"Memang, tak ada salahnya menyampaikan belasungkawa dan simpati terhadap duka di negeri orang. Namun, mengingat tragedi Kanjuruhan di negeri sendiri yang belum tuntas penyelesaiannya, tentu rakyat pun merasa terabaikan. Walaupun sudah di bentuk tim khusus untuk mencari fakta. Namun, banyak yang belum puas dengan hasilnya."
Oleh. Astuti Rahayu
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pegiat Literasi Islam, Pekanbaru - Riau)
NarasiPost.Com-Bulan Oktober bulan yang mencekam. Tak salah sepertinya predikat tersebut disematkan. Bagaimana tidak, dua tragedi yang mengguncang dunia terjadi di bulan ini. Pertama tragedi di stadion Kanjuruhan sebagai pembuka, kedua tragedi di Itaewon sebagai penutup.
Karena mempunyai kesamaan sebab tragedi, yaitu akibat kerumunan massa yang tak terbendung hingga ratusan nyawa menjadi korban. Sehingga banyak yang membanding-bandingkan kedua tragedi tersebut, terutama mengenai sikap kepedulian penguasa terhadap masing-masing tragedi. Lalu, sudahkah penguasa negeri ini menunjukkan sikap kepedulian yang sepenuh hati terhadap derita rakyat sendiri?
Tepat Sabtu pertama di bulan Oktober, yaitu 1 Oktober 2022, acara pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan tiba-tiba berubah menjadi mencekam, tatkala aparat menembakkan gas air mata secara membabi buta. Alasannya, karena penonton rusuh dan tak terkendali memaksa masuk lapangan. Akan tetapi, anehnya tembakan juga mengarah ke arah tribun yang masih dipenuhi oleh penonton.
Bisa dibayangkan, bagaimana situasi seketika berubah menjadi kacau dan menimbulkan aksi desak-desakkan dari para penonton untuk menyelamatkan diri. Ditambah lagi, terkuncinya pintu keluar stadion kian memperparah kondisi. Sehingga tak heran korban jiwa pun dilaporkan mencapai 135 orang.
Di hari yang sama, namun berada di akhir bulan Oktober, yaitu tanggal 29 Oktober 2022. Tragedi kerumunan massa serupa pun terjadi di Korea Selatan, tepatnya di gang sempit bernama Itaewon. Ratusan ribu orang tumpah ruah memadati daerah tersebut untuk merayakan pesta Halloween. Tragedi pun terjadi, saat tiba-tiba kerumunan massa bertumpuk di gang sempit tersebut, sehingga terjadi desak-desakan dan saling dorong-mendorong. Jumlah korban jiwa dilaporkan mencapai149 orang.
Kedua tragedi tersebut tentu menyisakan duka yang mendalam, terutama di pihak keluarga korban. Kehilangan orang yang dicintai secara mendadak lewat tragedi ini, tentu mengundang banyak simpati, khususnya dari para penguasa. Namun, sangat disayangkan banyak yang menilai kepedulian penguasa terhadap tragedi di negeri sendiri tak imbang dengan di negeri orang. Kontras kepedulian itu sangat terasa, tatkala muncul pernyataan dari kepala negara dalam bahasa Inggris melalui akun Twitter-nya, Minggu (30/10/2022), Jokowi menyatakan bahwa Indonesia bersama rakyat Korea Selatan sangat berduka. Ia pun berharap korban yang terluka bisa segera pulih. (Kompas.com, 30/10/2022)
Sedangkan pada tragedi Kanjuruhan yang juga memakan korban meninggal dalam jumlah yang besar. Tidak ada pernyataan “pemerintah bersama korban kanjuruhan”. Memang, tak ada salahnya menyampaikan belasungkawa dan simpati terhadap duka di negeri orang. Namun, mengingat tragedi Kanjuruhan di negeri sendiri yang belum tuntas penyelesaiannya, tentu rakyat pun merasa terabaikan. Walaupun sudah di bentuk tim khusus untuk mencari fakta. Namun, banyak yang belum puas dengan hasilnya. Buktinya timbul babak baru penyidikan kasus Kanjuruhan, dengan dilakukan autopsi terhadap para korban Kanjuruhan. Ketidakpuasan ini menunjukkan bahwa rakyat masih haus akan kepedulian dan perhatian serius dari penguasa.
Di lain sisi, kepedulian penguasa terhadap pembangunan karakter pemuda bangsa masih menjadi rapor merah tersendiri. Misalnya, dengan pembiaran perayaan Halloween yang jelas-jelas itu adalah budaya asing dan tak ada nilai manfaatnya untuk ditiru. Bahkan, perayaan tersebut sangat kental dengan minuman keras, narkoba, bahkan seks bebas yang malah merusak generasi.
Ini akibat ulah sistem sekularisme yang semakin dominan memplengaruhi sistem kehidupan saat ini. Sehingga budaya asing pun bebas masuk mewarnai kehidupan bangsa, termasuk kehidupan para generasi.
Sistem Islam Proteksi Generasi
Berbeda tentunya dengan sistem Islam jika diterapkan dalam kehidupan. Budaya asing seperti perayaan Halloween tidak mungkin ada celah untuk masuk ke dalam peradaban Islam. Karena hal tersebut termasuk dalam tasyabbuh, yang artinya menyerupai orang-orang kafir dalam hal akidah, ibadah ataupun perayaan, kebiasaan, dan setiap hal yang menjadi ciri khas bagi mereka. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR Abu Dawud)
Selain itu, generasi pun akan terlindungi mutu dan kualitas kepribadiannya dalam bingkai sistem Islam. Karena fungsi negara adalah sebagai junnah (perisai dan pelindung rakyat). Sesuai dengan sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, orang-orang akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” "(HR. Bukhari)*
Maka dari itu, kepedulian penguasa yang sepenuh hati terhadap rakyat sendiri tanpa membeda-bedakan hanya terwujud dalam sistem Islam. Syaratnya, penguasa mau menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah) demi menjaga generasi dari pengaruh buruk ide dan peradaban Barat yang bertolak belakang dengan visi misi kemuliaan. Wallahu a'lam bish-showaf.[]