Gelombang PHK Saat Ekonomi "Baik-Baik Saja", Anomali atau Watak Asli Kapitalisme?

"Inilah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang rawan krisis. Ekonomi dunia terus berjalan dari satu krisis ke krisis berikutnya, dari satu resesi ke resesi berikutnya. Bahkan inflasi dalam kapitalisme merupakan hal yang paten alias terus dan selalu terjadi sehingga disebut stagflasi."

Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Aneh, tetapi nyata. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mencapai level seperti sebelum pandemi, yaitu pada kisaran 5%. Namun, anehnya, saat ini justru marak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2022 berjumlah 8,42 juta jiwa. Angka ini meningkat sebanyak 20 ribu dibandingkan pada Februari 2022 sebanyak 8,40 juta jiwa.

Secara persentase, tingkat pengangguran per Agustus 2022 mencapai 5,86 persen. Meningkat dari bulan Februari 2022 yang sebesar 5,83 persen. Padahal, sebelum pandemi, tingkat pengangguran berada pada level 4,94% (data per Februari 2020).

Naiknya pengangguran ini karena memang terjadi gelombang PHK besar-besaran. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengonfirmasi bahwa kasus PHK tengah terjadi. Para pengusaha, terutama industri padat karya, mengakui adanya PHK terhadap ribuan pekerja.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, per November 2022 terdapat 10.765 orang yang di-PHK. Salah satu sektor yang mengalami gelombang PHK adalah industri tekstil. Per November 2022 telah terjadi PHK pada 78.000 pekerja industri tekstil.

Selain itu, gelombang PHK juga terjadi pada raksasa teknologi dunia seperti Meta, Twitter, Microsoft, Amazon, dan Shopify. Ribuan tenaga kerja dirumahkan, termasuk yang di Indonesia. Pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik, mengapa justru banyak terjadi PHK? Ada apa dengan ekonomi Indonesia sehingga terjadi anomali ini?

Investasi Tidak Berujung Penciptaan Lapangan Kerja

Secara teori, seharusnya pertumbuhan ekonomi mengindikasikan kesejahteraan masyarakat, karena telah terjadi kenaikan produk domestik bruto (PDB) yang didorong peningkatan investasi. Saat ini, ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 (yoy) pada kuartal III tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi ini didorong oleh peningkatan investasi yang mencapai 4,96% (yoy) pada kuartal III tahun 2022, dari sebelumnya hanya 3,76% pada periode yang sama tahun lalu.

Namun, ternyata lonjakan investasi tersebut tidak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penambahan penciptaan lapangan kerja berjalan stagnan. Pada tiga kuartal tahun 2022, rata-rata penambahan tenaga kerja hanya 300 ribu orang. Terjadi ketidaksinkronan antara pertumbuhan investasi dengan pertumbuhan tenaga kerja. Investasi tahun ini meningkat 35,4%, tetapi penambahan tenaga kerja hanya meningkat 12% (CNBC Indonesia, 9/11/2022).

Padahal, seharusnya, peningkatan investasi seiring sejalan dengan penambahan jumlah tenaga kerja. Lah, ini investasi Indonesia meningkat, tetapi justru terjadi gelombang PHK. Ternyata, investasi yang masuk ke Indonesia tidak terjadi di sektor primer seperti makanan, pakaian (tekstil), dan alas kaki. Padahal sektor inilah yang banyak menyerap tenaga kerja. Sedangkan, investasi yang banyak justru di sektor tersier, yaitu yang jumlah tenaga kerjanya sedikit.

Akibat Krisis Ekonomi

Terjadinya gelombang PHK saat ini adalah dampak dari krisis ekonomi yang terjadi saat pandemi. Karena terjadi gangguan pasokan energi dan pangan, tingkat inflasi dunia pun sangat tinggi. Apalagi, hal ini direspons dengan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral. Terjadilah perlambatan ekonomi pada negara mitra dagang. Akibatnya, permintaan terhadap produk Indonesia turun drastis yang berujung pengurangan produksi. PHK pun tidak terhindarkan lagi. Bahkan diprediksi PHK kali ini akan lebih buruk daripada saat pandemi.

Jika saat pandemi yang terdampak hanya sektor tradisional, kini sektor teknologi pun terdampak. Akhirnya tenaga kerja yang di-PHK ditambah dengan angkatan kerja baru yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, hasilnya adalah tingginya angka pengangguran.

Walhasil, muara dari segala persoalan ekonomi ini adalah krisis ekonomi yang kerap melanda kapitalisme. Dampak krisis saat pandemi saja sudah sedemikian dahsyat, apalagi jika ditambah resesi ekonomi yang diprediksi terjadi tahun depan. Bisa dibayangkan betapa suram dan gelapnya ekonomi tahun depan yang tinggal hitungan hari. Apalagi bagi rakyat miskin yang tidak punya bantalan ekonomi, dampaknya sangat menyedihkan.

Inilah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang rawan krisis. Ekonomi dunia terus berjalan dari satu krisis ke krisis berikutnya, dari satu resesi ke resesi berikutnya. Bahkan inflasi dalam kapitalisme merupakan hal yang paten alias terus dan selalu terjadi sehingga disebut stagflasi.

Oleh karena itu, gelombang pengangguran ini bukanlah anomali, melainkan menunjukkan watak asli kapitalisme yang rawan krisis. Dengan demikian, mengharapkan kesejahteraan rakyat terwujud dalam kapitalisme merupakan sebuah utopia.

Dalam kapitalisme, uang itu berputar di kalangan tertentu saja, yaitu para kapitalis. Mayoritas uang di dunia ada di saku jas para kapitalis global pemilik korporasi multinasional. Sedangkan miliaran rakyat kecil sedunia harus berebut recehan-recehan saja.

Dengan adanya PHK, banyak korbannya akan beralih pekerjaan ke sektor informal seperti pedagang kaki lima, atau sektor jasa dengan menjadi pengemudi ojek online. Persaingan antarrakyat kecil pun makin ketat, hal ini bisa memicu friksi sosial. Selain itu, dengan tingginya angka pengangguran, potensi kejahatan dan prostitusi akan meningkat.

Sungguh ngeri, dampak krisis ekonomi ternyata bisa ke mana-mana. Dengan demikian, kita harus beralih dari sistem ekonomi kapitalisme yang rentan krisis ini menuju sistem ekonomi Islam yang antikrisis.

Sistem Ekonomi Islam Antikrisis

Sistem ekonomi Islam mencegah terjadinya inflasi dengan penerapan sistem mata uang dua logam (emas dan perak, dinar dan dirham) yang terbukti stabil dari tahun ke tahun, bahkan dari abad ke abad. Harga barang pada masa Rasulullah saw. hampir sama dengan harga barang hari ini, jika diukur dengan emas (dinar).

Selain itu, sistem Islam melarang praktik riba dan pasar sekunder yang spekulatif (bursa saham, valas, bursa komoditas, dan lain-lain). Dengan demikian, tidak akan terjadi ekonomi gelembung yang rawan pecah menjadi krisis, sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme.

Islam juga melarang konsentrasi modal, sehingga harta berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Islam mengharuskan produktivitas harta, maksudnya harta harus berputar, tidak boleh ditumpuk-tumpuk (kanzul mal) sebagaimana yang terjadi sekarang, demi memperoleh bunga tinggi.

Islam punya mekanisme alami untuk mengalirkan harta dari orang-orang kaya ke yang miskin, yaitu melalui zakat dan sedekah. Potensi zakat dan sedekah pada umat Islam sangat besar sehingga sangat efektif untuk pengentasan kemiskinan dan sekaligus menumbuhkan konsumsi (permintaan) rakyat miskin yang selanjutnya akan menggairahkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Hal yang utama dari semua solusi Islam adalah posisi penguasa sebagai penanggung jawab rakyat. Rasulullah saw. bersabda, "Seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka." (HR. Abu Dawud)

Oleh karena itu, tanggung jawab penyediaan lapangan kerja bagi rakyat ada di tangan penguasa, tidak boleh diserahkan pada swasta sebagaimana praktik dalam kapitalisme yang penguasa hanya menjadi regulator.

Khilafah akan mengambil alih kepemilikan umum seperti tambang emas, perak, tembaga, nikel, batubara, migas, dan lain-lain dari swasta karena memang seharusnya menjadi milik umum dan dikelola negara. Sektor-sektor primer ini jelas membutuhkan banyak sekali tenaga kerja. Bisa dibayangkan, ada begitu banyak tenaga kerja yang direkrut.

Khilafah juga akan mengelola pembangunan infrastruktur, tidak diserahkan kepada pihak ketiga. Ini merupakan sektor yang juga menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, penyelenggaraan jihad dan futuhat jelas membutuhkan banyak tenaga kerja selain tentara. Misalnya pada industri militer, yaitu industri pembuatan senjata, produksi kapal perang, kapal selamat, pesawat, dan lain-lain. Semuanya itu akan secara riil menyerap tenaga kerja.

Dengan rangkaian solusi yang ada dalam sistem Islam tersebut, masalah pengangguran tidak akan ada lagi. Kalaupun ada warga yang miskin dan menganggur karena tidak mampu bekerja, negara akan turun tangan memberikan santunan dari baitulmal sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini sebagaimana santunan yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada seorang lelaki Yahudi tua yang kedapatan mengemis.

Sungguh berbeda dengan nasib para lansia di sistem kapitalisme. Banyak kita temui orang-orang tua yang masih harus berjualan seadanya atau menjadi pengemudi ojek online dengan tubuh rentanya. Memang, sistem kapitalisme ojo dibanding-bandingke, saing-saingke dengan sistem Islam. Kapitalisme ya mesti kalah.
Wallahualam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Ragil Rahayu (Tim Penulis Inti NarasiPost.Com )
Ragil Rahayu S.E Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Ringanlah dalam Dakwah
Next
Dana Pandemi, Bantuan atau Jebakan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram