"Data tersebut menyebutkan dari 1 anak yang positif terkena virus polio, maka terdapat 200 anak yang sudah terinfeksi. Sebab, penyebaran virus polio sangatlah cepat, pun virus ini juga dapat menimbulkan kelumpuhan dan kematian bagi anak-anak."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan status KLB untuk kasus polio tipe 2 yang terjadi di daerah Pidie, Aceh. Seorang anak berusia 7 tahun mulai bergejala pada 6 Oktober 2022 dengan keluhan demam dan serangan lumpuh. Padahal, Indonesia telah mendapat sertifikat resmi bebas polio pada tahun 2014 oleh WHO. Namun, disinyalir rendahnya tingkat vaksinasi polio dan buruknya sanitasi di lingkungan sekitar menjadi penyebab munculnya kembali virus tersebut.
Menurut analisis WHO (World Health Organization), terdapat 30 daerah di Indonesia yang berisiko tinggi terjadi penularan virus polio. Oleh karena itu, pemerintah berencana melakukan genjot vaksinasi massal pada 28 November di daerah-daerah tersebut secara serentak.
Penetapan KLB, Benarkah Ketergesaan?
Satu kasus polio yang terjadi di Pidie, kemudian membuat pemerintah dengan sigap menetapkan statusnya menjadi KLB, akhirnya memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, penetapan status KLB harus memenuhi syarat dan kriteria sesuai Permenkes RI No. 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.
Pada pasal 6 disebutkan beberapa kriteria dalam penetapan sebuah penyakit menjadi KLB, seperti:
- Munculnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
- Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktu dalam jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
- Peningkatan kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu. menurut jenis penyakitnya.
- Jumlah penderita baru dalam periode satu bulan menunjukan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
- Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama satu tahun menunjukan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
- Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam satu kurun waktu menunjukan kenaikan kenaikan 50 persen atau lebih.
- Angka proporsi penyakit (proportional rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Berdasarkan kriteria di atas, kasus virus polio di Pidie belumlah memenuhi kriteria penetapan KLB. Namun, ternyata dalam kasus polio, data statistik yang dikeluarkan oleh CDC.gov/polio berkata lain. Data tersebut menyebutkan dari 1 anak yang positif terkena virus polio, maka terdapat 200 anak yang sudah terinfeksi. Sebab, penyebaran virus polio sangatlah cepat, pun virus ini juga dapat menimbulkan kelumpuhan dan kematian bagi anak-anak. Oleh karena itu, penetapannya sebagai KLB adalah sesuatu yang wajar.
Belum lagi, dari 200 anak yang sudah terinfeksi tersebut, 8 anak akan mengalami infeksi di radang selaput otak (viral meningitis). Dan 191 sisanya adalah anak-anak yang terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala, akan tetapi masih bisa menularkan virus polio pada anak lainnya. Oleh karena itu pemerintah menetapkan vaksinasi massal di 30 daerah risiko tinggi. Namun, yang menjadi sorotan dalam pengadaan vaksin tersebut, siapa yang paling diuntungkan?
Siapa yang Diuntungkan?
Dalam setiap kasus penyakit, tentu saja semua pihak harusnya tidak ada yang merasa diuntungkan. Namun, kita harus menolak lupa jika kita hidup dalam aturan kapitalisme. Aturan ini memiliki asas manfaat yang begitu kental di setiap kebijakannya. Saking kentalnya, terkadang sisi humanismenya tergerus karena adanya kepentingan berbagai pihak.
Pun belajar dari kasus wabah Covid-19 lalu, dunia berlomba-lomba membuat vaksin Covid, yang tentu pada saat itu mencapai high demand, sebab hampir setiap orang di dunia membutuhkannya. Yang bisa membuat vaksin tercepat dan terampuh dapat meraup keuntungan luar biasa. Pun, kasus ginjal akut yang baru-baru ini merebak di beberapa negara, obatnya pun sudah tersedia. Padahal, penyebabnya dapat dikatakan masih simpang-siur.
Oleh karena itu, ketika KLB ditetapkan namun standar kriteria belum terpenuhi, bahkan sudah ancang-ancang melakukan vaksinasi serentak di 30 kota yang dianggap high risk tentu akan menyerap vaksin polio dengan jumlah yang tak sedikit. Dan lagi, siapa yang diuntungkan? Tentu para pengusaha vaksin. Sebab dalam sistem ini kesehatan bukanlah bagian dari riayah pemerintah. Namun, individu secara mandiri. Pengadaan obat-obatan, termasuk alat kesehatan, dan vaksin yang dibutuhkan masyarakat pun harus dibayar mahal secara mandiri oleh rakyat.
Dari sini pun, sebagai warga dan pemerhati, kita wajib mempertanyakan bagaimana negara ini mengurusi ketahanan kesehatannya di masa ini dan mendatang? Akankah penyakit terus berulang dan selesai dengan impor vaksin? Begitu pula, sampai kapan rakyat membeli kesehatan mereka dengan harga mahal?
Khilafah dengan Ketahanan Sistem Kesehatannya
Islam beranggapan bahwa pemenuhan kesehatan adalah jaminan negara. Oleh karena itu, Khilafah akan memenuhi seluruh kebutuhan mulai dari infrastruktur, sarana, dan prasarana penunjang demi mencukupi kebutuhan kesehatan seluruh rakyat tanpa pandang bulu, baik miskin atau kaya. Tentu dengan kualitas yang sama juga tanpa ada kelas tertentu sesuai budget layaknya saat ini.
Paradigma bahwa negara adalah pelayan rakyat, menjadikan layanan kesehatan oleh negara sebagai sarana kewajiban pemenuhan, bukan layanan jual beli. Oleh karena itu, negara tidak boleh mengomersialkan layanan kesehatan kepada rakyatnya sendiri. Khalifah sebagai raa'in bertanggung jawab secara penuh dalam pemenuhan kebutuhan ini. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Al-Bukhari:
"Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya"
Dalam pelayanan kebutuhan rakyat, negara harus mandiri dan tidak boleh bergantung pada swasta atau asing. Khilafah akan menempatkan rumah sakit di seluruh pelosok negeri dengan kualitas dan tenaga medis yang mumpuni. Hal ini agar dapat memaksimalkan pelayanan terhadap masyarakat.
Adanya pelayanan kesehatan juga merupakan hal darurat, sebab jika tidak ada pelayanan kesehatan maka akan menimbulkan dharar (bahaya). Tugas negaralah untuk menghilangkan bahaya tersebut pada warganya.
"Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam" (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Namun, bukan berarti seorang dokter tidak boleh membuka praktiknya secara mandiri, pun dengan apotek juga diperbolehkan berdiri. Mereka juga berhak mendapat bayaran dari jasa yang mereka keluarkan. Yang tidak diperkenankan adalah jika layanan dari negara mengambil pungutan. Adanya pelayanan gratis ini, mengharuskan Khilafah mengalokasikan dana tersendiri untuk pos kesehatan dari baitulmal.
Terkait dengan riset, pembuatan vaksin, dan sebagainya, Khilafah juga akan secara mandiri membangun lembaga penelitian. Dengan mempekerjakan orang-orang ahli di dalamnya. Dan berupaya agar seluruh masyarakat mendapat haknya dalam masalah ini. Pun dengan mengadakan upaya preventif agar virus atau wabah tidak dapat masuk ke dalam negara. Andai terlanjur masuk, maka negara akan melakukan karantina wilayah. Usaha preventif lain juga dengan menggalakkan sunah menjaga kebersihan dengan membangun sanitasi yang baik, perumahan yang layak, dan makanan yang bergizi bagi rakyatnya.
Demikianlah bagaimana Khilafah membangun ketahanan sistem kesehatannya. Dengan segala upaya tersebut diharapkan akan membawa warga Khilafah pada kesehatan yang sempurna. Allahu a'lam[]