Kebijakan Tak Bermutu, Mampukah Mengatasi Persoalan Pendidikan?

"Negara seharusnya fokus berbenah diri di segala aspek dari dunia pendidikan, bukan mengurus hal yang tidak penting. Sebab berbagai problem pendidikan masih melingkupi bangsa ini seperti krisis moral generasi, sarana dan prasarana yang belum memadai dan merata, kejahatan seksual di dunia pendidikan, sulitnya mendapatkan akses pendidikan dengan gratis dan berkualitas, kesejahteraan guru yang masih jauh dari kata layak, dan lainnya. Persoalan tersebut justru lebih urgen untuk dituntaskan secara tepat."

Oleh. Nining Sarimanah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pemerhati Umat)

NarasiPost.Com- Generasi berkualitas, cemerlang, dan maju merupakan harapan yang ingin diwujudkan oleh kita bahkan negara. Sebab ia adalah cikal bakal estafet perjuangan dan penerus kepemimpinan bangsa ini. Maka, untuk meraih itu semua diperlukan sistem pendidikan yang telah dijamin dan mumpuni dalam melahirkan generasi tersebut. Namun, sangat disayangkan justru negara ini sibuk mengurus persoalan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan visi misi pendidikan itu sendiri. Seperti, aturan baru yang saat ini mulai digulirkan oleh pemerintah terkait pakaian adat sebagai seragam sekolah bagi peserta didik, mulai jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Lalu, yang menjadi pertanyaan kita adalah seberapa pentingkah kebijakan tersebut harus dilaksanakan? Adakah persoalan lain yang harus diutamakan oleh pemerintah? Dan bagaimana Islam memandang sistem pendidikan? Dengan menganalisis setiap masalah yang dihadapi akan mudah dalam mengatasinya.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) mengeluarkan kebijakan baru yang tertuang dalam peraturan Nomor 50 tahun 2022. Selain seragam nasional dan pramuka, baju adat dijadikan seragam sekolah yang dikenakan pada acara adat atau di hari tertentu. Adapun tujuannya adalah untuk menumbuhkan dan menanamkan rasa nasionalisme, agar tumbuh semangat persatuan dan kesatuan di antara peserta didik, citra satuan pendidikan dapat meningkat dan menyetarakan antarsiswa, tanpa memperhatikan lagi latar belakang ekonomi sosial orang tua atau wali siswa. Kebijakan ini akan diberlakukan mulai 7 September 2022. (Detikcom, 18/10/2022)

Respons Masyarakat

Kebijakan mengenakan pakaian adat yang digulirkan Mendikbudristek telah memicu pro kontra di kalangan orang tua murid. Yang kontra menilai kebijakan ini kurang tepat, sebab mayoritas orang tua murid tengah dilanda krisis ekonomi yang berat dengan kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat yang menyebabkan inflasi. Jangankan untuk memenuhi biaya sekolah, kebutuhan dasar mereka pun tak terpenuhi dengan baik. Tidak dimungkiri, biaya yang dikeluarkan orang tua tidaklah sedikit, terlebih keluarga yang memiliki anak bersekolah lebih dari satu, tentu makin menambah beban biaya pengeluaran orang tua. Mereka mengharapkan agar kebijakan ini ditinjau ulang.

Bagi orang tua pakaian adat bukan prioritas utama, tetapi yang harus mendapat perhatian serius adalah terkait mutu pendidikan yaitu ilmu yang diberikan guru mampu dipahami, diserap, dan diamalkan. Bukan pada penampilan yang ditonjolkan karena mereka ke sekolah untuk belajar bukan ajang pawai atau gaya.

Adapun yang pro, menilai kebijakan ini sebagai wujud dari pelestarian budaya dari masing-masing daerah, agar tidak punah oleh meningkatnya gaya hidup modern di tengah perkembangan zaman. Jika hambatannya adalah masalah biaya, maka para orang tua siswa yang tidak mampu bisa berkoordinasi dengan pihak sekolah maupun pemerintah daerah dengan diberikan subsidi. Meskipun demikian, bantuan tersebut harus dipikirkan implementasinya bukan sebatas imbauan semata atau kewajiban yang 'memaksa' sehingga menambah beban anggaran pengeluaran orang tua.

Islam Solusinya

Beberapa tujuan dari pengadaan dan pemakaian baju adat yang disebut pemerintah perlu dikritisi lebih jauh, sebab sebagai seorang muslim wajib memahami setiap persoalan yang dihadapi berdasarkan kacamata Islam.

Pertama, menumbuhkan rasa nasionalisme.

Pemakaian baju adat sebagai seragam sekolah justru memicu kecintaan yang salah kaprah. Sebab nasionalisme akan mengajak pemeluknya untuk memberikan loyalitas tertingginya pada bangsa dan negara yang tidak berdasarkan syariat Islam. Ia hanya tunduk pada hukum adat dan siap berjuang hingga mati demi membela bangsanya tanpa dilihat apakah benar atau salah. Padahal loyalitas paling utama dan tertinggi hanya untuk Allah dan syariat-Nya. Siapa pun dia meskipun memiliki kesamaan suku dan bangsa tidak boleh dibela, karena hal itu termasuk ashobiyah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah saw., "Bukan termasuk golongan kami, orang yang mengajak ashobiyah (fanatik atas dasar kelompok atau suku atau bangsa). Bukan termasuk golongan kami orang yang berperang atas dasar ashobiyah. Dan tidak termasuk golongan kami, orang yang mati karena ashobiyah.” (HR. Abu Daud)

Islam memandang bahwa suatu bangsa adalah fitrah. Di mana, Allah Swt. telah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan dan menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lain. Dengan kata lain keberagaman adalah keniscayaan yang terjadi pada manusia.

Berbeda dengan cinta tanah air. Manusia secara fitrah mencintai tanah kelahirannya, tempat ia dilahirkan, dibesarkan atau tinggal dalam jangka waktu tertentu. Islam tidak mengharamkan kita mencintai tanah air, sebab, Nabi Muhammad saw. sendiri sangat mencintai tanah kelahirannya, Makkah. Di sana beliau dilahirkan, dibesarkan dan berjuang mengemban dakwah Islam. Namun, banyak pihak berusaha mencekoki masyarakat dengan istilah cinta tanah itu sama dengan nasionalisme, kemudian dibuatlah narasi yang menekankan bahwa nasionalisme itu wajib dan orang yang tidak memiliki jiwa nasionalisme harus hengkang di bumi Nusantara ini. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda.

Jika kita mencintai tanah air hendaklah kita melakukan banyak kebaikan berdasarkan syariat-Nya dan menjaganya dari penjajahan negara kafir, baik fisik maupun nonfisik agar keberkahan diberikan Allah dan Ia melindungi kita dari azab dan selamat dari berbagai bencana dan malapetaka.

Kedua, mewujudkan persatuan dan kesatuan.

Ketika pemerintah menyerahkan pada Pemda untuk mengatur dan menentukan model pakaian menurut daerahnya masing-masing justru memicu fanatisme kesukuannya. Persatuan dan kesatuan tidak akan terjalin karena masing-masing daerah akan bersaing menonjolkan budaya/adatnya.

Persatuan hanya akan terwujud jika manusia diikat dengan akidah Islam. Karena sejatinya itu akan menyatukan keberagaman, baik ras, suku, warna kulit, bentuk fisik maupun bangsa. Di sisi Allah, manusia itu sama dan yang membedakan di antara satu dengan yang lainnya hanyalah ketakwaannya, dialah manusia yang paling mulia.

Ketiga, menyetarakan antarsiswa tanpa melihat latar belakang sosial ekonomi orang tua siswa.

Kebijakan pakaian adat sebagai seragam sekolah sebenarnya justru memicu ketidaksetaraan antarsiswa. Pakaian adat akan mudah dibeli bagi mereka yang lebih mampu dari sisi ekonominya. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah? Tentu mereka akan kesulitan untuk memenuhi aturan tersebut.

Keempat, meskipun ketentuan dalam Permendikbudristek menyatakan hak siswa dalam menjalankan agama harus diperhatikan dalam pelaksanaan pemakaian pakaian adat, tapi benturan antara agama dengan budaya harus diwaspadai di saat makin maraknya islamofobia menjangkiti sebagian masyarakat kita terlebih pihak-pihak tertentu yang membenci Islam. Jika ada siswa mengenakan pakaian adat sesuai dengan ajaran Islam, tentu akan dipersoalkan.

Ketentuan tersebut seharusnya tidak melepaskan keterikatan seorang muslim pada agamanya. Sebab, budaya/adat boleh kita pakai jika tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tapi, jika adat/ budaya itu terpengaruh dengan pandangan hidup tertentu atau dengan kata lain bertentangan dengan syariat Islam, maka seorang muslim harus meninggalkannya dan wajib terikat dengan syariat-Nya.

Negara seharusnya fokus berbenah diri di segala aspek dari dunia pendidikan, bukan mengurus hal yang tidak penting. Sebab berbagai problem pendidikan masih melingkupi bangsa ini seperti krisis moral generasi, sarana dan prasarana yang belum memadai dan merata, kejahatan seksual di dunia pendidikan, sulitnya mendapatkan akses pendidikan dengan gratis dan berkualitas, kesejahteraan guru yang masih jauh dari kata layak, dan lainnya. Persoalan tersebut justru lebih urgen untuk dituntaskan secara tepat.

Pendidikan Islam versus Pendidikan Sekuler

Berbagai persoalan yang menyelimuti dunia pendidikan di berbagai sisi merupakan bukti bahwa pendidikan yang berdasarkan sekularisme tidak akan mampu mewujudkan generasi yang bertakwa dan cemerlang. Keberadaan sistem ini memaksa para siswanya untuk lepas dari keterikatan hukum syarak, akhlaknya bobrok, imannya lemah dan pemahaman agamanya minim. Keburukan dan kerusakan yang lahir dari sistem yang salah ini tidak bisa kita hindari, mulai dari tawuran antarpelajar, narkoba, seks bebas, hamil di luar nikah hingga kriminalitas remaja seolah menjadi tren generasi bangsa ini.

Sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah sukses menjauhkan generasi muslim jauh dari syariat Islam. Kurikukum pendidikan yang tidak berdasarkan akidah Islam menjadikan pelajar tidak memiliki iman yang kokoh, padahal iman adalah benteng pertama yang akan melindungi seseorang dari arus globalisasi. Pelajaran agama pun dibatasi, baik dari sisi waktu maupun materinya. Misalnya, pelajaran agama hanya dua jam diberikan oleh guru dalam sepekan, sedangkan materi yang disampaikan hanya seputar ibadah dan akhlak semata, materi yang penting dan utama sengaja dihapus, seperti Khilafah. Akibatnya pelajar tidak memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni dan luas yang menjadikan ia tidak faham dengan agamanya sendiri. Inilah tujuan sekularisme sesungguhnya yaitu menjadikan umat Islam khususnya generasi muda kering dengan nilai-nilai Islam, sehingga mereka mudah disetir sesuai apa yang diinginkan kafir penjajah akhirnya peradaban barat menjadi mercusuar bagi generasi muslim baik dalam bertingkah laku maupun berpikir.

Kapitalisasi di bidang pendidikan tak dimungkiri menjadi peluang bisnis. Jika ingin mendapatkan fasilitas pendidikan yang lengkap, bagus dan nyaman maka, orang tua harus membayar lebih mahal. Akibatnya pendidikan yang berkualitas hanya mampu diakses oleh mereka yang memiliki dompet tebal sementara bagi mereka yang memiliki keterbatasan dana harus gigit jari.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Dalam Islam pendidikan merupakan salah satu hak yang harus didapatkan oleh warga negaranya tanpa ada perbedaan, baik muslim maupun kafir dzimmi, dan menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh penguasa kepada rakyatnya. Sistem pendidikan ini menjadi metode untuk melahirkan generasi cemerlang dan unggul sebagai penerus dan pembangun peradaban. Kurikulum pendidikan berbasiskan akidah Islam menjadikan pelajar memiliki tsaqofah Islam yang luas dan mendalam, sehingga kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap) pun akan terwujud pada dirinya. Tak hanya itu, peradaban Islam melahirkan para tokoh yang sangat berjasa dalam kecanggihan teknologi saat ini. Misalnya Ibnu Sina seorang ilmuwan bidang kedokteran.

Pemerintah akan menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas secara gratis kepada warga negaranya tanpa kecuali dengan ditopang sistem ekonomi yang kuat dan mandiri. Kesejateraan tenaga pengajar pun menjadi perhatian utama karena guru sebagai pihak yang berinteraksi langsung dalam menjalankan aktivitas pendidikan. Seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khatthab yang menggaji seorang guru dengan 15 dinar (sekitar 60 juta rupiah), sungguh luar biasa bentuk penghargaan dari khalifah kepada pendidik generasi. Besarnya perhatian kepada tenaga pendidik tidak akan kita dapatkan di sistem sekularisme kapitalisme yang menjadikan para guru tak dihargai atas segala pengorbanannya.

Inilah gambaran secara umum sistem pendidikan Islam dari besarnya tanggung jawab seorang penguasa yang diberikan amanah oleh Allah untuk meriayah rakyatnya. Sebagaimana hadis dari Nabi Muhammad saw.

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.)

Kesimpulan

Dengan demikian, generasi unggul dan bertakwa hanya mampu diwujudkan oleh sistem yang berasal dari Allah, yaitu Islam. Sebab telah terbukti selama 13 abad lama menjadi mercusuar dunia. Sementara, jika kita mengharapkan kebaikan dari sistem buatan manusia dalam mengatasi persoalan pendidikan atau yang lainnya hanya mimpi di siang bolong yang tak akan pernah mampu diwujudkannya.

Wallahu a'lam bishshawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Nining Sarimanah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kenangan Bersamamu
Next
Marak Kekerasan, Negara Gagal Menjamin Keamanan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram