"Saatnya generasi muda dikembalikan pada hakikatnya sebagai agent of change, bukan mereka yang lemah dan mudah ikut arus. Mengembalikan fungsi pendidikan yang mampu menjadikan mereka unggul, idealis, berpikir kritis, bertindak logis, dan peduli dengan kondisi negerinya."
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Tampaknya, jebakan pinjol (pinjaman online ) sudah menyasar ke segalah arah, termasuk ke kalangan mahasiswa. Beratnya beban hidup, circle pergaulan sekuler, dan keinginan hidup serba instan, menjadikan pinjol sebagai pilihan menggiurkan karena proses pencairan dananya yang cepat dan mudah. Alhasil, generasi muda yang seharusnya menjadi agent of change, malah kalah dan terwarnai oleh sampah peradaban yang diusung para penjajah.
Berdasarkan keterangan dari Rektor IPB University, Prof. Arif Satria menyatakan bahwa mahasiswa IPB yang menjadi korban pinjol ilegal sebanyak 166 dari 300 mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi lain, dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. (Detikcom, 16/11/2022)
Anehnya, meskipun fenomena pinjol ini telah banyak memakan korban, mengapa ratusan mahasiswa sebagai kaum intelektual masih tergiur dan terjebak? Realitas ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan hari ini tidak mampu melahirkan generasi yang sanggup membentengi diri dari syahwat kapitalisme, malah semakin merusak iman dan rasionalitas mereka.
Akar Masalah Secara Umum
Berdasarkan keterangan dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan), tercatat 15,2 juta orang berutang di pinjol resmi, per Juni 2022, dengan total sebesar Rp44,3 triliun. (Bisnis.com, 19/08/2022)
Fenomena banyaknya masyarakat yang terpaksa berutang adalah indikator rendahnya tingkat kesejahteraan dan rentan terhadap kemiskinan. Alih-alih ingin menyejahterakan rakyat untuk memberantas riba, pemerintah justru melegalkan riba demi memungut pajak atas bunga pinjol legal (Peraturan Menteri Keuangan/PMK nomor 69 Tahun 2022 tentang PPh dan PPN, berlaku per 1 Mei 2022). Bukankah ini merupakan kezaliman di atas kezaliman?
Padahal, pinjaman berbasis ribawi baik legal maupun ilegal telah menimbulkan keresahan sosial akibat bunganya yang mencekik. Bagaimana tanggung jawab negara mampu menghapus tuntas penyebab orang-orang sampai terjerat transaksi tersebut? Sedangkan sistem ekonomi negara saat ini, telah menjadikan beban utang negara makin tinggi, dan kondisi ekonomi makin ambruk akibat ketergantungan pada asing.
Alhasil, kemiskinan, kebutuhan hidup yang tinggi, gaya hidup konsumtif, hingga masifnya pinjol berbasis ribawi bertebaran di media sosial dan menjadi pemicu semua ini. Tidak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi semakin memudahkan orang mendapat pinjam dalam waktu singkat.
Ditambah lagi, arus global transformasi digital sangat memungkinkan para fintech (Financial technologi) asing untuk masuk ke pasar Indonesia yang makin menyuburkan transaksi ribawi. Akhirnya, banyak orang termasuk mahasiswa, semakin terjerumus pada pelanggaran syariat yang dapat merusak potensi mereka sebagai agent of change yang intelektual.
Meskipun faktanya, pinjol ilegal membuat masyarakat semakin tercekik karena cara penagihan utangnya terkadang mengandung kekerasan dan tak jarang membuat orang stres bahkan ada yang sampai bunuh diri. Anehnya, semua ini tidak memberikan efek jera pada masyarakat untuk tetap meminjam kepada pinjol ilegal. Sehingga sangat disayangkan, jika pemerintah menganggap fenomena ini hanya sekadar kasus penipuan biasa dan seolah masalah akan selesai ketika pelaku penipuan sudah tertangkap.
Dampak Pendidikan Sekuler
Sistem kapitalisme menjadikan layanan pendidikan sebagai lahan bisnis, sehingga rakyat harus membayar mahal untuk sekolah. Terutama biaya saat di perguruan tinggi yang membuat orang tua terpaksa harus merogoh kocek lebih besar jika ingin anak-anaknya kuliah.
Sistem pendidikan sekuler memiliki kurikulum yang berorientasi materialis dan pragmatis yang bertujuan membentuk perilaku yang jauh dari agama, sehingga mengabaikan halal haram sebagai standar hidup. Melalui program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) yang ditetapkan tahun 2020 lalu, sebagai terobosan kurikulum yang fokus menyiapkan mahasiswa siap bekerja dan mengembangkan entrepreunership untuk bertahan hidup.
Kehidupan sekuler yang mewarnai dunia pendidikan saat ini menyebabkan beberapa hal, antara lain:
Pertama, gaya hidup hedonis. Indonesia adalah negara ketiga yang menjadi pasar dunia terbaik para kapitalis. Semua produk ditawarkan di sini dan mudah diakses di berbagai media sosial. Tanpa sadar, gaya hidup mulai tinggi tak terkendali. Alhasil, banyak mahasiswa yang menginginkan gaya hidup mewah, seperti yang ditunjukkan dunia luar. Mereka pun disibukkan dengan gaya hidup yang penuh kepalsuan.
Kedua, terjebak circle pergaulan sekuler. Terkadang, saat melihat teman yang “sukses”, ego pun terpancing agar tidak mau kalah dari temannya. Akhirnya, persaingan tidak sehat pun dilakukan dan mereka mudah terjebak investasi bodong meskipun modal awalnya harus melalui utang ribawi.
Ketiga, gaya hidup instan. Semakin canggihnya teknologi, semua hal menjadi mudah. Tak perlu membaca berlama-lama di perpustakaan untuk mencari literatur, cukup dengan searching saja di Google maka semua beres. Bahkan, cari cuan juga maunya instan, misalnya dengan membuat video Youtube, TikTok, dan lain sebagainya.
Begitulah realitas hidup saat ini, banyak menawarkan kemudahan. Tampak gaya hidup instan sangat membekas dalam diri pelajar. Akibatnya, banyak yang tergiur mencari jalan pintas untuk meraih cuan, sehingga mudah ditipu oleh pinjol ilegal.
Pemuda Sebagai Agent Of Change
Saatnya generasi muda dikembalikan pada hakikatnya sebagai agent of change, bukan mereka yang lemah dan mudah ikut arus. Mengembalikan fungsi pendidikan yang mampu menjadikan mereka unggul, idealis, berpikir kritis, bertindak logis, dan peduli dengan kondisi negerinya.
Generasi agent of change seharusnya berperan untuk mengubah keadaan menjadi baik dan benar. Peran ini menuntut para pemuda untuk mampu membentengi diri dari bejatnya syahwat kapitalisme yang merusak iman dan rasionalitas mereka.
Terutama bagi pemuda muslim yang harus menjadikan Islam sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan segala masalah kehidupan, sehingga yang perlu dilakukan, antara lain:
Pertama, membekali mereka dengan akidah yang kuat. Hal ini agar mereka mampu menangkal setiap serangan pemikiran-pemikiran kufur dari para penjajah, sekaligus untuk memperkuat posisinya sebagai agent of change.
Kedua, memberikan pemahaman tentang muamalah syar’i. Pemahaman yang benar tentang ekonomi Islam akan membuat mereka mustahil terlibat dalam investasi digital maupun pinjol yang jelas-jelas berbasis riba. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 275,
“…Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Tidak bisa dimungkiri, jerat pinjol mahasiswa jelas akibat minimnya literasi sistem ekonomi Islam. Sehingga, upaya menanamkan ilmu agama pada generasi muda akan membentuk pola sikap Islami yang mengharuskan mereka untuk bersikap hati-hati (warak) dalam setiap perbuatan.
Ketiga, senantiasa melibatkan dan mengajak para generasi muda untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial dan politik, untuk menumbuhkan jiwa empati mereka secara alami. Peran strategis inilah yang mengharuskan para pemuda harus berpikir secara mendasar dan menyeluruh untuk mendesain ulang tatanan kehidupan dunia yang telah rusak akibat kapitalisme yang tamak.
Pemuda harus bergerak dengan visi yang benar dan satu, yakni membangun peradaban terbaik berdasarkan ideologi Islam. Menggenggam visi ini dengan erat agar perjuangan pemuda tidak kandas, serta tidak menjadi generasi berwatak pragmatis yang kalah dengan realitas sistem yang bobrok.
Potret Perguruan Tinggi dalam Islam
Sistem pendidikan Islam memiliki strategi yang dirancang untuk menanamkan akidah, tsaqafah Islam, pola pikir, dan perilaku yang Islami ke dalam akal dan jiwa peserta didik. Sehingga, kurikulum pendidikan di dalam Daulah Islam harus disusun dan dilaksanakan untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Rasulullah saw. bersabda,
“Dua golongan manusia yang jika keduanya baik maka akan baik manusia atau masyarakat dan jika keduanya rusak maka akan rusak pula manusia atau masyarakat; yaitu ulama dan para pemimpin.”
Berdasarkan hadis di atas, sistem pendidikan Islam khususnya perguruan tinggi akan dituntut untuk melahirkan ulama, politikus, para pakar ilmu pengetahuan, serta generasi muda agar mampu menjadi pemimpin ideal di masa yang akan datang, dengan memberikan pengajaran dan ide-ide yang ditujukan khusus untuk mengurus kemaslahatan hidup umat.
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai). Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok publik yang pemenuhannya dijamin negara. Sehingga negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, serta tenaga pengajar yang kompeten. Terutama memberikan gaji yang cukup bagi pegawai dan guru yang bekerja di kantor pendidikan.
Seluruh biaya tersebut diambil dari baitulmal yang sebagian besar bersumber dari kekayaan alam yang sepenuhnya dikelola oleh negara, tanpa adanya intervensi asing. Alhasil, para mahasiswa bisa terus konsentrasi dalam pendidikan mereka tanpa terbebani beban hidup untuk mencari uang tambahan. Mahasiswa juga tidak terjebak gaya hidup hedonis, karena negara akan terus menjaga kemurnian tsaqafah generasi muda.
Oleh karena itu, hanya Khilafah yang mampu menciptakan situasi kondusif untuk membangun pemuda dengan visi mulia sebagai agent of change, menuju peradaban agung dan mulia. Sebab, pemuda yang memiliki akidah Islam akan mendorong generasi muda untuk terus berkarya memakmurkan dunia sebagai khairu ummah untuk meraih rida-Nya.
Khatimah
Sistem pendidikan sekuler berhasil menjadikan generasi muda menjadi tabu untuk menyatukan antara iman, ilmu, dan amal. Perguruan tinggi sekuler tidak ubahnya hanya sebagai institusi yang berorientasi pada materi, demi sejalan dengan semangat entrepreneur university. Alhasil, jerat pinjol justru menjerat insan kampus. Padahal, terkait bahaya pinjol, investasi bodong, dan semua transaksi berbasis ribawi, Islam sudah memiliki solusinya sejak lama. Namun, solusi tuntas yang praktis ini selalu dipinggirkan dan diabaikan oleh para pemangku kebijakan di negeri ini.
Sikap negara yang harusnya melepaskan ideologi sekuler kapitalisme yang telah gagal menyejahterakan rakyat, malah justru mengembangkan model rentenir baru atas nama transformasi digital. Katanya ingin memberantas pinjol ilegal, namun mendukung pinjol legal. Berbeda dengan syariat Islam yang mengharamkan segala bentuk bahaya termasuk akibat dari transaksi riba, sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirar).”
Wallahu a’lam bishawab.[]