Gawat Darurat Tata Kelola Pertanian

"Problem utama dari ruwetnya masalah pertanian terletak pada buruknya tata kelola ala kapitalis liberal. Tata kelola tersebut mengakibatkan minimnya kepemilikan lahan, lemahnya pengawasan teknologi, keterbatasan modal, hingga lemahnya posisi tawar dalam penjualan hasil panen para petani."

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Badan Urusan Logistik (Bulog) kembali menjadi sorotan. Perusahaan umum milik negara yang bergerak di bidang logistik pangan tersebut, disinyalir gagal menyerap hasil panen petani. Target cadangan beras pemerintah (CBP) yang sebanyak 1,2 juta ton, kemungkinan besar tak bisa tercapai di akhir tahun ini. Saling lempar alasan di antara kementerian pun mewarnai karut-marutnya persoalan logistik.

Lantas, apa sejatinya alasan Bulog hingga tak mampu menyerap hasil panen petani dengan maksimal? Mengapa masalah serapan beras minim, anjloknya harga gabah, mahalnya pupuk, dan lainnya selalu menjadi problem di negeri ini? Bagaimana pula gambaran sahih perhatian negara terhadap sektor pertanian?

Tersandera Kebijakan

Terkait rendahnya serapan beras, Kementerian Pertanian pun buka suara. Direktur Serealia Kementerian Pertanian, Ismail Wahab menjelaskan, kesulitan Bulog dalam menyerap beras langsung dari petani disebabkan adanya perbedaan antara harga yang ditawarkan oleh Bulog dengan harga pasar. Ismail menyebut, rara-rata penggilingan memberikan harga berasnya sebesar Rp10.300, tetapi Bulog hanya mampu menerima dengan harga Rp9.700 per kilogram. (Cnnindonesia.com, 18/11/2022)

Tak hanya soal beras yang sulit diserap, Bulog pun mengaku kesulitan menyerap gabah kering panen (GKP) dari petani karena terbentur peraturan harga pembelian pemerintah (HPP). Saat ini, HPP untuk GKP yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp4.450 per kilogram. Sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga komoditas tersebut sudah di atas itu. Akhirnya, Bulog kembali gagal menyerap GKP karena petani lebih memilih menjualnya kepada swasta dengan harga yang lebih tinggi.

Saat ini cadangan beras pemerintah yang tersimpan di Bulog memasuki masa kritis, yakni hanya 651.437 ton (per 13 November 2022). Padahal, cadangan beras yang seharusnya dimiliki oleh Bulog adalah sebesar 1,2 juta ton. Demi menambal kekurangan cadangan beras pemerintah, lagi-lagi sinyal impor pun diberikan oleh Bulog. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengatakan, selain stok yang sudah dikuasai Bulog di dalam negeri, pemerintah juga akan melakukan kerja sama dengan mancanegara sebanyak 500.000 ton beras komersial. Menurutnya, jika jumlah stok tersebut digabung maka pemerintah dapat mempertahankan stabilitas harga dalam enam bulan ke depan. (Wartaekonomi.co.id, 21/11/2022)

Gagal Mewujudkan Swasembada

Ketidakmampuan Bulog dalam menyerap hasil panen petani patut dipertanyakan. Pasalnya, Bulog sebelumnya menyebut tidak mampu menyerap hasil panen petani karena perbedaan harga pemerintah dengan harga pasar. Kini, Bulog menyatakan telah menyiapkan dana berapa pun untuk menyerap hasil panen petani. Hanya saja, stok beras di lapanganlah yang diklaim tidak mencukupi. Terkait permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang perlu menjadi sorotan.

Pertama, pemerintah berdalih tidak mampu menyerap beras petani karena minimnya stok di lapangan. Padahal terdapat 11 provinsi yang ada untuk menyerap cadangan beras pemerintah (CBP). Seharusnya pemerintah bisa memaksimalkan penyerapan tersebut tanpa harus memilih jalur impor. Lagi pula, panen raya akan terjadi di bulan Januari dan Februari mendatang.

Di sisi lain, berdasarkan laporan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Aries Prasetyo Adi, sulitnya Bulog menyerap beras/gabah karena bersaing dengan perusahaan swasta lainnya. Silang pendapat di antara kementerian juga menunjukkan kegagalan pejabat dan penguasa dalam pengelolaan sektor pertanian.

Kedua, belum maksimalnya kinerja Badan Pangan Nasional (Bapanas). Badan ini belum menjadi pengambil otoritas dalam urusan cadangan pangan di negeri ini. Padahal, sesuai mandat yang ada, Bapanas seharusnya yang menentukan kebijakan tentang cukup atau kurangnya pangan, impor atau tidak, dan bukan berada di tangan Bulog. Di sisi lain, para petani sudah bekerja keras untuk memproduksi beras, tetapi Bulog dan Bapanas justru tidak maksimal dalam menyerap hasil panen tersebut.

Ketiga, tentang dalih minimnya stok di lapangan tampaknya tidak masuk akal. Pasalnya, beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo sempat mengapresiasi pertumbuhan kinerja sektor pertanian. Di mana sektor ini telah berhasil mewujudkan swasembada beras selama tiga tahun berturut-turut, yakni sejak 2019 hingga 2021.

Jokowi pun menyebut, pencapaian tersebut disebabkan oleh perencanaan yang matang terkait pembangunan infrastruktur, seperti embung dan jaringan irigasi. Pemerintah pun mengeklaim telah berhasil membangun 1,1 juta hektare irigasi hingga mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI). Jika Presiden mengeklaim bahwa Indonesia telah berhasil mewujudkan swasembada pangan selama tiga tahun berturut-turut, lantas mengapa Bulog masih kesulitan menyerap beras petani? Benarkah karena tidak ada barang di lapangan atau justru pemerintah enggan membeli beras petani dengan harga komersial?

Sebagaimana diketahui, harga beras akhir-akhir ini memang melonjak yang disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya saja, karena kenaikan harga produksi sebagai akibat dari melonjaknya harga pupuk dan BBM. Banyak petani yang akhirnya menggunakan pupuk nonsubsidi karena terbatasnya pupuk bersubsidi. Konsekuensinya adalah petani harus menaikkan harga beras demi menutup biaya produksi yang makin mahal. Dalam kondisi seperti ini, negara seharusnya mampu menyerap seluruh hasil panen petani meski harus membeli dengan harga komersial. Pemerintah seharusnya jangan hanya mampu menaikkan harga BBM, tetapi juga harus berupaya menaikkan tingkat kesejahteraan petani.

Salah Tata Kelola

Permasalahan yang terjadi di sektor pertanian, baik tentang rendahnya serapan beras oleh Bulog, anjloknya harga gabah, mahalnya pupuk, "tradisi" impor, dan sebagainya, sejatinya hanyalah masalah cabang. Problem utama dari ruwetnya masalah pertanian terletak pada buruknya tata kelola ala kapitalis liberal. Tata kelola tersebut mengakibatkan minimnya kepemilikan lahan, lemahnya pengawasan teknologi, keterbatasan modal, hingga lemahnya posisi tawar dalam penjualan hasil panen para petani.

Selain itu, sistem kapitalisme telah nyata meminggirkan peran negara sebagai pengurus rakyat. Negara hanya diposisikan sebagai regulator, sementara operatornya diserahkan kepada korporasi. Salah satu kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme adalah mengizinkan kebebasan pemilikan secara mutlak. Kebebasan ini akhirnya menciptakan kapitalisasi korporasi pangan yang terus menyebar di setiap sudut negeri ini. Tata kelola ala kapitalis inilah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan kepemilikan aset, pengawasan rantai produksi, distribusi pangan, hingga kendali harga pangan oleh para korporasi.

Sementara pemerintah yang seharusnya berperan sebagai pengendali, justru ibarat wasit yang tetap condong pada korporasi. Contohnya, saat ini petani masih sebatas berangan-angan untuk memperoleh akses terhadap sarana produksi pertanian (saprotan) yang murah dan berkualitas. Sementara terkait pengadaan benih, pupuk, pestisida, serta lainnya masih dalam dominasi korporasi. Paradigma dan konsep batil kapitalisme harusnya dicampakkan jika ingin menyelesaikan sengkarut pertanian. Kemudian menggantinya dengan paradigma Islam.

Solusi Islam

Islam datang menjadi solusi atas setiap permasalahan yang menimpa manusia, termasuk dalam sektor pertanian. Sistem sahih ini memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme. Dalam prinsip ekonomi Islam, produktivitas seluruh kegiatan pertanian yang legal atau sesuai syariat telah diakui oleh Islam, baik produk barang maupun jasa.

Dalam Islam, kebijakan apa pun yang terkait dengan sektor pertanian wajib berada dalam tanggung jawab negara, mulai dari hulu hingga hilir. Sebab, negara adalah penanggung jawab dan pelindung seluruh rakyat. Sebagaimana termuat dalam hadis riwayat Ahmad dan Bukhari, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya."

Makna hadis tersebut menunjukkan bahwa negara adalah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyat. Karenanya beban tersebut tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi. Di sisi lain, prinsip pengurusan rakyat dalam Islam adalah terwujudnya kemaslahatan. Karenanya, negara tidak boleh membisniskan semua layanan yang diberikan kepada rakyat.

Perhatian Khilafah terhadap Pertanian

Sektor pertanian wajib dikelola berdasarkan prinsip syariat Islam. Di bawah prinsip tersebut pertanian akan mewujudkan dua hal sekaligus, yakni ketahanan pangan dan kesejahteraan para petani. Beberapa kebijakan Khilafah dalam aspek produksi, di antaranya:

Pertama, negara akan menjalankan hukum pertanahan Islam. Dalam Islam, asas pertanian adalah lahan. Ketika lahan dikelola dengan hukum yang sahih, maka semua permasalahan tentang tanah dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu, Islam menetapkan bahwa kepemilikan atas tanah pertanian berkelindan dengan pengelolaannya. Artinya, siapa saja yang mampu mengelolanya, maka berhak memiliki tanah pertanian seluas apa pun.

Sebaliknya bagi siapa saja yang tidak mampu atau lemah dalam memproduktifkannya, maka kepemilikannya secara otomatis akan hilang. Hal ini berdasarkan pada hukum tentang lahan, yakni hukum menghidupkan lahan mati, larangan menelantarkan lahan selama tiga tahun berturut-turut, serta larangan menyewakan lahan pertanian. Dengan diterapkannya hukum tersebut, maka distribusi lahan pada orang yang mengelolanya akan terjamin. Selain itu, hukum tersebut akan meminimalisasi banyaknya lahan yang menganggur.

Kedua, Khilafah akan memberikan berbagai bantuan pada petani seperti saprotan, modal, infrastruktur penunjang, teknologi, dan sebagainya untuk memaksimalkan pengelolaan lahan. Bantuan tersebut diberikan karena lahan pertanian tidak boleh ditelantarkan. Hal ini merupakan bentuk dukungan penuh negara dalam upayanya memaksimalkan pengelolaan lahan.

Ketiga, mendorong pelaksanaan riset untuk menghasilkan bibit unggul dan berbagai teknologi yang dibutuhkan oleh para petani. Riset tersebut seluruhnya diatur oleh Khilafah yang anggarannya diperoleh dari baitulmal. Semua produk yang dihasilkan dari riset tersebut ditujukan bagi kemaslahatan rakyat.

Salah satu bukti perhatian Khilafah terhadap sektor pertanian terjadi di masa Khalifah Umar ra. Sang khalifah selalu memotivasi rakyat untuk mengaktifkan lahan pertanian dan mengembangkannya. Khalifah Umar memang memiliki perhatian secara pribadi terhadap kegiatan pertanian. Bahkan, pertanian dijadikan sebagai kegiatan ekonomi yang utama. Bukti atas hal itu adalah sebuah riwayat yang mengatakan bahwa warisan Umar yang dibagi oleh ahli warisnya sebanyak 70 ribu lahan pertanian.

Khalifah Umar juga memiliki beberapa hamba sahaya yang mengerjakan lahan pertaniannya. Bahkan, ketika sudah menjadi khalifah pun, beliau tidak mengabaikan lahan pertaniannya. Selain sebagai kegiatan individu, Umar ra. juga menilai kegiatan pertanian sebagai salah satu kegiatan terpenting bagi baitulmal. Karena itu Umar ra. sangat antusias dalam memotivasi produktivitas lahan pertanian.

Khatimah

Dengan pengaturan berdasarkan syariat Islam, produk pertanian dalam negeri akan mencukupi kebutuhan seluruh rakyat. Para petani pun tidak perlu khawatir akan anjloknya hasil pertanian karena negara bertanggung jawab penuh terhadap nasib mereka. Lebih dari itu, pengaturan pertanian berdasarkan syariat Islam di bawah sistem politik Khilafah, akan mewujudkan ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan rakyat.
Wallahu a'lam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Rapuhnya Ketahanan Keluarga, Islam Datang untuk Menjaga
Next
KLB Polio Ditetapkan, Bagaimana Ketahanan Sistem Kesehatan Khilafah?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram