Ebola Kembali Mengganas, Bukti Kapitalisme Gagal Atasi Wabah

”Sejatinya, banyaknya korban jiwa akibat wabah tidak hanya disebabkan oleh virus, namun telah menjadi korban dari kerakusan kapitalisme. Sebuah sistem kufur yang tak punya hati, dan hanya mementingkan keuntungan politik dan uang di atas segalanya.”

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Wabah ebola kembali menewaskan lebih dari 50 orang di Uganda. Demi mencegah penularan, pada 15 Oktober 2022, pemerintah setempat memberlakukan lockdown di dua distrik pusat wabah, yaitu di Mubende dan Kassanda selama 21 hari.

Sebelumnya, pada 2013 hingga 2016, epidemi Ebola sempat mencapai titik terburuk di Afrika, dan menewaskan lebih dari 11.300 orang dari sekitar 24.000 kasus yang dilaporkan. Sementara itu, menurut WHO, bahwa virus Ebola jenis Sudan yang beredar di Uganda saat ini belum ada vaksinnya, jadi untuk sementara baru dimulai dengan penggunaan obat-obatan demi mengurangi gejala akibat virus (CNN Indonesia, 06/11/2022).

Kasus wabah Ebola ini semakin menambah daftar panjang banyaknya wabah yang tidak mampu diatasi oleh sistem kapitalisme. Hingga kini, WHO masih terus merekomendasi pencegahan berbasis vaksinasi. Meskipun sejauh ini, tidak ada data sejarah yang membuktikan bahwa pandemi dapat teratasi hanya dengan vaksin. Namun anehnya, mengapa pemerintah di negeri kapitalis selalu menjadikan vaksin sebagai solusi utama dalam penanganan wabah? Mengapa sejak kemunculan Ebola, hingga saat ini, vaksinnya belum juga ditemukan?

Seputar Wabah Ebola

Ebola merupakan virus mematikan dan dapat menyebar di antara manusia melalui kontak langsung dengan cairan tubuh maupun dari lingkungan yang terkontaminasi. Gejala awal penyakit ini ditandai dengan demam mendadak, nyeri otot, kelemahan hebat, dan sakit tenggorokan. Gejala selanjutnya, mencakup diare, muntah, dan dalam beberapa kasus terjadi pendarahan, dengan masa inkubasi bisa berlangsung dua hingga tiga minggu (Tribunnews.com, 16/10/2022).

Sejak kemunculannya pertama kali pada 1976, di sungai Ebola, Kongo, sudah ada 2.200 kematian karena virus Ebola (CNBC Indonesia, 22/02/2022).

Meskipun telah menewaskan ribuan orang, wabah Ebola hanya sekadar menjadi isu yang memprihatinkan dunia, bahkan jauh dari kesan optimal. Miris, terabaikannya penelitian virus Ebola, disinyalir hanya karena kurangnya dana tambahan untuk membiayai pembuatan vaksin. Menjadi indikasi bahwa industri farmasi lebih memprioritaskan keuntungan di atas kode etik.

Padahal, Ebola terkenal sebagai virus langka paling menular dengan tingkat kematian yang sangat tinggi. Meski virus Ebola begitu berbahaya, namun para investor di negara-negara lain masih menunjukkan kurangnya minat untuk membantu penelitian vaksin, akibat didorong oleh pertimbangan ekonomi. Perusahaan farmasi memprediksi jika vaksin Ebola akan bernilai jual rendah, karena wabah ini hanya menginfeksi penduduk negeri-negeri miskin, dan dipastikan mereka tidak mampu membayar pengobatan dengan mahal. Artinya, peluang keuntungannya kecil, sehingga perusahaan farmasi tidak ada motif finansial untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, hingga sekarang belum ada vaksin dan obat yang efektif untuk menangani wabah Ebola yang disetujui oleh FDA (Federal and Drug Administration).

Mengapa Sistem Kapitalisme Gagal Atasi Wabah?

Sistem kapitalisme akan senantiasa memaksa para petinggi negara untuk membuat kebijakan pada perhitungan untung rugi. Terbukti, sering kali lockdown yang diberlakukan terkesan setengah hati, sebab negara selalu bersikukuh mempertahankan kestabilan ekonomi semata. Kebijakan lockdown tidak dilakukan secara totalitas akibat ekonomi negara yang kian ambruk.

Dari penanganan kasus pandemi di negeri Indonesia, terbukti bahwa sistem kapitalisme memang hanya berpihak kepada pengusaha dan asing. Makanya jangan heran jika saat pandemi Covid-19 lalu, pemerintah justru bersikeras agar pembangunan IKN diprioritaskan daripada keselamatan rakyatnya. Tampak jelas bahwa pemerintah begitu loyal kepada pengusaha dan asing, namun begitu sulit apabila anggaran dan sumber daya negara digunakan semaksimal mungkin untuk penanganan wabah.

Saat banyaknya korban yang terus berjatuhan akibat wabah Covid-19, pemerintah belum juga mengambil keputusan lockdown. Meskipun desakan atas hal ini senantiasa diserukan oleh berbagai kalangan, mulai dari pejabat hingga tenaga medis. Pemerintah justru hanya memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) meski menuai banyak kritik, keputusan ini jelas berdasarkan pertimbangan ekonomi semata. Sebab langkah inilah yang dinilai paling aman untuk diambil pemerintah agar tidak terbebani dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.

Bagi negara kapitalis, kebijakan lockdown dinilai akan memperburuk perekonomian negara. Padahal, kerugian ekonomi akibat pandemi masih bisa untuk dipulihkan, namun kehilangan nyawa rakyat tidak akan bisa digantikan. Nyawa rakyat begitu murah, hingga penguasa pura-pura tidak melihat kondisi rakyatnya yang sedang tercekik. Pajak tetap dinaikkan saat rakyat banyak di PHK, namun korupsi di tubuh pejabat tetap berjalan seiring banyaknya jiwa yang menjadi korban pandemi. Kasus korupsi dana bantuan sosial untuk penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, menjadi bukti betapa rusaknya empati para pejabat di negeri kapitalis.

Kemudian, pemerintah menganggap bahwa kasus wabah dapat teratasi dengan vaksin saja. Padahal faktanya, vaksin tidak bisa memutus penyebaran virus melainkan hanya menstabilkan kekebalan imun tubuh serta menghindari agar tidak tertular virus. Terbukti, vaksin tidak bisa dijadikan sebagai jaminan untuk mengatasi wabah, karena memang vaksin diciptakan untuk mencegah saja dan bukan untuk transmisi, apalagi memutus rantai penyebaran virus. Jika terus seperti ini, dapat dipastikan bahwa langkah pemerintah akan gagal dalam menangani pandemi, dan bisa diprediksi sampai kapan pun, Covid-19 tidak akan teratasi hingga ke akarnya.

Hal ini akan berbeda jika sejak awal pandemi pemerintah dengan tegas menerapkan lockdown, serta senantiasa mencukupkan semua kebutuhan masyarakatnya. Maka bisa dipastikan jika wabah akan terselesaikan secara optimal. Namun, semua itu tidak akan mungkin terlaksana selama sistem ekonomi negara ini masih terkungkung dalam sistem kapitalisme.

Sebenarnya yang membuat situasi pandemi semakin buruk karena pencegahan pandemi dan keselamatan masyarakat bukanlah prioritas perusahaan farmasi berbasis kapitalis. Farmasi kapitalis tidak tertarik melakukan investasi dalam penelitian penuntasan pandemi untuk waktu singkat, karena investasi tersebut tidak begitu menguntungkan bagi mereka. Pencegahan dan pemulihan pandemi hingga ke akarnya akan membuat investasi kurang menguntungkan bagi para pemegang saham farmasi. Itulah sebabnya, mereka hanya berlomba-lomba menemukan vaksin, karena semakin buruk pandemi maka semakin tinggi laba yang didapatkan.

Semakin buruk kondisi pandemi maka semakin banyak vaksin yang terjual, sehingga laba korporasi farmasi multinasional semakin meningkat. Begitu pun dalam perancangan obat-obatan, semakin banyak yang sakit, maka semakin banyak permintaan. Dengan banyaknya permintaan, maka perusahaan akan menjual mahal vaksin maupun obat yang diproduksi. Sudah menjadi paradigma kapitalisme yang hanya memikirkan bagaimana cara meraih keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, aspek kesehatan masyarakat hanya dijadikan sebagai lahan bisnis oleh korporasi. Harga-harga akan dimurahkan saat permintaan rendah, dan dimahalkan saat permintaan tinggi, tanpa peduli dengan keselamatan jiwa apalagi kesehatan rakyatnya.

Hal ini membuktikan minimnya moralitas perilaku kapitalisme yang kosong akan kerangka etika dan sosial. Itulah mengapa, tahun demi tahun, perusahaan farmasi kapitalis mengeruk keuntungan besar di balik kasus pandemi yang terjadi di dunia. Menurut IMF Health, penelitian kesehatan terunggul skala internasional obat-obatan untuk pasar dunia, bisa mencapai keuntungan lebih dari $1 triliun pada setiap penjualannya.

Kesalahan penanganan wabah Ebola, Covid-19, dan banyaknya pandemi lain yang terjadi di dunia, tidak hanya terletak pada industri farmasi, tetapi juga pada sistem pemerintahan yang diadopsi oleh dunia saat ini. Sejatinya, banyaknya korban jiwa akibat wabah tidak hanya disebabkan oleh virus, namun telah menjadi korban dari kerakusan kapitalisme. Sebuah sistem kufur yang tak punya hati, dan hanya mementingkan keuntungan politik dan uang di atas segalanya.

Syariat Islam, Solusi Tuntas Atasi Wabah

Konsep lockdown dalam sistem pemerintahan Islam dilakukan semata-mata karena pemimpinnya mementingkan aspek kesehatan dan keselamatan jiwa rakyatnya. Sebab, negara merupakan pemelihara urusan umat, termasuk wajib menutup semua celah yang dapat mengancam kesehatan apalagi nyawa rakyatnya.

Jika terjadi wabah di dalam Daulah Islam, tugas pertama seorang khalifah adalah menjamin terpeliharanya kehidupan normal di area yang terjangkit wabah. Tugas kedua, memutus rantai penularan secara efektif dan cepat, demi mencegah umat dari bahaya infeksi dan kondisi yang mengantarkan pada kematian.

Berdasarkan syariat Islam, keselamatan nyawa manusia lebih utama daripada apa pun, sebagaimana dalam riwayat At-Tirmizi, Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak”.

Langkah awal untuk memutus rantai penularan wabah adalah dengan memberlakukan lockdown syar'i, sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah dengan kamu sedang berada di tempat itu, janganlah keluar darinya”.

Para ilmuan dunia sepakat bahwa prinsip ini sangat efektif untuk memutus rantai wabah, dan mencegah terjadinya kasus impor virus, bahkan kasus mutasi virus pada kondisi tertentu. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Janganlah sekali-kali orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat”.

Terbukti sampai sekarang, massive testing dinilai akurat untuk mencegah penularan, karena setiap orang yang berada di area wabah, semua berpotensi terinfeksi dan berisiko menjadi penular. Sedangkan bagi yang sudah terinfeksi harus segera diisolasi dan diobati hingga benar-benar sembuh, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya…” (HR. Muslim)

Selanjutnya, syariat Islam menganjurkan 3T (Trace /lacak, Test /uji, dan Tread /obati). Artinya, negaralah yang bertugas untuk menemukan obat secepat mungkin melalui pengembangan teknologi kedokteran dan medis. Negara akan senantiasa meningkatkan sistem dan fasilitas kesehatan yang tinggi dan mumpuni. Protokol kesehatan akan diberlakukan dengan pengawasan yang ketat dan terjamin, karena semua diberikan secara gratis kepada masyarakat. Ekonomi Islam yang sumber pendanaannya diambil melalui Baitulmal yang berasal dari hasil pengelolaan SDA dan berbagai pungutan lain yang diperbolehkan oleh aturan syariat. Terbukti ekonomi berbasis syariat mampu menopang perekonomian negara di tengah badai pandemi yang mengganas, dan ini telah dibuktikan pada masa kekhalifahan.

Wabah pernah terjadi dalam Daulah Islam, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Wabah tho’un begitu ganas dan penyebaran begitu cepat hingga menyerang ke daratan rendah Yordania, dan menewaskan puluhan ribu orang. Hal ini akibat masih minimnya ilmu teknologi pada saat itu. Namun, hal ini tidak menyulutkan semangat Khalifah Umar bin Khattab untuk mengatasi wabah hingga ke akarnya.

Negara dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, mampu mendorong para ilmuwan dan orang-orang yang memiliki kapasitas dalam bidang kesehatan untuk segera menemukan obat agar penularan wabah bisa segera diatasi. Dukungan berupa moril maupun materiil terhadap pengembangan riset senantiasa dilakukan. Terbukti, wabah tho’un di negeri Syam yang pernah terjadi pada tahun 18 Hijriah akhirnya tuntas hingga ke akarnya.

Khatimah

Sistem demokrasi-kapitalisme terbukti tidak mampu mengatasi wabah hingga ke akarnya, justru hanya menimbulkan kenestapaan tiada henti. Sistem ekonominya hanya berpihak pada para pemilik modal, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak efektif dan menimbulkan kekecewaan rakyat di tengah kondisi wabah yang kian buruk. Sebaliknya, sistem pemerintahan Islam adalah perwujudan nyata berlakunya sebuah sistem rancangan Sang Pencipta yang pasti akan membawa rahmat, dan mampu mengatasi wabah yang melanda. Sang pencipta akan senantiasa memberikan solusi dari segala persoalan hidup dihadapi oleh manusia, sebagaimana Allah Swt. berfirman, “… Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya”. (QS. At-Talaq: 2)
Wallahu a’lam bishawab.[]


photo: canva

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Capres-Cawapres Mengerti Ekonomi Makro dan Mikro, Cukup Tangguhkah untuk Menghadapi Krisis Global?
Next
Mengakhiri Pornografi dengan Sistem Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram