"Proyek pembangunan dalam Islam selalu berdasarkan kebutuhan rakyat dan kebermanfaatan untuk umat, bukan demi investor apalagi demi ambisi kekuasaan. Negara wajib menyediakan fasilitas umum bagi seluruh rakyat secara gratis. Adapun pembiayaan pendanaan dari pembangunan infrastruktur berasal dari sumber kepemilikan negara. Alhasil, harus dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun asing."
Oleh. Firda Faradilah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Megaproyek pemerintah yang kian menjadi sorotan bukan hal yang baru lagi. Sebab, hampir seluruh proyek yang direncanakan pemerintah, mulai dari tahap perencanaan hingga ke tahap operasional penuh dengan permasalahan. Pemerintah begitu getol dan ambisius melakukan promosi proyek pada investor-investor, meskipun banyak permasalahan yang dihadapi dalam proyek yang sedang dibangun dan banyak pihak yang melabeli megaproyek ini dengan sebutan “proyek ambisius yang gagal”, hal tersebut tidak menyurutkan keinginan pemerintah untuk tetap melanjutkan megaproyek ini.
Sebut saja proyek Light Rail Transit (LRT) di Palembang, baru-baru ini mendapatkan kritikan dari beberapa pihak dan salah satunya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (RK) blak-blakan menyebut proyek tersebut salah perencanaan. Kang Emil sapaan akrabnya sempat mengkritik bahwa ada kegagalan dalam mengambil keputusan dalam pembangunan LRT Palembang, ia menyebut LRT Palembang sebagai proyek gagal yang menelan biaya besar hingga Rp9 triliun, tetapi kini sepi penumpang. RK berpendapat, kegagalan tersebut terjadi karena perencanaan proyek ini didasarkan pada hajatan besar Asian Games 2018 silam. Padahal menurut RK, LRT Palembang ini tidak dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Bahkan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Benny K. Harman, dia bertanya-tanya tentang efektivitas penggelontoran dana sebesar Rp9 triliun tersebut dan melalui akun Twitter-nya ia menyebut, “kalau proyek LTR ini tidak ada penumpang, untuk apa dibangun? Bukankah proyek dibangun untuk mengatasi masalah rakyat?”. Sumber Gelora Media (23/10/2022).
Selain proyek LRT di Palembang, proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) juga berkali-kali menuai persoalan. Tidak jauh berbeda dengan LRT di Palembang, nasib KCJB ini sama-sama dianggap sebagai proyek ambisius yang gagal. Salah satu permasalahan krusial yakni pembengkakan anggaran yang akhirnya memaksa pemerintah merogoh APBN untuk membayarnya. Padahal, proyek KCJB merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembiayaan proyek ini berasal dari investasi antara konsorsium Indonesia dan Cina melalui PT. Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), serta didanai oleh peminjaman dari Cina Development Bank (CDB). Tapi karena pembiayaan membengkak, yang mulanya memakan biaya USD6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun, tetapi dari perhitungan terakhir, biaya yang harus dikeluarkan sebanyak USD8 miliar atau sekitar Rp118,5 triliun dan naik sekitar USD1,9 miliar atau setara Rp27,09 triliun.
Bukan hanya kedua proyek ini saja yang dianggap gagal. Masih banyak lagi proyek lainnya yang menunjukan ambisius pemerintah tapi pada akhirnya bermasalah dan terkendala di tengah jalan, sebut saja proyek IKN, Hambalang, PLN Papua, Bandara Kertajati, LRT Jabodetabek, Smelter Freeport, Jalan Tol Cisumdawu dan masih banyak lagi. Semua proyek-proyek ini penuh dengan konflik, mulai dari problem pembebasan lahan, pembengkakan anggaran, korupsi, merusak lingkungan, dan lain-lain.
Kesalahan pembangunan infrastruktur ini adalah akibat penerapan pola pikir kapitalistik. Sebab, pelaksanaan pelayanan publik dalam kapitalis menerapkan prinsip bahwa negara sebagai regulator yang melayani para korporasi maupun para investor, bukan melayani rakyat. Sehingga tak heran apabila proyek infrastruktur selalu melibatkan pihak swasta dan efeknya infrastruktur tersebut menjadi ambisi dari para investor bukan berdasrkan kebutuhan rakyat. Apabila infrastruktur tersebut dibutuhkan rakyat, maka rakyat harus terlebih dahulu membayar mahal untuk bisa menikmati pelayanan infrastruktur tersebut. Sebab, tidak ada satu pun investor yang mau rugi dengan keterlibatannya dalam proyek-proyek infrastruktur, sementara negara tidak peduli apakah rakyat mampu untuk mengakses infrastruktur mahal tersebut atau tidak.
Sehingga ambisi pembangunan proyek LRT dan kereta cepat menambah deretan proyek yang tidak membawa manfaat optimal dan maksimal untuk rakyat. Selain dianggap gagal dalam pembangunannya, proyek ini dianggap gagal menyelesaikan persoalan rakyat. Hal ini karena pembangunan infrastruktur yang masif dan aliran dana yang besar namun hasilnya tak membuat rakyat makin mudah dan nyaman hidupnya. Padahal, di tengah kondisi rakyat yang tidak baik-baik saja, pembangunan infrastruktur semacam LRT bukanlah pilihan yang tepat. Sebab, penggunanya tidak mencakup semua kalangan masyarakat serta tidak dirasakan manfaatnya secara luas dari infrastruktur yang dibangun. Jika infrastruktur yang dibangun tidak mampu diakses dan tidak membawa manfaat bagi rakyat, lantas untuk siapa proyek pembangunan infrastruktur yang besar ini?
Sangat tampak proyek pembangun ambisius ini sebenarnya hanya sekadar untuk mengejar pencitraan dan menambah beban negara. Inilah realitas pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalisme yang hanya menyengsarakan kehidupan rakyat. Kebutuhan rakyat banyak terabaikan. Dibandingkan dengan pembangunan LRT, sebenarnya masih banyak bangunan yang sudah rusak dan butuh untuk dibangun ulang. Sebut saja sekolah, jalan besar yang berlubang, jembatan antardesa yang amblas, desa-desa yang belum teraliri listrik, dan masih banyak infrastruktur lainnya yang sangat dibutuhkan rakyat dan manfaatnya jauh lebih dirasakan masyarakat luas.
Berbeda sekali dengan pembangunan dalam Islam. Dalam Islam, proyek pembangunan selalu berdasarkan kebutuhan rakyat dan kebermanfaatan untuk umat, bukan demi investor apalagi demi ambisi kekuasaan. Infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh seluruh manusia, termasuk dalam sektor publik. Oleh karena itu, negara wajib menyediakan fasilitas ini bagi seluruh rakyat secara gratis tanpa pungutan biaya. Adapun pembiayaan pendanaan dari pembangunan infrastruktur ini semuanya berasal dari sumber kepemilikan negara. Semua pembangunan infrastruktur dan kepemilikan umum yang lainnya harus dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Sebab, hal tersebut dikhawatirkan bisa menyebabkan penguasaan pihak swasta terhadap sektor publik.
Karena pembangunan infrastruktur harus mengikuti kebutuhan rakyat, maka pembangunan yang akan didahulukan adalah infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan apabila menundanya akan menimbulkan bahaya bagi rakyat. Misalnya, satu kota tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, dan saluran air.
Sebagaimana hadis Nabi saw. yang berbunyi,
“Tiada lain bagi seorang hamba yang diamanatkan oleh Allah Swt. mengurusi rakyat yang pada suatu hari ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya atau tidak bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Dalam hal ini, negara wajib mendahulukan kebutuhan dan kepentingan rakyat, seperti membangun fasilitas umum yang penggunaanya benar-benar mendesak dan urgen, daripada membuat moda transportasi alternatif seperti kereta cepat, padahal sudah ada kereta api atau jalan tol. Hal ini karena, infrastruktur tersebut tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya. Sehingga proyek pembangunan LRT dan kereta cepat termasuk dalam pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak atau urgen. Apalagi jika pembiayaannya bersumber dari utang, maka negara tidak diperbolehkan untuk mengambilnya sebagai kebijakan. Utang berbasis riba, selain haram juga mengancam kedaulatan dan kemandirian negara. Wallahu a'lam bishawab.[]