Penjagaan Kehormatan melalui Kebijakan Setengah Hati

"Konsep yang lahir dari demokrasi ini nyata-nyata merusak manusia. Mereka tidak lagi memiliki kehormatan. Mereka tak ubahnya binatang yang tidak berakal. Padahal, Allah Swt. menciptakan mereka sebagai makhluk paling sempurna dan mulia. Namun, mereka sendiri yang menjerumuskan diri ke dalam jurang kehinaan."

Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Masyarakat tengah ramai membincangkan salah satu pasal yang ada di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal itu menyebutkan adanya sanksi pidana bagi pasangan yang belum menikah jika mereka melakukan check in di hotel. Hal ini dibantah oleh Juru Bicara Sosialisasi RKUHP, Albert Aries. Ia menjelaskan bahwa yang ada adalah pasal yang mengatur tindak pidana perzinaan serta tinggal bersama bagi pasangan yang belum menikah. (tempo.co, 23/10/2022)

Sepintas, pasal ini terkesan bagus karena dapat mencegah terjadinya perzinaan. Namun, apakah pasal ini benar-benar akan berdampak positif atau justru sebaliknya?

Tindak Pidana Perzinaan Menurut RKUHP

Draf final RKUHP telah diserahkan kepada Komisi III DPR RI pada Rabu, 6 Juli 2022 oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. Dalam draf final itu, terdapat pasal yang mengatur tindak pidana kesusilaan, yaitu Pasal 415 dan 416. Pasal 415 mengatur tindak pidana perzinaan. Sedangkan Pasal 416 mengatur tindak pidana kohabitasi atau kumpul kebo.

Dalam Pasal 415 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau didenda paling banyak kategori II. Sedangkan pada Pasal 416 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau didenda paling banyak kategori II. (tempo.co, 6/7/2022)

Baik tindak pidana perzinaan maupun kohabitasi, merupakan delik aduan (klach delicten). Artinya, pelakunya tidak dapat dituntut kecuali atas pengaduan orang lain. Masalahnya, yang berhak mengadukan sangat dibatasi.

Jika dalam draf sebelumnya kepala desa termasuk pihak yang berhak mengadukan, dalam draf final tidak lagi. Mereka yang berhak hanyalah pasangan sah, yaitu suami atau istri, jika menyangkut perzinaan. Sedangkan yang berhak mengadukan tindak pidana kohabitasi adalah orang tua atau anak pelaku.

Menurut Albert, draf final ini sejatinya semakin melindungi ruang privat seseorang. Sebab, kewenangan kepala desa untuk mengadukan tindak pidana itu telah dihapus. Dengan demikian, secara hukum, orang lain yang tidak berhak tidak dapat mengadukan perbuatan mereka ataupun melakukan persekusi terhadap mereka.

Demokrasi Menghalalkan Segalanya

Melalui aturan ini, tampak bahwa pemerintah semakin memberikan kebebasan bertingkah laku kepada masyarakat. Meskipun perbuatan itu jelas-jelas bertentangan dengan aturan agama. Sebab, tidak ada satu agama pun yang membenarkan perbuatan zina maupun kumpul kebo.

Hal ini menunjukkan bahwa sekularisme telah menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang diambil. Karena itu, aturan agama tidak akan dijadikan sebagai patokan dalam menentukan perundangan. Jika diambil, maka hanya setengah-setengah, disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Keberadaan pasal ini dikhawatirkan akan membuat perbuatan zina semakin membudaya. Selama ini, perzinaan sudah banyak terjadi. Pergaulan bebas banyak dilakukan, bahkan oleh generasi muda. Istilah Teman Tapi Mesra (TTM) atau Friends With Benefits (FWB) digunakan untuk menunjukkan perilaku bebas mereka.

Berdasarkan data dari KPAI tahun 2007, 62,7 persen remaja tidak perawan lagi. Sementara itu, data BKKBN tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat 19,6 persen kasus kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja yang berusia antara 14-19 tahun.

Semua ini tidak terlepas dari prinsip "My body is my authority" yang mereka pegang. Mereka beranggapan bahwa tubuh mereka adalah milik mereka, sehingga mereka pun berhak untuk melakukan apa saja terhadap tubuh itu. Mereka berhak mempertontonkan keindahannya kepada siapa pun yang mereka kehendaki.
Mereka pun berhak menggunakannya untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Tidak ada hak Tuhan untuk melarang mereka melakukan semua hal ini.

Konsep yang lahir dari demokrasi ini nyata-nyata merusak manusia. Mereka tidak lagi memiliki kehormatan. Mereka tak ubahnya binatang yang tidak berakal. Padahal, Allah Swt. menciptakan mereka sebagai makhluk paling sempurna dan mulia. Namun, mereka sendiri yang menjerumuskan diri ke dalam jurang kehinaan.

Selalu Ada Manfaat dalam Aturan Allah Swt.

Dalam Islam tidak dikenal konsep kebebasan bertingkah laku. Sebab, setiap perbuatan manusia harus terikat dengan hukum syarak. Hal ini sesuai dengan kaidah usul, الأصل في الأفعال التقيد بأحكام الشرع (asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syarak).

Karena itu, seorang muslim tidak dibenarkan melakukan perbuatan hanya mengikuti kesenangan atau keinginannya. Semua harus dilandasi oleh halal dan haram. Jika perbuatan itu halal, boleh baginya melakukannya. Sebaliknya, jika haram harus ditinggalkannya.

Setiap perbuatan yang dihalalkan, pasti mendatangkan kebaikan bagi manusia. Sebaliknya, setiap perbuatan yang diharamkan, pasti mendatangkan mudarat bagi mereka. Fakta telah banyak menunjukkan hal ini.

Demikian pula dalam pengharaman zina dan kohabitasi. Ada banyak keburukan yang menimpa manusia jika mereka melanggarnya. Salah satunya adalah, timbulnya berbagai penyakit yang sangat berbahaya, seperti sifilis, gonore, infeksi jamur (candida), herpes simpleks, dan HIV AIDS. Menurut Kemenkes, penderita HIV di Indonesia antara tahun 2010-2019 berjumlah 50.282 kasus dan kasus AIDS sebanyak 7.036 kasus. (databoks.katadata.co.id, 2/7/2021).

Zina dan Menuduh Perbuatan Zina dalam Islam

Islam adalah agama yang sangat memuliakan manusia. Karena itu, berbagai aturan yang lahir dari akidah ini ditujukan untuk menjadikan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Salah satunya adalah dengan mengatur pergaulan di antara mereka.

Dalam Islam, pergaulan antara laki-laki dan perempuan dibedakan menjadi kehidupan umum dan kehidupan khusus. Kehidupan umum adalah kehidupan perempuan di tempat-tempat umum, seperti di jalan, pasar, masjid, dan sebagainya. Sedangkan kehidupan khusus adalah kehidupan perempuan di dalam rumah bersama para mahramnya.

Saat berada di kehidupan umum, perempuan harus menutup auratnya dengan mengenakan jilbab serta khimar. Sedangkan dalam kehidupan khusus, perempuan boleh membuka aurat yang menjadi tempat-tempat perhiasan. Misalnya, leher, telinga, kaki, dan kepalanya.

Di samping itu, Islam juga mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Islam melarang berkhalwat atau berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan tanpa disertai mahram. Hal ini disebutkan dalam hadis riwayat Imam Bukhari,

"Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahram."

Aturan ini untuk mencegah terjadinya kemaksiatan yang dilakukan oleh keduanya, yaitu zina. Sebab, zina merupakan perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan. Karena itu, Allah Swt. melarang perbuatan yang dapat mendekatkan kepada zina. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra [17]: 32,

"Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan."

Jika mendekati zina saja tidak boleh, apalagi melakukannya. Karena itu, Allah Swt. telah menetapkan hukuman bagi pezina berupa 100 cambukan jika pelakunya pezina ghairu muhshan (belum menikah). Hal ini telah disebutkan di dalam surah An-Nur [24]: 2,

الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد ماىْة حادة

"Pezina perempuan dan pezina laki-laki jilidlah masing-masing sebanyak seratus jilid."

Sedangkan pelaku yang sudah menikah (pezina muhshan), dihukum rajam hingga meninggal, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap Ma'iz bin Malik Al-Aslamy. Hal ini disebutkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah. Di dalam hadis itu dikisahkan bahwa seorang laki-laki dari bani Aslamy mendatangi Rasulullah saw. Ia mengaku telah berzina. Ia menguatkan pengakuannya dengan bersumpah hingga empat kali. Setelah Rasulullah saw. memastikan bahwa pengakuannya itu benar, laki-laki itu pun dirajam.

Sementara itu, jika seseorang menuduh orang lain berbuat zina, ia harus mampu mendatangkan empat orang saksi. Jika ia tidak mampu, maka ia akan dihukum cambuk dan kesaksiannya tidak akan diterima selamanya. Sedangkan jika seorang suami menuduh istrinya berzina, akan dilakukan li'an. Yaitu, saling melaknat antara suami dan istri. Hal itu karena mereka tidak memiliki saksi selain diri mereka sendiri.

Tata cara li'an diatur dalam surah An-Nur [24]: 6-9, yaitu dengan melakukan sumpah dengan nama Allah Swt. sebanyak lima kali. Empat sumpah yang pertama menyatakan bahwa dirinya adalah orang yang benar. Sumpah yang kelima menyatakan bahwa laknat Allah Swt. atasnya jika ia adalah orang yang berdusta.

Inilah aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. dalam masalah perzinaan. Aturan ini harus diterapkan karena merupakan had dari Allah Swt. yang berfungsi sebagai pencegah (zawaajir) sekaligus penebus dosa (jawaabir). Mencegah orang lain agar tidak berbuat yang sama, sekaligus menebus dosa pelakunya. Jika pelaku zina telah mendapat hukuman di dunia sesuai aturan Allah Swt., ia akan dibebaskan dari azab di akhirat.

Namun, aturan ini tidak boleh dijalankan oleh individu atau kelompok, jemaah, dan yang lainnya. Aturan ini hanya dapat dijalankan oleh penguasa yang menerapkan sistem Islam, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. setelah Beliau berhijrah ke Madinah. Sistem ini pula yang diterapkan oleh para khalifah pengganti Beliau saw. hingga keruntuhannya pada tahun 1924.

Khatimah

Demikianlah, Islam telah memberikan aturan yang lengkap dalam masalah perzinaan. Dengan menerapkan aturan ini, kehormatan manusia akan tetap terjaga. Mereka akan tetap menjadi makhluk yang paling mulia.

Ketenangan dan ketenteraman akan mereka dapatkan. Lebih dari semua itu, rida Allah Swt. akan selalu meliputi mereka. Maka, bukan hanya kebahagiaan di dunia yang akan mereka dapatkan, tetapi juga kebahagiaan di akhirat.

Wallaahu a'lam bishshawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
RKUHP Check In Hotel, Kebijakan Setengah Hati
Next
Baju Adat Jadi Seragam Sekolah, demi Nasionalisme atau Sekularisasi?
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram