Perpanjangan kontrak tambang Freeport yang terus berulang, mengisyaratkan lekatnya aroma penjajahan ekonomi dan politik oleh negara kapitalis.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Emas, perak, dan tembaga terus dikeruk dari perut bumi Papua. Terang saja, harta milik rakyat yang dikelola PT Freeport itu semakin menambah tebal kantong-kantong para kapitalis. Apalagi setelah Presiden Joko Widodo memberikan lampu hijau untuk memperpanjang kontrak Freeport selama 20 tahun ke depan. Padahal, kontrak yang lama saja baru akan habis pada 2041 mendatang. Walhasil, harapan memiliki dan mengelola sendiri tambang Freeport tampaknya masih sebatas mimpi.
Kepastian perpanjangan kontrak tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat kunjungannya ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan Chairman Freeport-McMoran, Richard Adkerson, pada 13 November lalu. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak membahas mengenai penambahan saham Freeport Indonesia hingga perpanjangan izin tambang.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/05/2023/perpanjangan-kontrak-freeport-dan-timpangnya-kesejahteraan-warga-papua/
Terkait perpanjangan kontrak tersebut, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyebut bahwa untuk mendapatkan izin perpanjangan operasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka PTFI harus memenuhi dua syarat dari pemerintah. Pertama, PTFI harus menyerahkan 10 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Kedua, PTFI harus membangun fasilitas pemurnian dan pemrosesan mineral mentah (smelter) di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh VP Corporate Communication PTFI, Katri Krisnawati. (CNBCIndonesia.com, 17/11/2023)
Dengan dilakukannya perpanjangan kontrak, akankah negeri ini ketiban untung besar? Atau justru kerugian tetap diterima negeri ini meski memiliki saham mayoritas? Lantas, bagaimana pengelolaan SDA yang benar dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat?
Terburu-buru
PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan pertambangan mineral yang berafiliasi dengan perusahaan pertambangan dan eksplorasi asal Amerika Serikat, Freeport-McMoran, serta Mining Industry Indonesia (MIN ID). PTFI juga menjadi salah satu produsen emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia.
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa kontrak Freeport di Indonesia baru akan berakhir tahun 2041 mendatang. Meski masih sekitar 18 tahun lagi sebelum kontrak berakhir, pemerintah sudah memberi izin untuk menambah kontrak baru selama 20 tahun lagi. Artinya, setelah tahun 2041, Freeport masih melanjutkan eksplorasi tambang emas dan tembaga di Papua selama 20 tahun lagi. Kontrak Freeport baru akan berakhir pada tahun 2061 mendatang. Itu pun jika pemerintah tak memperpanjangnya lagi di tahun-tahun mendatang.
Baca juga:https://narasipost.com/opini/05/2023/kontrak-freeport-diperpanjang-bumi-pertiwi-meradang/
Keputusan pemerintah untuk memperpanjang kontrak PTFI menuai kritik di tengah masyarakat. Sebagian pihak menyebut bahwa keputusan memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dinilai terburu-buru dan gegabah. Salah satu yang ikut mengkritik adalah Abra Talattov, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Abra menyebut, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap beberapa komitmen dan target-target PTFI sebelum memberikan izin perpanjangan kontrak. (Kontan.co.id, 19/11/2023)
Menurutnya, beberapa evaluasi yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah: Pertama, tentang pembangunan smelter di Gresik yang ditarget selesai pada tahun ini, tetapi kemudian molor hingga tahun depan. Padahal, pemerintah sudah memberikan kelonggaran untuk membangun proyek ini. Tak hanya itu, sebelumnya pemerintah pun sudah memberikan relaksasi ekspor konsentrat pada Juni 2023 bagi PTFI.
Kedua, komitmen PTFI untuk memberi jatah saham 10 persen kepada pemerintah daerah. Pemerintah seharusnya memastikan apakah pembagian saham yang menjadi milik pemda tersebut dapat terlaksana atau tidak. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan apakah perpanjangan kontrak tersebut dapat berdampak pada pemerataan kesejahteraan masyarakat sekitar atau tidak.
Ketiga, komitmen terkait pemberian deviden (bagi hasil) dari PTFI. Dalam perhitungan pemerintah dan MIN ID, dividen dari PTFI dapat mencapai sekitar US$1 miliar per tahunnya. Sayangnya, realisasi yang terjadi justru masih di bawah target yang ditetapkan. Dari sini saja dapat dilihat bahwa PTFI tidak melaksanakan komitmen yang sudah disepakati dengan sungguh-sungguh. Jika komitmen dalam kontrak yang lalu saja belum selesai, mengapa pemerintah sudah memperpanjang IUPK untuk Freeport?
Menambah Saham, Negara Untung?
Beberapa alasan pemerintah membuka perpanjangan kontrak PTFI hingga 2041 mendatang adalah penilaiannya atas kinerja positif PTFI. Berikutnya, tentang besaran deviden yang disetorkan PTFI kepada pemerintah, yakni sekitar US$1 miliar lebih. Menurut hitung-hitungan Menteri Investasi atau Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, saham pemerintah yang saat ini sebesar 51 persen, jika valuasinya diperkirakan sebesar US$20 miliar, maka pemerintah untung sekitar US$10 miliar lebih. Kemudian jika jumlah tersebut dikalikan kurs Rp15.000, maka total keuntungannya adalah Rp150 triliun. Menurut Bahlil, jumlah sebesar itu sangat sayang jika dimatikan. (Bisnis.com, 08/6/2023)
Pertimbangan lainnya adalah besarnya sumber daya mineral yang bisa dikembangkan setelah tahun 2041. Tentu saja hal ini berkaitan dengan potensi investasi asing dalam jangka panjang di negeri ini. Selain itu, perpanjangan kontrak akan ikut meningkatkan penerimaan negara dari sektor energi dalam jangka panjang.
Inilah kiranya beberapa pertimbangan pemerintah sehingga membuka pilihan perpanjangan IUPK untuk PTFI. Sayangnya, semua kebijakan tersebut terkesan hanya memburu cuan yang sedikit tetapi mengabaikan nilai yang lebih besar.
Padahal, jika mau berpikir lebih mendalam, pemerintah akan lebih banyak mendapatkan untung jika kepemilikan saham Freeport dikuasai penuh oleh negara ketimbang membuka opsi perpanjangan kontrak. Misalnya saja jika mengacu pada pendapatan Freeport tahun 2022, yakni sebesar US$22,78 miliar. Dari total tersebut, sebesar 37 persennya atau sekitar US$8,43 miliar (Rp126,39 triliun) berasal dari operasi tambang di Indonesia.
Jika pemerintah menguasai seluruh saham PTFI (100 persen) tanpa membuka opsi perpanjangan kontrak, maka hasil operasional di Indonesia yang US$8,43 miliar tersebut bisa langsung masuk kas negara seluruhnya. Belum lagi, jika jumlah pendapatan yang US$8,43 miliar tersebut dikalikan dengan 20 tahun, maka potensi total pendapatannya yakni sebesar US$168,6 miliar akan masuk ke kas negara. Hitung-hitungan ini masih sebatas teoretis dan belum memperhitungkan berbagai faktor, seperti biaya operasional, biaya pemeliharaan dan pengembangan tambang, serta pertimbangan dampak sosial dan lingkungan. (Strateginews.id, 17/11/2023)
Bandingkan dengan pendapatan pemerintah jika hanya menambah 61 persen sahamnya hingga tahun 2061. Dengan kepemilikan saham 61 persen, pemerintah memang akan mendapatkan bagian yang lebih besar dari pendapatan Freeport, tetapi tidak seluruhnya. Dari total US$8,43 miliar tersebut, pemerintah hanya akan mendapatkan US$5,14 miliar per tahunnya. Dalam jangka 20 tahun jumlahnya hanya US$102,8 miliar. Jumlah tersebut tentu jauh lebih sedikit ketimbang penguasaan saham secara penuh oleh pemerintah.
Selain itu, kepemilikan saham 61 persen tersebut tetap tidak menguntungkan keuangan negara. Pasalnya, meski pemerintah menguasai saham lebih besar (61 persen), tetapi tidak secara otomatis menjadi pengelola operasional tambang Freeport. Buktinya saja, berdasarkan perjanjian perpanjangan IUPK pada 2018 hingga 2041, tetap saja Freeport yang mengendalikan manajemen operasi penambangannya, padahal saham pemerintah bisa dibilang lebih besar.
Liberalisasi SDA
Perpanjangan kontrak IUPK jelas telah mengalirkan keuntungan berlipat-lipat bagi Amerika Serikat. Lobi-lobi AS dalam upaya memperpanjang kontrak yang selalu berhasil, jelas tak lepas dari posisi AS yang begitu kuat atas negeri ini. Sedangkan bagi rezim sendiri, perpanjangan IUPK dinilai oleh para pengamat sarat bermuatan politis. Apalagi izin tersebut dilakukan di tahun-tahun politik menjelang pemilu.
Jika Freeport mendulang untung bertubi-tubi, hal bertolak belakang justru dialami rakyat Indonesia khususnya Papua. Meski memiliki emas dan tembaga dalam jumlah besar di perut buminya, tetapi kemiskinan tetap lekat pada masyarakat Papua. Jika pemerintah benar-benar peduli akan kesejahteraan rakyat, sudah seharusnya tambang emas tersebut diambil alih dan dikelola sepenuhnya oleh negara.
Dengan kepemilikan dan pengelolaan penuh oleh negara, maka Indonesia dapat mengelola seluruh cadangan SDA tersebut demi kepentingan rakyat dan negara. Selain itu, mengambil alih secara penuh dapat memaksimalkan pendapatan negara dan hasilnya akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat.
Sayangnya, liberalisasi telah membuat siapa saja yang memiliki modal dapat menguasai SDA negeri ini. Negara pun dibuat tak bertaji karena hanya diposisikan sebagai regulator. Perpanjangan kontrak tambang Freeport yang terus berulang, mengisyaratkan lekatnya aroma penjajahan ekonomi dan politik oleh negara kapitalis. Inilah petaka pengelolaan negara dan SDA yang didasarkan pada prinsip kapitalisme.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Islam adalah cahaya yang menjadi penerang atas gulitanya kapitalisme. Islam hadir tidak hanya mengatur urusan ibadah semata, tetapi merupakan sistem kehidupan paripurna yang menyelesaikan semua problematika kehidupan, termasuk mengatur pengelolaan SDA. Saking sempurnanya sistem Islam dalam mengatur kehidupan, sampai-sampai sejarah telah mencatat era keemasannya selama berabad-abad.
Dalam Islam, kekayaan alam merupakan bagian dari kepemilikan umum. Karena itu, Islam memiliki pengaturan yang jelas dan benar terkait sumber daya alam milik umum tersebut. Kepemilikan umum harus dikelola oleh negara sepenuhnya dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Dengan prinsip tersebut, maka Islam jelas melarang pengelolaan harta milik umum oleh individu, swasta, dan asing.
Dasar dari pengelolaan harta milik umum dalam Islam adalah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Artinya: "Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api."
Kategori kepemilikan umum sendiri masih terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, sarana umum. Yakni segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seluruh rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti air. Kedua, harta yang asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Contonya, jalan umum yang dibuat untuk semua orang. Karena itu, siapa saja bebas melewatinya dan tidak boleh ada seorang pun yang berhak memilikinya secara pribadi.
Ketiga, barang tambang atau sumber daya alam yang jumlahnya melimpah (tidak terbatas). Yakni, semua tambang, baik garam maupun batu bara, emas, besi, perak, timah, tembaga, gas, minyak bumi, dan lainnya. Semua tambang yang melimpah tersebut terkategori sebagai milik umum dan hasil dari pengelolaannya adalah milik bersama. Negara boleh mengelolanya sendiri atau menggaji tim ahli untuk mengelola SDA tersebut. Karena itu, semua tambang tersebut haram diswastanisasi.
Demikianlah seharusnya pengelolaan tambang yang melimpah di negeri ini. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang berlandaskan syariat Islam, maka tambang-tambang yang melimpah jumlahnya benar-benar akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat.
Di sisi lain, Islam mewajibkan keterikatan terhadap seluruh syariat, termasuk dalam pengelolaan tambang. Terkait divestasi saham dalam konteks tambang Freeport misalnya, maka Islam mengharamkannya. Divestasi saham sendiri adalah upaya mengurangi kepemilikan saham sebuah perusahaan dengan jalan menjualnya kepada pihak lain sebagaimana yang dilakukan oleh Freeport pada pemerintah.
Meski pemerintah memiliki 51 persen saham Freeport, tetapi hukumnya tetap diharamkan. Alasannya, tambang yang selama ini dikelola oleh PTFI adalah harta milik umum yang sudah seharusnya dimiliki dan dikelola oleh negara sepenuhnya. Kemudian hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Khatimah
Pengelolaan SDA secara legal oleh asing merupakan regulasi pemerintah yang lahir dan dibesarkan oleh sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme pula yang menjadikan roh liberalisasi dalam pengelolaan SDA begitu kental. Padahal, pengelolaan SDA oleh asing menjadi bukti semakin kuatnya penjajahan dalam bidang ekonomi dan menyuburkan penderitaan rakyat.
Sudah saatnya kapitalisme yang usang dicampakkan sejauh mungkin dan menjadikannya sebagai sampah peradaban. Lalu menggantinya dengan sistem sahih yang terbukti membawa kemaslahatan bagi semua manusia, yakni sistem Islam dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Ya Allah, saat masyarakat gencar2nya boikot produk Israel dan yang berafiliasi dengan Israel, negara justru perpanjang kontrak PT Freeport yang akan menopang perekonomian AS.
Miris ya nasib negeri ini
Seolah tak pernah kenyang ya perut para kapitalis. Dan mengapa pemerintah tak mengb pelajaran tentang kecurangan PT Freeport? Masih lama berakhir sudah kepanasan pingin perpanjang kontrak?
Mana sih hasil kontrak tersebut yang untuk rakyat?
Soo penting back to Islam kaffah
Keren Mba Sartinah naskahnya semoga banyak pembaca yang tercerahkan serta para pejabat diberikan kesempatan untuk mampir membacanya. Semoga semua jadi memahaminya
Aamiin, syukran bu Dewi