Islam tidak menoleransi korupsi. Islam memiliki sistem sanksi yang tegas untuk pelaku korupsi.
Oleh. Qaulan Karima
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia mengalami perburukan dalam hal upaya pemberantasan korupsi. Dilansir dari situs Indonesia Corruption Watch (ICW), pada awal tahun 2023, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan drastis. Indonesia menduduki peringkat 110 dari 180 negara. ICW memaparkan bahwa penurunan skor IPK merupakan dampak dari tidak dijadikannya pemberantasan korupsi sebagai prioritas kerja oleh Presiden Indonesia pada masa jabatan yang kedua.
Komitmen antikorupsi yang rendah ini tak ayal membuat kasus korupsi pada tahun ini terus meningkat. Pada laman situs Katadata pada pertengahan Agustus 2023, dapat kita lihat bahwa hingga pertengahan tahun ini, tercatat KPK menerima laporan dugaan korupsi sebanyak 2.707 laporan. Sedangkan tersangka kasus korupsi yang sudah ditangkap berjumlah 107 orang. Ketua KPK mengatakan, selama 20 terakhir, kasus korupsi terbanyak dilakukan oleh anggota legislatif dan kepala daerah, baik pada level provinsi, kota, maupun kabupaten.
KPK terus berupaya agar kasus-kasus korupsi dapat diberantas. Salah satunya dengan melakukan penguatan pendidikan antikorupsi di tengah masyarakat. Ketua KPK mengatakan bahwa pendidikan antikorupsi merupakan salah satu upaya yang cukup efektif dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di Indonesia. Meskipun demikian, solusi ini merupakan solusi sementara. Pendidikan antikorupsi tidak akan terinternalisasi di tengah masyarakat selama sistem korup demokrasi sekuler masih bercokol di negara ini. Solusi mendasar sangat dibutuhkan untuk mencabut budaya korupsi yang sudah mengakar. Perubahan sistem demokrasi menjadi sistem Islam menjadi solusi mendasar tersebut.
Demokrasi Lemah Hadapi Korupsi
Demokrasi yang merupakan sistem dari, untuk, dan oleh rakyat, yang selama ini dianggap sebagai sistem terbaik, nyatanya tak berdaya menghadapi perilaku-perilaku korup. Bagaimana tidak, demokrasi memungkinkan manusia untuk membuat hukum dan aturan dalam berbagai aspek kehidupan. Padahal manusia memiliki banyak keterbatasan dalam memahami kehidupan, alam semesta, bahkan sering kali kebingungan dalam memahami dirinya sendiri. Dengan demikian, berbagai hukum dan aturan yang dibuat manusia tentu sangat rapuh, memiliki banyak celah untuk dilanggar, dan tidak memberikan efek jera bagi pelanggarnya.
Jika kita lihat pembahasan dalam buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah (2006), sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang tidak seimbang, termasuk dalam faktor eksternal penyebab terjadinya korupsi. Lemahnya sistem pemerintahan dan kepemimpinan, membuka peluang korupsi bagi pemegang amanah. Pada konteks sistem demokrasi yang rapuh, faktor pendorong korupsi yang muncul bervariasi bentuknya. Mulai dari tidak adanya akuntabilitas, mudahnya suap kepada lembaga penegak hukum, sanksi yang terlalu ringan hingga lemahnya pengawasan antarlembaga serta lemahnya pengawasan dari masyarakat terhadap lembaga negara atau instansi pemerintahan.
Hukum dan aturan buatan manusia dalam sistem demokrasi menjauhkan aspek agama dari urusan kehidupan manusia. Dengan demikian, hari ini kita tidak akan menemui hukum dan aturan yang merujuk pada aturan-aturan agama. Aturan agama lebih kukuh karena bersumber dari wahyu Sang Maha Pencipta manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dipisahkannya aspek agama atau spiritualitas dari kehidupan, makin mendorong manusia yang di dalam hatinya terdapat keserakahan, rasa iri, dan keputusasaan akan hidup, untuk melakukan perilaku-perilaku korup.
Sistem Islam Tegas Hadapi Korupsi
Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki seperangkat aturan lengkap untuk kehidupan manusia yang bersumber dari wahyu Allah melalui Al-Qur’an dan Sunah. Islam sangat menjaga agar manusia memiliki hubungan yang baik, tidak hanya terhadap Tuhannya, tetapi juga terhadap sesama manusia serta terhadap dirinya sendiri.
Korupsi merupakan perilaku yang dilarang dalam Islam karena merusak seluruh aspek kehidupan manusia, merugikan diri sendiri, orang lain, bahkan merugikan bangsa dan negara. Korupsi juga melanggar tiga prinsip dasar yang diterapkan Islam untuk menciptakan kehidupan dapat berjalan harmonis dan beradab. Tiga prinsip tersebut di antaranya amanah, keadilan, dan amar makruf nahi mungkar.
Islam tidak menoleransi korupsi. Sistem Islam memiliki sistem sanksi hukum yang tegas untuk pelaku korupsi. Mulai dari adanya hukuman untuk terpidana (takzir) yang diklasifikasikan sesuai dengan kadar akibat yang ditimbulkan (MTTPPM, 2006). Sanksi takzir yang dimaksud dimulai dari yang paling ringan seperti celaan, masuk daftar orang tercela, mejauhkan dari pergaulan sosial, memecat dari jabatannya, hukuman dera atau cambuk, denda, penjara, pengasingan, penyaliban, lalu yang paling berat adalah hukuman mati.
Selain hukuman takzir, Islam memberikan ancaman sanksi akhirat bagi pelaku korupsi, seperti yang disabdakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam,
“Demi yang menguasai jiwa Muhammad, tidaklah seorang di antara kalian ghulul (korupsi) kecuali dia pada hari kiamat akan memanggul sesuatu yang dikorupsi pada tengkuknya. Jika yang dia korupsi seekor unta, ia akan datang menghadap Allah dengan unta hasil korupsinya yang bersuara. Jika yang dikorupsi seekor sapi, maka ia akan datang dengan sapi korupsinya yang melenguh. Jika yang dikorupsi seekor kambing, maka ia akan datang dengan kambing hasil korupsinya.” (HR. Bukhari)
Sanksi lain yang diterapkan dalam sistem Islam yakni pengembalian harta korupsi.
Sistem sanksi yang tegas dalam Islam menutup ruang-ruang untuk korupsi. Pemimpin dalam negara dengan sistem Islam sedari awal dipilih berdasarkan standar Islam. Pemimpin yang dipilih harus berkepribadian islami, tidak hanya berpola pikir islami, tetapi juga bersikap islami. Kepribadian islami tersebut menjadikan seorang pemimpin negara dalam sistem Islam mendedikasikan dirinya untuk mengurusi rakyat dengan sepenuh jiwa, tidak mencampuradukkan dengan kepentingan pribadi.
Diceritakan dalam buku Sosiologi Korupsi (Alatas, 1975), pada masa kejayaan Islam pernah terjadi penentangan besar-besaran terhadap korupsi. Penentangan itu ditunjukkan dengan boikot atas jabatan kadi (hakim). Banyak cendekiawan Islam pada masa itu melarikan diri dari Mesopotamia menuju Syria menuju Arab Saudi untuk menghindarkan diri dari pengangkatan sebagai hakim. Seorang Hakim Ketua Maliki Baghdad sampai mengajukan syarat pengangkatannya sebagai hakim di tahun 915. Syarat yang ia ajukan di antaranya, pertama, ia tidak bersedia didekati untuk keperluan seseorang. Kedua, ia tidak bersedia untuk meluluskan perintah ilegal. Ketiga, ia tidak bersedia menerima gaji.
Selain itu, pada tahun 945, terjadi perampokan di rumah Kadi Baghdad. Hidupnya yang sederhana hingga membuat perampok tidak dapat menemukan harta benda yang berharga di rumahnya. Kadi Baghdad lainnya bahkan menggunakan serban dan jas secara bergantian dengan saudaranya sehingga bepergian pun harus bergantian. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan para kadi saleh tersebut terbentuk dalam negara dengan sistem Islam. Sistem sahih menumbuhkan kesadaran bahwa tugas sebagai hakim merupakan pelayanan dan tugas suci terhadap masyarakat dan Tuhannya, Allah azza wa jalla.
Khatimah
Korupsi akan makin merajalela di dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi yang batil. Tidak ada hukum yang dapat menandingi kekuatan hukum yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla. Islam dengan seperangkat aturannya dapat membentuk kepribadian islami yang antikorupsi secara hakiki. Kesempurnaan sistem Islam baru dapat diterapkan secara total di bawah negara dalam naungan Khilafah. Tugas kita untuk memperjuangkannya.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Islam tidak menoleransi korupsi karena Islam memiliki sistem sanksi hukum yang tegas untuk pelaku korupsi.
Korupsi itu sudah menjadi budaya dalam sistem demokrasi kapitalisme. Dan sifatnya memang sudah sistemis. Jadi, kalau demokrasi masih dipuja dan dipakai, maka korupsi juga terus menyertai.
Ya. Ketika seseorang korupsi, dia sedang melanggar tiga prinsip yaitu amanah, keadilan, dan amar makruf nahi mungkar.
Benar, korupsi masih terus terjadi di Indonesia karena tidak ada hukuman yang tegas dan memberikan efek jera.
Seolah-olah, "Korupsi sebanyak-banyaknya biar kaya, palingan hanya dihukum sebentar. Atau bisa lolos hukum karena aku punya banyak uang."
Ketika hukum Islam diterapkan untuk menangani kasus korupsi, efek jera itu pasti.
Sistem demokrasi yang mahal adalah lahan subur bagi benih-benih kecurangan, salah satunya korupsi. Sudah saatnya ganti sistem nih dengan Khilafah yang menerapkan sistem Islam yang sempurna.