”Kebijakan second home visa yang mengizinkan warga Cina tinggal selama sepuluh tahun di Indonesia, patut diwaspadai. Bukan tidak mungkin, di balik kebijakan ini ada agenda terselubung penguasa Cina untuk mengurangi beban pemerintah dan negaranya, yakni ekspansi memindah kepadatan penduduknya ke Indonesia.”
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia ibarat rumah kedua bagi warga negara asing. Setelah dilonggarkannya aturan PSBB Covid-19, pemerintah berupaya membangkitkan beberapa sektor untuk membuat ekonomi kembali bangkit. Di antaranya dengan mengizinkan diselenggarakannya berbagai event internasional hingga akhir tahun ini. Bahkan, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan baru yang mengizinkan WNA dan mantan WNI untuk tinggal di Indonesia sampai sepuluh tahun.
Kebijakan tersebut bernama second home visa (SHV) atau visa rumah kedua yang secara resmi diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI di Bali pada Selasa, 25 Oktober 2022. Kebijakan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor IMI-0740.GR.01.01 Tahun 2022 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Terbatas Rumah Kedua. ( Imigrasi.go.id, 25/10/2022)
Lantas, apa sejatinya tujuan kebijakan second home visa tersebut? Adakah untungnya bagi Indonesia atau justru membahayakan stabilitas negara? Bagaimana pula seharusnya sikap penguasa dalam menyikapi kebijakan yang berpotensi melemahkan kedaulatan?
Mengenal Second Home Visa
Second home visa (SHV) adalah surat izin tinggal di Indonesia bagi warga negara asing (WNA), baik WNA asli maupun mantan WNI. Dengan adanya SHV, WNA dapat leluasa tinggal di Indonesia namun tetap mematuhi aturan perundang-undangan. Kebijakan tersebut hanya berlaku bagi WNA yang memenuhi ketentuan terkait manfaat kontribusi dalam peningkatan ekonomi Indonesia.
Menyikapi kebijakan tersebut, Pelaksana Tugas (plt) Direktur Jenderal Imigrasi, Widodo Ekatjahjana menyatakan, peresmian SHV yang diluncurkan jelang pelaksanaan KTT G20, bertujuan untuk menarik wisatawan ke Bali dan berbagai destinasi lainnya demi mewujudkan iklim pariwisata yang lebih baik ke depannya. Dengan visa ini, orang asing dapat tinggal dan menetap selama lima atau sepuluh tahun dan melakukan berbagai aktivitas, seperti investasi maupun kegiatan lainnya.
Setali tiga uang, kebijakan tersebut juga dinilai oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Bali, Anggiat Napitupulu, akan mendatangkan banyak keuntungan. Menurutnya, selain menjaring turis asing berusia lanjut, kebijakan tersebut juga diharapkan mampu menghasilkan pemasukan negara dari sektor pariwisata. Dengan adanya Visa on Arrival (VoA) saja, negara telah memperoleh Rp300 miliar per 1 Oktober 2022 dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan sekitar 11.000 WNA yang masuk ke Bali. ( Detik.com, 26/10/2022)
Kritik atas Second Home Visa
Meski pemerintah menyebut bahwa SHV hanyalah demi mewujudkan iklim pariwisata yang lebih baik, namun peluncurannya yang berdekatan dengan Pilpres 2024, menimbulkan beragam spekulasi. Salah satunya adalah respons dari Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi. Menurutnya, kebijakan pemerintah menerbitkan SHV sangat berbahaya. Pasalnya, kebijakan tersebut dapat menjadi migrasi besar-besaran warga Cina serta mengancam stabilitas negara. ( Rmol.id, 28/10/2022)
Bahkan, beberapa pengamat dan ekonom menyebut kebijakan ini sudah keterlaluan. Pro kontra yang mengiringi peluncuran SHV, menjadikan kebijakan tersebut patut dikritisi. Beberapa kritik atasnya, di antaranya:
Pertama, SHV hanyalah berbentuk imbauan yakni surat edaran (SE), bukan hukum atau aturan. Padahal, lazimnya sebuah imbauan haruslah merujuk kepada undang-undang. Karenanya sangat aneh ketika kebijakan yang sifatnya imbauan bisa mengalahkan undang-undang.
Kedua, kebijakan yang dikeluarkan di masa-masa akhir jabatan presiden, menyiratkan banyak kecurigaan. Sebagaimana diungkapkan ekonom senior, Rizal Ramli, yang menyebut bahwa kebijakan tersebut melanggar etika nasionalisme. Izin bekerja dan tinggal selama sepuluh tahun disebutnya hanyalah akal-akalan semata. Kemungkinan terbesar justru akan dimanfaatkan oleh warga negara Cina untuk bekerja di Indonesia. Juga terdapat indikasi adanya pemanfaatan kekuasaan untuk mengupayakan tindakan culas pada Pemilu 2024. Sebab, kebijakan SHV berpotensi menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Ketiga, SHV diklaim dapat membantu perekonomian Indonesia. Namun, benarkah kebijakan tersebut akan membantu meningkatkan perekonomian, atau justru kian mengokohkan penjajahan? Publik tentu belum lupa bagaimana warga Cina terus membanjiri negeri ini saat PPKM diterapkan, padahal saat itu belum ada kebijakan SHV. Jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan, bukan tidak mungkin warga negara Cina akan mendominasi negeri ini hingga menjadi mayoritas.
Mewaspadai Hidden Goal Cina
Kebijakan second home visa yang mengizinkan warga Cina tinggal selama sepuluh tahun di Indonesia, patut diwaspadai. Bukan tidak mungkin, di balik kebijakan ini ada agenda terselubung penguasa Cina untuk mengurangi beban pemerintah dan negaranya, yakni ekspansi memindah kepadatan penduduknya ke Indonesia. Mengingat jumlah penduduk Cina mencapai 1,4 miliar. Jika ditelisik lebih dalam, SHV sejatinya adalah mendatangkan buruh-buruh asing yang berpotensi menimbulkan kerusakan atas kedaulatan, ekonomi, politik, dan keamanan dalam negeri.
Kewaspadaan terhadap motif tersembunyi Cina tidaklah berlebihan. Pasalnya, Cina memiliki kekuatan kolonial yang pasti memperoleh kesempatan untuk mengeksploitasi sumber daya negeri ini. Selain itu, Cina memiliki ambisi untuk menguasai ekonomi dunia lewat program jalur sutranya. Namun sayang, program ambisius tersebut telah menciptakan kolonialisme utang dan menyeret banyak negara dalam lilitan utang.
Mirisnya lagi, konsekuensi bagi negara anggota Belt and Road Initiative (BRI) yang gagal bayar adalah harus bertukar aset dengan Cina. Salah satu negara yang telah menjadi korbannya adalah Sri Lanka. Negara itu terpaksa harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan atas Pelabuhan Hambantota dan memberikan hak pengelolaannya selama 99 tahun kepada Cina.
Indonesia seharusnya berkaca dari kasus Sri Lanka. Bukan tidak mungkin negeri ini akan bernasib sama seperti Sri Lanka jika terus menjalankan kerja sama yang sebenarnya tidak menguntungkan. Sayangnya, penguasa negeri ini justru terus membuka celah agar Cina dapat masuk dan menguasai negeri ini. Salah satunya adalah kebijakan SHV.
Negeri ini seolah tidak berdaya hingga terus tunduk pada semua arahan asing. Selain proyek BRI, beberapa fakta tidak berdayanya Indonesia atas hegemoni Cina antara lain, isu TKA yang terus membanjiri negeri ini dan tidak mampu dibendung oleh pemerintah; peningkatan penggunaan mata uang Cina, yakni yuan, dalam transaksi luar negeri kedua negara; serta proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang membengkak biayanya dan belakangan harus ditambal oleh APBN.
Semua perjanjian tersebut sejatinya merugikan Indonesia. Fakta tersebut pun disadari oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, yang pernah menghentikan proyek-proyek kerja sama dengan Cina karena dianggap lebih menguntungkan negara itu. Pun dengan Singapura yang menganggap jalur sutra yang dibangun Cina sangat merugikan karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain biaya yang menggunung, juga harus mempekerjakan pekerja asal Cina. Lantas, mengapa Indonesia tak mengambil pelajaran?
Indonesia for Sale?
Lemahnya proteksi negeri ini dari dominasi asing juga tampak dari pernyataan Presiden Jokowi yang terus membuka keran investasi. Contohnya saja pernyataan presiden saat berbicara di depan para investor, “Come to Indonesia, we are waiting for you to invest in Indonesia.” Ucapan tersebut menyiratkan kesan bahwa pemerintah sedang ’menjual’ negeri ini kepada para investor melalui presidennya yang bertindak seperti ‘sales manager.’ Seharusnya pemerintah membatalkan second home visa dan semua kebijakan lain yang berpotensi menjadikan asing berkuasa di negeri ini.
Lemahnya penguasa dalam memproteksi Indonesia dari serbuan warga dan hegemoni asing adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme. Negara hanya terfokus pada pemasukan dan pembangunan ekonomi, tanpa khawatir akan terampasnya kedaulatan. Penguasa negeri ini tampaknya tidak memetik pelajaran bahwa dikuasainya aset-aset negara lain oleh Cina adalah bermula dari kerja sama dengan negara kolonial.
Bahkan, penguasa melalui para legislatif di pemerintahan telah membentangkan karpet merah agar asing leluasa menguasai negeri ini. Di antaranya melalui pengesahan UU Minerba dan UU Omnibus Law yang justru melegalkan pengerukan harta milik rakyat. Terbaru dengan memberikan izin tinggal warga asing untuk berinvestasi dan melakukan banyak kegiatan ekonomi. Padahal, memberi peluang asing melalui UU dan investasi hakikatnya adalah membuka keran penjajahan baru dan melemahkan kedaulatan negara.
Lahirnya peraturan atau kebijakan SHV dan UU lainnya yang merugikan rakyat dan negara, makin membuka kebobrokan sistem kapitalisme. Sistem ini telah nyata menempatkan pemilik modal di atas kepentingan rakyat. Peluncuran kebijakan tersebut yang seolah bertujuan untuk memajukan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan, nyatanya hanyalah pepesan kosong. Yang terjadi justru potensi cengkeraman asing yang makin kuat.
Butuh Peran Negara
Jatuhnya wibawa Indonesia di hadapan negara-negara asing sejatinya berpangkal dari pengadopsian ideologi kapitalisme liberal dan pencampakan syariat Islam. Penerapan kapitalisme liberal inilah yang telah mengokohkan penguasaan asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini atas nama utang, investasi, maupun perdagangan bebas. Kapitalisme pula yang melahirkan para penguasa khianat yang hanya bekerja demi kesejahteraan para korporat lokal maupun asing. Alih-alih bangkit, Indonesia justru makin bangkrut baik secara ekonomi maupun politik.
Karena itu untuk melahirkan undang-undang atau produk kebijakan yang benar, serta penguasa amanah, maka harus dimulai dengan mencampakkan kapitalisme liberal dan menggantinya dengan ideologi Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya ideologi paripurna yang telah terbukti melahirkan kesejahteraan selama belasan abad silam.
Munculnya kisruh tentang undang-undang atau kebijakan, bermula dari ketidakjelasan landasan filosofis ideologis. Selama ini pembuatan suatu produk hukum masih bersandar pada kemampuan berpikir manusia yang lemah dan terbatas. Seharusnya pembuatan suatu produk hukum bersandar pada syariat Islam, yakni satu-satunya aturan yang berasal dari Allah Swt. Jika produk hukum hanya berpusat pada filosofis dan ideologi Islam, niscaya semua permasalahan manusia mampu diselesaikan secara tuntas tanpa harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Keadilan Hukum Islam
Pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan yang sahih hanya bisa dilakukan oleh institusi pelaksana syariat, yakni Khilafah. Khilafah telah menggariskan sebuah kebijakan yang dibangun di atas prinsip dasar keadilan dan kebenaran. Sebagai institusi pelaksana syariat, Khilafah memiliki visi politik yang sangat penting yakni pembebasan dari segala bentuk penjajahan baik politik maupun ekonomi. Termasuk penjajahan melalui pinjaman luar negeri yang disertai bunga maupun penguasaan SDA oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Dalam Islam, legislasi akan menghasilkan produk hukum yang lengkap, harmonis, padu, relevan dengan zaman, menjamin kepastian hukum, serta membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama, kejelasan tentang asasnya, yaitu akidah Islam. Akidah adalah segalanya bagi seorang muslim. Dari akidah pula akan lahir berbagai macam sistem kehidupan, termasuk di antaranya hukum. Hukum yang lahir dari akidah Islam adalah hukum Allah Swt. Karena berasal dari Sang Pencipta, maka hukum yang dihasilkan pasti mengandung kebaikan, keadilan, dan kesempurnaan bagi semua manusia.
Kedua, kejelasan sumber hukumnya. Sumber hukum Islam yang disepakati para ulama sangat jelas, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas. Kejelasan sumber hukum tersebut akan menghindarkan dari perselisihan, karena rujukannya sangat jelas, yakni wahyu Allah Swt.
Ketiga, kejelasan pengertian kejahatan dan sanksinya. Sistem hukum Islam yang bersumber dari wahyu, mampu mendeskripsikan perbuatan apa saja yang termasuk dalam kejahatan sekaligus disertai dengan sanksinya.
Keempat, tidak bisa diintervensi. Inilah salah satu keunggulan legislasi dalam sistem hukum Islam, yakni tidak bisa diintervensi. Sebab, hukum Islam berasal dari Allah Swt., sehingga tidak seorang pun yang bisa dan boleh mengacak-acak serta memanipulasi hukum.
Kelima, adanya jaminan kebaikan bagi manusia. Jaminan tersebut tidak didapati dalam sistem sekuler. Rasulullah saw. sebagai pembawa syariat Islam dan hukumnya, secara pasti akan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh manusia. Sebagaimana janji Allah Swt. dalam surah Al-Anbiya ayat 107, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam …. “
Inilah di antara keunggulan sistem hukum Islam yang tidak akan ditemui dalam sistem kapitalisme sekuler. Khilafah tidak akan mengeluarkan suatu produk hukum yang menyimpang dari syariat, apalagi menguntungkan negara asing. Sebab, tugas negara dan penguasa adalah mengurus rakyat, bukan memberi karpet pada negara kolonial.
Khatimah
Migrasi besar-besaran warga Cina bukanlah kemustahilan jika menengok bagaimana sikap dan tindakan penguasa saat ini. Jika melihat dampak nyata bercokolnya asing di negeri ini, seharusnya negara membatalkan kebijakan second home visa. Kemudian beralih menggunakan sistem hukum Islam yang nyata mendatangkan kemaslahatan. Sebab, hanya Khilafah saja yang mampu menghapus dan membatalkan setiap kebijakan yang berpotensi melanggar kedaulatan negara. Di bawah sistem Islam, nuansa kelemahan dan ketundukan terhadap bangsa asing akan diakhiri. Wallahu a’lam.