya agar tidak sekuler liberal, juga nenghapus segala program-program yang menjauhkan generasi dari agama.

Selain itu, pemerintah harus mengendalikan media dengan menghapuskan segala hal-hal yang terkategori pornografi dan pornoaksi sehingga kejahatan seksual tidak lagi ada dan meningkat selayaknya hari ini. Peran keluarga pun sangat penting dan menjadi pendukung agar anak-anak jauh dari sikap bejat. Ayah dan ibu harus memberikan kehangatan di dalam rumah dan menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka.

Hanya saja, semua itu akan susah dilaksanakan pada sistem hari ini, sebab sistem demokrasi sekaranglah yang menjamin seseorang dalam melakukan kebebasan berperilaku. Oleh sebab itu, solusi agar persoalan kekerasan seksual selesai tuntas adalah dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai pemerintahan Islam, yakni Khilafah.

Dengan khilafah, seluruh perbuatan manusia terikat dengan syariat sehingga perilaku predator seksual tidak akan ada dalam masyarakat Islam. Seseorang yang beriman akan selalu menjaga perbuatannya dari kemaksiatan. Lalu, negara akan senantiasa bertanggung jawab memelihara ketakwaan warganya, negara juga akan mengontrol penuh media sehingga yang sampai kepada umat hanyalah kebaikan.

Selain itu, sistem pendidikan akan terbentuk menjadi sistem pendidikan yang berbasis akidah. Anak-anak sedari dini akan memahami bahwa agama adalah solusi dari segala permasalahan yang ada dan tidak pernah terlintas lagi adanya pemisahan antara agama dan kehidupan.

Dan yang terakhir, keluarga di dalam negara Islam adalah benteng pertama dalam penjagaan ketakwaan individu. Para ibu akan kembali kepada tupoksi awalnya yaitu ummu warabbatul bait dan madrasatul ula. Pemikiran kesetaraan gender yang sesat tidak akan diamalkan sebab para ibu paham bahwa kemuliaan wanita adalah ketika menjalankan fungsinya sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya dan manajer rumah tangga.

Hanya dengan Islam, kehidupan umat manusia akan lebih sejahtera, jauh dari kata sengsara dan tidak ada lagi kasus pelecehan dan kejahatan seksual seperti sekarang. Ini karena kehidupan umat manusia akan menjadi lebih bermartabat yaitu kehidupan yang senantiasa terikat dengan aturan Allah Swt. secara menyeluruh. Wallahu a’lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Sarah Asha Fadillah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Membentuk Politik Indonesia Lebih Baik
Next
Mengembalikan Spirit Jihad pada Jiwa Santri
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram