Masalah ini berakar dari kesalahan pada mekanisme pengurusan APBN di mana negara hanya mengandalkan gemuknya APBN dari pajak dan utang.
Oleh. Ananda, S.T.P
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap tahun pemerintah mengeluarkan anggaran untuk pemberian bansos bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun, ada yang berbeda dengan tahun ini di mana terdapat pemangkasan jumlah masyarakat yang terdaftar dalam penerima bansos. Dilansir dari ekonomi.bisnis.com (29/10/2023) Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama Ombudsman RI, Perum Bulog, ID Food, Satgas Pangan Polri, dan 7 Dinas Provinsi telah melakukan evaluasi penyaluran bantuan pangan atau bansos beras.
Pemangkasan Bansos
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rachmi Widiriani, mengatakan bahwa dari hasil evaluasi tersebut terdapat tiga aspek yang perlu untuk dilakukan perbaikan dan penguatan yaitu pada pemutakhiran data penerima bansos, kualitas bansos, dan mekanisme penggantian. Setelah dilakukan pemutakhiran, data jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) mengalami pengurangan yang pada awalnya sebesar 21,35 juta menjadi 20,66 juta. Rachmi menjelaskan pengurangan data penerima itu berdasarkan hasil validasi dari Kementerian Sosial yang mencatat adanya perubahan data karena yang pihak penerima bansos meninggal dunia, pindah lokasi, dan dianggap telah mampu.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani, menyebut bahwa Presiden Jokowi akan melakukan perpanjangan bansos beras hingga pada bulan Desember 2023 dengan tambahan anggaran sebesar Rp2,67 triliun. Ia mengatakan perpanjangan bansos dilakukan demi menjaga kesejahteraan masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah, di tengah ancaman El Nino. Selain itu, Jokowi juga menjanjikan bansos beras 10 kg per bulan akan diperpanjang pada Januari 2024-Maret 2024. Dengan catatan, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih mencukupi (CNNIndonesia, 30/10/2023).
Ekonomi Stabil, Bagaikan Mimpi di Siang Bolong
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa keadaan ekonomi masyarakat dunia saat ini sedang tidak sehat, yang mana kondisi ini juga ikut memengaruhi perekonomian Indonesia. Ekonomi yang tidak stabil berdampak pada tingkat permintaan suatu barang, akibatnya banyak industri yang pelan-pelan mengurangi jumlah produksi mereka. Bahkan, jika “mentok” tidak mampu bertahan mereka akan gulung tikar. Hal ini tentunya berdampak kepada para pekerja yang harus di-PHK yang kemudian akan memengaruhi ekonomi keluarga. Pemasukan mulai “seret” kepala tambah “mumet”. Di sisi lain, harga bahan pangan yang tidak stabil, pembayaran tagihan kebutuhan rumah tangga seperti air, listrik, pembayaran BPJS, pembayaran sekolah anak, dan lainnya tentunya akan membuat ekonomi masyarakat semakin sulit. Dengan kondisi seperti ini, apakah pantas jika terdapat klaim jumlah penerima bansos mengalami penurunan?
Mengenai penerima yang meninggal, kita tidak dapat mengungkirinya karena setiap yang hidup akan menemui ajalnya. Namun, seharusnya bantuan tersebut dapat dialihkan kepada masyarakat lain yang membutuhkan, mengingat masih banyak keluarga yang masih belum terjamah bansos. Bagi masyarakat yang pindah lokasi juga perlu dipikirkan kembali karena mereka pastinya mayoritas hanya pindah antar kota atau antar provinsi di mana jangkauannya masih dalam negeri yang mana sudah semestinya bantuan yang menjadi hak mereka tetap tersalurkan. Kemudian, bagi masyarakat yang dinilai mampu, tentunya masih menjadi tanda tanya besar, apa yang dijadikan sebagai standar masyarakat mampu? Jika mampu dilihat dari penghasilan Rp500 ribu per bulan tentunya ini menjadi “dagelan” karena di situasi saat ini tentunya tidak cukup hanya mengandalkan uang Rp500 ribu per bulan, mengingat kebutuhan pangan dan lainnya yang cenderung mengalami peningkatan setiap bulannya.
Si Paling Playing Victim
Pernyataan “bansos dapat dilanjutkan sampai 2024, asalkan APBN cukup” perlu untuk menjadi poin yang harus digaris bawahi. Penguasa negeri ini tampaknya tidak cukup mampu untuk memperkirakan apakah kas negara cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Masalah ini berakar dari kesalahan pada mekanisme pengurusan APBN di mana negara hanya mengandalkan gemuknya APBN dari pajak dan utang.
Meskipun terdapat sumber pemasukan lain seperti pengelolaan SDA, hasilnya tidak bisa diandalkan juga. Hal ini dikarenakan SDA yang melimpah ruah dalam negeri ini dalam pengurusan dan pengelolaannya diserahkan pada pihak asing dan aseng. Kenyataan ini juga diperparah dengan adanya UU yang dibuat penguasa akhir-akhir ini, yang justru semakin memihak pihak swasta dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Negara juga bertumpu pada pajak yang dibayarkan rakyat, yang juga mengharuskan membayar bunga utang setiap tahunnya dalam jumlah besar. Belum lagi PR proyek lain seperti pembangunan IKN, pembangunan kereta cepat, dan yang lainnya tentunya akan membuat APBN babak belur. Melalui hal ini kita dapat mengetahui penguasa negeri ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Lebih parahnya, penguasa justru mendorong masyarakat yang mampu untuk saling membantu dengan masyarakat yang miskin, padahal seharusnya yang memiliki tugas untuk menjamin kebutuhan rakyat adalah penguasa. Ekonomi yang tidak stabil tentunya akan memengaruhi pasokan bantuan karena tidak semua orang bisa terus membantu yang lainnya. Ini dapat terjadi karena masalah utama dalam kemiskinan masih belum terselesaikan sehingga kesulitan masyarakat tetap menjadi benang ruwet yang belum bisa diuraikan.
Siapa Trouble Maker dalam Masalah Ini?
Masalah negeri ini yang kompleks tak terkecuali kemiskinan sebenarnya bersumber dari trouble maker yang sama yaitu kapitalisme. Sistem yang hanya bertumpu pada pajak dan utang berbunga membuat negara “kalang kabut” membayarnya. Akhirnya utang membengkak, urusan rakyat pun menjadi mangkrak. Kapitalisme juga tidak membatasi dalam hal kepemilikan, apa-apa yang menghasilkan cuan akan segera diwujudkan. SDA yang begitu kaya diprivatisasi oleh segelintir orang dan negara hanya mampu menikmati setetes hasilnya. Sisanya dijual kepada swasta demi memenuhi kantong pribadi. Itu artinya, negara ikut menyokong ruwetnya masalah ini. Negara dapat dengan mudah mengatur pengelolaan SDA ke tangan swasta karena pemegang kekuasaannya telah berjabat tangan dengan para kapitalis oligarki. Asas sekularisme dalam kapitalisme membuat negara enggan menggunakan agama sebagai tumpuan dalam pengaturan hidup. Hasilnya, negara dijalankan dengan penuh kepentingan para kapitalis tanpa memikirkan bagaimana nasib rakyat.
Melalui hal ini kita dapat mengetahui bahwa membiarkan kehidupan berada dalam sistem kapitalisme akan membuat rakyat mengalami penderitaan yang tak kunjung usai. Sehingga dibutuhkan solusi yang sempurna dan paripurna dalam menyelesaikannya. Solusi itu hanya ada pada Islam, karena Islam mengatur seluruh urusan manusia dari bangun tidur hingga bangun negara. Dalam bentuk bernegara, dalam Islam dikenal dengan Khilafah. Negara khilafah menjadikan Islam sebagai landasan dalam melakukan pengaturan negara.
Islam Siap Berikan Solusi Problematika Kehidupan Manusia
Islam mewajibkan seorang pemimpin negara khilafah yaitu khalifah menjadi pengurus dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti sabda Rasulullah saw. “Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Ahmad, Bukhari).
Khalifah akan memastikan dengan sungguh-sungguh bagaimana kebutuhan setiap rakyatnya dapat terpenuhi. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dalam masa kepemimpinannya. Umar RA selalu berkeliling untuk memastikan rakyatnya tidak ada yang mengalami kelaparan. Ketika Umar RA menemukan ada rakyatnya yang mengalami kelaparan, beliau tidak segan-segan untuk membantu dengan menggendong sendiri bahan makanan dan memberikannya kepada rakyatnya.
Khalifah dalam Islam tidak akan menganggap rakyat sebagai suatu beban. Ia akan berusaha mengemban amanah dengan semaksimal mungkin dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Bagi rakyat yang termasuk dalam kelompok yang penerima zakat, mereka akan mendapatkan haknya dari pos zakat. Dalam hal pemasukan negara, khilafah akan mendapatkan sokongan pemasukan dari beberapa pos, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan hasil pengelolaan SDA.
Semua itu akan digunakan, dikelola, dan dikembalikan pada rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan fasilitas yang sangat memadai bagi rakyat. Dengan pengaturan yang sedemikian rupa, rakyat tentunya tidak perlu “mumet” dalam memikirkan kebutuhan hidup karena negara mampu memberikan jaminan yang seutuhnya bagi mereka. Masyaallah, begitulah potret luar biasanya Islam dalam mengatur dan menjamin kebutuhan rakyatnya. Dengan penerapan aturan Islam, pemimpin tidak akan dilema dalam mengurusi masalah bansos. Aturan Islam dapat mengatur semua hal yang ada dalam kehidupan manusia secara sempurna. Dengan adanya pengaturan Islam yang paripurna dan sempurna, masihkah kita dapat berharap pada aturan yang dibuat oleh manusia?
Wallahu A’alam Bi Shawwab []
Sejatinya semua kebijakan yang diambil di bawah prinsip kapitalisme, pasti tidak akan menjadi solusi tuntas. Rakyat miskin akan terus membeludak, karena sejatinya kesejahteraan di sistem ini hanya sebatas angan.
Benar semakin hari kapitalisme tambah bikin mumet. Waktunya ganti sistem yuk ah dengan Islam, pasti menyejahterakan