Pudarnya Makna Hakiki Ibadah Haji

Ibadah Haji

Sejatinya ibadah haji ini menjadi jembatan perjuangan untuk merealisasikan persatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah jika umat telah menyadarinya.

Oleh. Tsuwaibah Al-Islamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kenaikan biaya haji menjadi sesuatu yang niscaya setiap tahunnya. Alih-alih menekan harga dan memudahkan prosesnya, pemerintah justru makin agresif dalam meroketkan biayanya. Usulan Kemenag ini sungguh memilukan. Seharusnya kesempurnaan rukun Islam ini didukung dan difasilitasi penuh oleh negara yang mayoritas penduduknya muslim, bukan malah sebaliknya.

Dilansir dari kompas.id (15/11/2023) bahwa banyak masyarakat yang mengeluh dan bakal menunda keberangkatannya ke tanah suci pasca pelontaran usulan biaya haji 2024 oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, sebesar Rp105 juta per jemaah. Kenaikan ini dianggap tak rasional, sebab prosentase kenaikannya begitu meroket, ini bukan kenaikan namanya, tapi pindah harga!

Lantas bagaimana rasionalisasi yang dijajakan pihak Kemenag ketika mengusulkan biaya haji 2024 itu? Betulkah telah terjadi kapitalisasi dana haji? Bagaimana pengelolaan haji yang benar dalam perspektif Islam dan praktiknya pada masa kekhilafahan dahulu? Apa saja makna hakiki ibadah haji?

Sebab Kenaikan Biaya

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke-5. Ibadah yang tergolong aktivitas fisik ini tak bisa dilakukan di dalam negeri, namun harus terbang ke negeri lain, yakni Arab Saudi, tempat di mana Makkah dan Madinah berada, sehingga diperlukan beberapa kelengkapan untuk menunjang keberlangsungannya. Usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445/2024 yang diwacanakan Kemenag awalnya Rp105 juta per jemaah. Sedangkan tahun lalu sebesar Rp90 juta, berarti ada kenaikan 15 juta rupiah. 

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, menguraikan bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi sebab kenaikan biaya, di antaranya kenaikan kurs (dolar dan riyal), penambahan layanan, dan dampak perang Israel-Hamas di Palestina. Adapun terkait kenaikan kurs, BPIH 2023 menggunakan asumsi kurs 1 USD senilai Rp15.150 dan 1 SAR senilai Rp4.040, sedangkan BPIH 2024 dirancang dengan asumsi kurs 1 USD sebesar Rp16.000 dan 1 SAR sebesar Rp4.266, selisih ini menyebabkan kenaikan pada biaya layanan-layanan berikut: transportasi (pesawat terbang dan bus salawat), akomodasi, konsumsi, pelayanan keimigrasian plus dokumen perjalanan, pembinaan jemaah haji, pengelolaan BPIH, pelayanan umum, dan asuransi.

Merujuk pada BPIH 2023 sebesar Rp90 juta, jemaah membayar sekitar Rp49 juta atau 55,3% dan sisanya disubsidi dari pemerintah. Bila dikalkulasikan dengan acuan tahun sebelumnya, maka BPIH 2024 itu 55,3% dari Rp105 juta yakni sekitar Rp58 juta per jemaah. Ini masih terbilang kenaikan yang tinggi, sebab kenaikan itu rasionalnya sekitar 1-3% saja dari biaya tahun sebelumnya. Ini senada dengan penuturan John Kenedy Aziz, Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Komisi VIII DPR, dia dengan tegas menolak usulan dari BPIH Kemenag. Menurutnya perlu ada penelusuran mendalam terkait kompenen biaya apa saja yang bisa ditekan (bbc.com, 17/11/2023).

Tak berselang lama dari kritik sekaligus penolakan dari pihak DPR dan keluhan dari masyarakat terkait usulan biaya haji 2024, Kemenag menurunkan usulan BPIH 2024 menjadi Rp93,4 juta. Hilman mengatakan tiket pesawat terbang hanya mengalami kenaikan sekitar 2%, sedangkan visa dan biaya hidup cenderung tetap, tak ada kenaikan berarti (dpr.go.id, 22/11/2023). 

Ini berarti peluang untuk menekan biaya haji sangat mungkin dilakukan, namun mengapa pemerintah terkesan begitu tergesa-gesa dalam mengumumkan usulan awalnya itu? Baru setelah mendapatkan kritik dan saran, mereka bergerak dan berupaya untuk menurunkannya. Apakah jika semua pihak menerima dengan ikhlas sejak awal, mereka akan tetap meroketkan biaya haji? Lantas kelebihan dananya akan masuk ke kantong siapa?

Biaya Naik, Kualitas Pelayanan Menurun 

Kenaikan biaya haji yang begitu signifikan terjadi pada 2023 biayanya sekitar Rp49 juta, lihat saja kenaikan nyaris dua kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni sekitar Rp35 juta pada BPIH 2019. Sedangkan sejak 2000-2022 tidak diberangkatkan jemaah haji dari Indonesia dikarenakan pandemi. Mirisnya, kenaikan sebesar itu tidak dibarengi dengan kualitas pelayanan ibadah haji.

Banyak sekali keluhan yang disampaikan jemaah haji Indonesia selama beribadah haji di tanah suci, di antaranya: distribusi makanan yang kacau sehingga banyak jemaah yang kelaparan; transportasi dan akomodasi yang tak terkoordinasi dengan baik; jumlah toilet yang tak memadai yang memicu antrean panjang; fasilitas pelayanan haji bagi lansia (kursi roda dan golfcar) yang minim; kinerja Mashariq (penyedia layanan haji) dari Arab Saudi yang tidak menunaikan komitmennya dengan baik di Arafah, Muzdalifah, dan Mina; dll.

Apa yang terjadi pada pelayanan haji 2023 seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk mengantisipasi agar tidak terjadi keburukan yang sama di tahun berikutnya dan serius meningkatkan kualitas pelayanan ibadah haji. Jangan hanya sibuk menaikkan biaya haji, tanpa diimbangi peningkatan pelayanan. Ingatlah ini dana abadi umat yang tak ‘kan pernah surut! Nominalnya yang begitu fantastis sanggup membutakan mata hati siapa pun yang tergiur pada pesonanya dan terperosok pada palung keserakahan. 

Kapitalisasi Pengelolaan Haji

Sekularisme sudah merasuki seluruh kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Begitu pula dengan kapitalisme, sudah menjadi napas dalam setiap interaksi. Tak ada yang luput dari jeratan kapitalisasi, termasuk dalam pengelolaan ibadah haji. Sejatinya rukun Islam yang ke-5 ini dimudahkan prosedurnya dan ditekan sedemikian rupa dalam hal pembiayaannya agar dapat dijangkau oleh warga muslim. Faktanya, biaya meroket dan antreannya panjang sekali.

Namun sayang, biaya mahal dan antrean nan lama itu tidak berbanding lurus dengan pelayanan jemaah haji. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa negara ini ada dalam kungkungan kapitalisme yang kerap kali menyajikan pelayanan publik dengan standar minimum bukan premium. Posisi negara bukan sebagai periayah yang bertanggung jawab penuh memberikan pelayanan terbaik tanpa memandang aspek untung-rugi. Faktanya, saat ini posisi negara hanya sebagai regulator antara rakyat (jemaah) dengan pihak swasta (korporasi), sehingga untung-rugi menjadi aspek terpenting dalam pelayanan publik. Ibadah haji bukan lagi dipandang dalam kaca mata spiritual, namun dijadikan ceruk bisnis dan pasar yang dieksploitasi. Semua hal dikomersialkan, dari transportasi, perhotelan, katering, jasa perizinan, hingga jasa bimbingan. Jadi mahalnya biaya haji sejatinya merupakan dampak dari rantai kepentingan kapitalis yang berkaitan dengan urusan haji.

Sebagai contoh, dalam hal pelayanan haji di Arab Saudi, ternyata bukan dikelola sendiri oleh pemerintahnya, namun diserahkan pada korporasi (perusahaan) swasta yang disebut dengan Mashariq. Jadi Mashariq ini adalah perusahaan swasta yang ditunjuk otoritas Arab Saudi untuk melayani jemaah haji dari kawasan Asia Tenggara.

Baca juga : https://narasipost.com/opini/02/2023/biaya-haji-melambung-tinggi-haruskah-keberangkatan-ditunda-lagi/

Selain itu, ghiroh para calon haji acapkali tak terakomodasi dengan baik. Buktinya, waiting list jemaah haji Indonesia kian membengkak. Waktu tunggunya hingga puluhan tahun, sungguh fantastis! Namun, alih-alih menyediakan kuota haji yang realistis, pemerintah justru makin memberikan kemudahan setoran awal dengan digit yang makin ringan serta adanya sistem pembagian haji khusus dan umum. Diperparah dengan adanya program dana talangan haji kerja sama pemerintah dengan bank-bank swasta, regulasi ini makin menambah panjang antrean haji di Indonesia. 

Seharusnya pemerintah mengedukasi masyarakat akan prinsip syariat bahwa wajibnya haji hanya satu kali seumur hidup, itu pun bagi orang yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan. Jangan sampai orang kaya menjadi serakah ingin berhaji berulang kali dan orang yang belum mampu memaksakan diri berhaji walaupun dengan konsekuensi terbelit utang pasca kepulangan haji dari tanah suci.

Penyelenggaran Haji dalam Khilafah

Haji merupakan rukun Islam yang ke-5, yakni ibadah yang diperintahkan Allah Swt. bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan. Hukumnya adalah fardu ‘ain. Sebagaimana firman Allah Swt.:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Penyelenggaran haji saat ini dikapitalisasi dan disekat dalam bingkai nation state yang didasari rasa nasionalisme, sehingga biaya haji dikomersialkan dan prosedur dipersulit. Ini terjadi dikarenakan kaum muslim saat ini tercerai-berai dalam sekat negara, tak lagi bersatu dalam naungan institusi negara yang satu pula, yakni Daulah Khilafah Islamiah. Inilah masalah krusial dari berbagai problema yang merundung negeri-negeri muslim saat ini.

Oleh karena itu, penyelenggaraan haji berbasis syariat Islam kaffah di bawah naungan Khilafah menjadi satu-satunya solusi persoalan haji hari ini. Khilafah merupakan representasi kaum muslim sedunia, sebuah institusi negara yang menerapkan syariat Islam kaffah serta mengemban dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia. Sistem Khilafah merupakan hirasatuddin wa siyasatuddunya (memelihara agama dan mengatur dunia). Hal inilah yang mendorong penyelenggaran haji yang berkualitas dengan biaya terjangkau.

Adapun kebijakan Khilafah dalam menertibkan urusan haji sebagai berikut:

  1. Khilafah akan membentuk departemen khusus yang menangani urusan ibadah haji dan umrah. Jejaringnya dari pusat hingga daerah yang tersentralisasi. Ini demi memudahkan calon haji dalam hal persiapan, bimbingan, pelaksanaan sampai kepulangannya. Departemen ini akan dibantu oleh departemen lain seperti kesehatan dan perhubungan agar bisa bersinergi memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah haji.
  2. Besar kecilnya BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan calon jemaah haji berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah suci.
  3. Adanya penghapusan visa haji dan umrah. Khilafah merupakan kesatuan wilayah yang berada pada satu kepemimpinan dan wilayah negara yang sama. Oleh karena itu, warga Khilafah bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa, cukup menunjukkan identitas diri semisal KTP. Namun, jika muslim tadi masih menjadi warga negara darul kufur, dia wajib memiliki visa.
  4. Pengaturan kebijakan kuota haji dan umroh. Khalifah harus menyiasati bagaimana caranya agar keterbatasan tempat tak menjadi kendala bagi jemaah haji dan umroh.
  5. Khilafah akan mengedukasi umat terkait kewajiban haji itu hanya satu kali seumur hidup bagi muslim yang telah memenuhi syarat dan berkemampuan. Dengan pemahaman ini, masyarakat yang belum pernah berhaji namun berkemampuan dan telah memenuhi syarat akan mendapat prioritas dalam hal keberangkatan.
  6. Khilafah wajib mengantongi database warganya, mana yang sudah berhaji dan belum, sehingga pengaturannya bisa lebih rapi.
  7. Khilafah tidak boleh menggunakan dana haji untuk berinvestasi atau pembangunan infrastruktur. Bahkan, ketika Khilafah akan membangun sarana transportasi massal yang bisa dimanfaatkan oleh calon jemaah haji, itu pembiayaannya berasal dari baitulmal, bukan dari dana haji. Sebab ini merupakan bagian dari kewajiban Khilafah dalam mengurus urusan rakyatnya. Misalnya saja, saat Khilafah Abbasiyyah, Khalifah Harun Ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah), bahkan di setiap titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, juga dana zakat bagi siapa saja yang kehabisan bekal di perjalanan.

Makna Hakiki Ibadah Haji

Miris, runtuhnya Khilafah Islamiah di Turki pada tahun 1924 menjadi “neraka dunia” bagi umat muslim seantero dunia. Pasalnya, sejak saat itu kaum muslim terpecah-belah menjadi puluhan negeri dan syariat Islam tak lagi menjadi pedoman hidup secara nyata. Termasuk ibadah haji, dahsyatnya serangan sekularisme-kapitalisme pada dunia Islam menjadikan haji hanya sekadar gelaran ibadah ritul-spiritual tanpa makna ideologis-politis secuil pun. Ibadah haji ditunaikan demi gugurnya suatu kewajiban, tak sedikit yang menganggapnya sebagai wisata religi semata. Walhasil, pelaksanaan ibadah haji tak memberikan impact apa pun, baik dalam kehidupan pribadi, masyarakat,  dan bernegara. Paling banter munculnya sebutan “haji” yang tersemat dalam namanya.

Betul, ibadah haji merupakan ibadah mahdhah bernuansa spiritual. Namun, lebih dari itu ada makna-makna hakiki dan krusial yang harus dipahami umat Islam. Apa saja itu? Berikut ulasannya:

  • Persatuan Umat

Barat telah menjagal wilayah Khilafah menjadi beberapa negara (nation state), persatuan umat muslim yang dahulu terjalin kini dikuburkan dan dikaburkan dalam guratan sejarah. Namun, sesumbar keinginan Barat untuk melenyapkan jejak persatuan Islam, ibadah haji menjadi satu-satunya ibadah yang “mustahil” dicerabut dari umat Islam, sebab dia merupakan rukun Islam kelima. Tak berhasil mengenyahkan, maka cara lainnya adalah memandulkan. Secara zahir, ibadah haji merupakan sinyal kuat akan persatuan Islam. Lihatlah bagaimana pengorbanan umat muslim sedunia dengan batasan negara, bangsa, ras, warna kulit, bahasa, dll. dipersatukan dalam ikatan akidah Islam di tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun sayang, ukhuah yang terjalin hanya pada saat mereka bersua di sana, setelah kembali ke tanah air, rasa itu redup seketika ditelan bara nasionalisme.

Sejatinya semangat persatuan di tanah suci itu diresonansikan pada keinginan untuk tetap bersatu dalam kondisi apa pun dan di mana pun agar umat Islam menjadi kuat, berdikari, dan tidak mudah dijajah. Ikatan akidah ini akan kokoh jika ditautkan oleh sebuah institusi negara yakni Khilafah yang menerapkan syariat Islam kaffah. Dengan begini, umat Islam akan memiliki powerfull dalam melindungi dirinya dari serangan musuh. Negeri-negeri muslim yang tertindas dan teraniaya seperti Palestina, Suriah, Irak, muslim Rohingya di Myanmar, muslim Uighyur di Cina, dll. tidak akan merasakan penderitaan sendiri, Khilafah akan mengerahkan pasukan militer untuk membebaskan mereka dari penganiayaan musuh-musuh Islam.

  • Dakwah dan Tarbiah

Esensi haji adalah  dakwah dan tarbiah. Sebelum Daulah Islam tegak, Rasulullah saw. menyeru kabilah-kabilah Arab yang datang ke Makkah di musim haji untuk meraih nushroh (pertolongan). Di antara seruannya: “Adakah di antara kalian, yang membawaku kepada kaumnya, sungguh orang-orang Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalamullah.” (HR. Ahmad dari Jabir Ibnu Abdillah)

Pasca berdirinya Daulah Islam, galeri khotbah dan gerakan amar makruf nahi mungkar disemarakkan dalam ritual ibadah haji, tak segan Rasulullah saw. menegur siapa pun yang melakukan penyimpangan dalam manasik. Begitu pula dengan tradisi thalabul ilmi dan meminta fatwa pada para ulama dengan bimbingan khalifah, turut digemakan dalam musim haji.

  • Petuah Politik Pemimpin

Pada saat Haji Wada’, Rasulullah saw. dengan kapasitasnya sebagai kepala negara, memanfaatkan momentum ibadah haji untuk menuangkan petuah politik kepada warga Daulah Islam yang ada di tanah suci. Begitu pula dengan para khalifah sepeninggal beliau, menjadikan ibadah haji untuk menyampaikan wejangan, kebijakan, ajakan untuk lebih menguatkan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, pun peringatan agar segera meninggalkan dosa dan kemaksiatan. 

Namun sayang, kini tak ada lagi pemimpin umat Islam yang menyampaikan pesan-pesan menggugah seperti dahulu, sebab Khilafahnya pun telah runtuh dan belum ada yang berhasil menegakkannya kembali. Ibadah haji kini telah kehilangan ruh politik Islam.

  • Penilaian Kinerja dan Penampungan Suara Umat

Khalifah pertama yang menginisiasi momen haji sebagai ruang untuk mengevaluasi kinerja dan menampung suara umat yakni Umar bin Khattab ra. Al-hukkam (penguasa) di bawah khalifah akan ditanya seputar kinerja dan program-programnya, masyarakat diberikan ruang untuk menyampaikan aduan dan masukan untuk penguasa mereka. Tradisi ini dilanjutkan secara turun-temurun oleh para khalifah sepeninggal Umar.

Kini aktivitas itu tak lagi dilakukan, sebab setiap negeri muslim kini bersikap nafsi-nafsi, sibuk “mengurusi” negeri masing-masing, tanpa peduli pada yang lain. Dalam benak mereka, mengurusi satu negeri saja sudah sangat merepotkan, apalagi menyatukan negeri-negeri muslim lain dalam satu naungan institusi negara.

  • Motor Perjuangan

Pada abad ke-19 dan 20, jemaah haji yang bertolak balik ke tanah air memancarkan gelora perjuangan yang sangat luar biasa, bahkan berani memimpin jihad melawan kafir penjajah di bumi nusantara ini. Api politis-ideologis yang terus berkobar inilah yang memicu ketakutan pada Belanda, sehingga mereka melancarkan fitnah keji bahwa muslim yang pulang dari berhaji itu adalah orang fanatik dan pemberontak. Gelar “haji” itu sengaja disematkan untuk menandai dan memasang kewaspadaan terhadap orang yang bersangkutan.

Berbagai perlawanan pribumi pada kompeni ternyata digerakkan oleh para haji. Sebut saja Perang Paderi pada 1833, perlawanan Banten pada 1888 dimotori oleh Haji Wasid, Haji Akib, Haji Abdul Karim, dan Ki Tubagus Ismail, dll.

Namun sayangnya, kini saat dunia Islam dijajah melalui metode neoimperialisme yakni jeratan soft namun mematikan pada berbagai lini kehidupan (politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dll.) para haji hanya bisa diam membisu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebab mereka pun tak paham dengan apa yang sedang terjadi pada kehidupan mereka yang sudah diselimuti kepalsuan.

Khatimah 

Meroketnya biaya haji bukanlah satu-satunya persoalan yang merundung urusan haji di bumi nusantara ini. Kapitalisasi pelayanan haji dan pemudaran makna hakiki ibadah haji sengaja dirancang Barat untuk memandulkan kesempurnaan rukun Islam ini. Sejatinya ibadah haji ini menjadi jembatan perjuangan untuk merealisasikan persatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah Islamiah jika umat telah menyadarinya.

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [] 

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Pengamanan Sistemis untuk Mineral Kritis 
Next
Keffiyeh Dilarang, Bukti Nasionalisme Makin Mencengkeram
5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

11 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dtah Rini
Dtah Rini
10 months ago

MasyaAllah tulisan Mbak Nur Jamilah benar- benar komprehensif. Ingin selalu aku contoh. Tapi belum bisa- bisa he.he.. Mengenai biaya haji yang makin melangit, ada beberapa temuan fakta orang yang akhirnya berangkat mandiri denagn naik sepeda, motor, bahkan jalan kaki selama berbulan - bulan. Memang lebih murah sih biayanya. Tapi miris juga mendengar beritanya...

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
10 months ago

Artikel paket lengkap, Baraakallah Mbak.

Kapitalis oh kapitalis, sungguh harus diberantas.

Haji menjadi momok di daerah saya karena biaya yang mahal. Sungguh miris, untuk menunaikan rukun Islam ke lima malah dipersulit.

Akan tetapi, tidak ada yang tak mungkin bagi Allah ketika sudah berkehendak. Ketika sebuah nama tertulis sampai ke Baitullah untuk beribadah, pasti Allah bukakan jalan baginya meski tak mudah.

Bedoon Essem
Bedoon Essem
10 months ago

Walaupun masalah ibadah kalau itu dapat memberikan keuntungan bagi kapitalis ya pasti diembat..begitulah sistem kapitalisme..

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
10 months ago

Pelaksanaan berbagai aturan syariat memang tidak dapat diselenggarakan secara sempurna tanpa sistem Islam.

Wd Mila
Wd Mila
10 months ago

Miris yaa...Sampai dana Haji pun dikapitalisasi sedemikian rupa.

Namun anehnya, Masih ada juga umat Islam yang mau mempertahankan sistem bobrok ini...

Jazakillah khoir Teh Emi, naskahnya sangat2 mencerahkan, kita jadi paham betapa kapitalisme menjadi akar masalah umat hr ini..

Sartinah
Sartinah
10 months ago

Betul, layanan haji sekarang benar-benar jadi ajang bisnis yang menggiurkan. Miris sih, tapi begitulah adanya saat ini. Kasihan kalau melihat antrean yang terlalu panjang. Orang mendaftar saat masih muda, baru berangkat saat usianya sudah senja. Rindu rasanya dengan pelayanan haji dalam sistem Islam.

Keren teh Emy naskahnya

Dia dwi arista
Dia dwi arista
10 months ago

Always mencengangkan. Baarakallah

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
10 months ago

Masyaallah urusan rukun Islam kelima ini akan digunakan jika syariat Islam diterapkan dalam kehidupan negara. Sementara jika sistem kapitalisme yang mengatur kehidupan, ibadah Haji akan hilang urgensi dan arti hakikinya sebab haji hanya akan dipandang sebagai jalan industri.

Barokallah Mbak Emi, komplit.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram