”Segala kritikan dan aspirasi rakyat terhadap pemerintah selalu dipandang negatif dan dianggap rivalnya. Ini membuktikan bahwa, suara rakyat dalam alam demokrasi akan diabaikan dan dipasung.”
Oleh. Nining Sarimanah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Beban hidup makin berat yang dialami oleh mayoritas masyarakat tak bisa kita mungkiri. Hingga detik ini, kondisi ekonomi rakyat benar-benar sekarat dan entah sampai kapan derita ini akan berlalu. Hal itu, tidak lepas dari berbagai kebijakan yang dilayangkan pemerintah terbukti tak mampu mengatasi berbagai persoalan yang melingkupi negeri ini. Misalnya, penanganan pandemi Covid-19 yang amburadul, korupsi makin menjadi, kenaikan harga BBM yang berimbas pada naiknya harga berbagai kebutuhan pokok yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan sederet persoalan lainnya. Dengan kondisi itu, sebagian besar masyarakat waswas menyongsong kehidupan selanjutnya, apakah akan tetap bertahan hidup atau sebaliknya? Maka, tak heran umat Islam menyuarakan tuntutannya dengan menggelar aksi damai.
Ribuan masa Aksi 411 yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) melakukan long march mulai dari Masjid Istiqlal menuju Patung Kuda, Jakarta Pusat. Komandan aksi, yakni Habib Hanif Abdurrahman Al-Attas (menantu Habib Rizieq Shihab) menyampaikan tiga tuntutan di antaranya adalah turunkan harga BBM, turunkan harga kebutuhan pokok, hukum harus ditegakkan dengan adil. Beliau menegaskan bahwa tiga tuntutan tersebut merupakan permintaan rakyat. Masa aksi pun menuntut agar Presiden Jokowi mundur (News.detik.com, 4/11/2022).
Tuntutan massa tersebut seharusnya ditanggapi dengan positif. Sebab, apa pun yang disuarakan rakyat adalah salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap kinerja para pemangku jabatan agar dalam melaksanakan amanah meriayah umat bisa terlaksana dengan baik dan bertanggung jawab. Namun, justru pihak pemerintah pasang badan dan berkilah bahwa pemerintah sudah melakukan banyak hal demi kepentingan bangsa Indonesia.
Juri Ardiantoro, Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan menanggapi aksi tersebut sebagai tindakan tidak mendasar atau absurd. Ia menjelaskan bahwa, saat ini pemerintah telah bekerja keras menyelesaikan masalah pandemi Covid-19 dan berbagai dampak dari persoalan global seperti krisis energi, pangan, keuangan global, dan program prioritas lainnya yang bertujuan agar Indonesia maju lebih cepat. Ia menilai bahwa Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) merupakan konsolidasi politik jalanan berbaju demonstrasi yang seharusnya mencari dukungan politik bukan dengan memberikan contoh yang tidak mendidik masyarakat (Bisnis.com, 5/11/2022).
Pernyataan yang disampaikan KSP sangat jelas membuka jati diri penguasa saat ini, antikritik. Padahal, sudah jelas tuntutan masa aksi 411 terkait ekonomi dan hukum, bukan mencari konsolidasi politik. Bukan rahasia umum lagi, penguasa telah bersikap represif jika ada kelompok atau individu yang berseberangan dengan pandangan politiknya, ia tak segan menyiapkan seperangkat hukum agar pihak yang mengkritik dibungkam dan berakhir dengan dipenjara, UU ITE, dan RKUHP misalnya.
Segala kritikan dan aspirasi rakyat terhadap pemerintah selalu dipandang negatif dan dianggap rivalnya. Ini membuktikan bahwa, suara rakyat dalam alam demokrasi akan diabaikan dan dipasung. Tengoklah ketika seluruh lapisan masyarakat menolak kenaikan harga BBM dengan melakukan aksi demo di berbagai daerah, tetapi pemerintah bergeming dan tetap bersikeras menerapkan kebijakan tersebut. Artinya jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah retorika belaka.
Suara rakyat dipandang berharga dan diburu jika momen pesta demokrasi akan berlangsung. Maka, tak heran banyak para politisi segera merapat mendekati rakyat seolah mereka peduli terhadap kondisi masyarakat dengan cara blusukan dan membagi-bagikan bantuan. Hal itu, mereka lakukan demi mendulang suara sebanyak-banyaknya sehingga harapan menjadi penguasa atau menduduki jabatan di pemerintahan bisa terwujud. Fakta watak demokrasi sesungguhnya, sistem ini tidak akan pernah membela kepentingan rakyat tetapi yang dibela adalah kepentingan para kapital.
Demonstrasi Wujud Kepedulian Umat
Manusia tidak ada yang sempurna, karena manusia itu lemah dan terbatas dalam kemampuannya. Karena tabiatnya seperti itu, ia tidak lepas dari salah dan khilaf. Tak terkecuali seorang penguasa, ia tak luput dari adanya kemungkinan kesalahan dalam menentukan dan menerapkan kebijakan. Maka, menyampaikan pendapat berupa kritikan harus dipandang sebagai wujud kepedulian dan rasa sayang umat terhadap penguasa agar selamat dari panasnya api neraka. Karena, Allah akan meminta pertanggungjawaban penguasa terhadap rakyat terkait pelayanan dan pemeliharaan urusannya.
Fokus utama yang dikoreksi adalah kebijakannya bukan pada tataran pribadi individunya. Dikoreksinya penguasa bukan karena ia dibenci tetapi bertujuan untuk menyelamatkan negeri ini agar tidak hancur oleh mereka yang tidak amanah dalam menjalankan pemerintahan. Dampak pandemi Covid-19 yang berkepanjangan pasti menimbulkan berbagai persoalan yang makin kompleks yang menyelimuti bangsa kita, apalagi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah. Maka, dibutuhkan masukan yang membangun demi kemajuan dan kebaikan negeri ini.
Etika dalam demonstrasi pun perlu diperhatikan, misalnya menyampaikan aspirasinya dengan santun disertai argumentasi yang jelas dan mendasar, serta memiliki solusi yang menyeluruh terhadap persoalan yang dikritisi. Maka, sebenarnya unjuk rasa ini tidak perlu disikapi secara berlebihan. Jika, solusi yang ditawarkan terbukti mampu mengatasi persoalan negara kita, sikap yang ditunjukkan penguasa tidak perlu takut berlebihan. Sebab, kebaikan itu akan dinikmati oleh seluruh komponen bangsa.
Oleh karena itu, kebebasan pendapat sesuai tuntunan syariat seharusnya dijamin oleh negara, tanpa ada tekanan maupun ancaman. Namun, dalam sistem demokrasi menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang salah dan sudah jelas merugikan rakyat tidak mendapat ruang. Kebebasan itu tidak berlaku untuk umat Islam, ia hanya sebatas objek keserakahan para penguasa dan kapital.
Kewajiban Amar Makruf Nahi Mungkar
Dalam Islam, jabatan penguasa adalah amanah dari Allah Swt. untuk menjalankan hukum-Nya dalam mengatur segala urusan umat baik di dalam maupun luar negeri. Maka, sudah seharusnya khalifah mengeluarkan kebijakan tidak keluar dari koridor syarak dan jika ada kebijakan khalifah yang bertentangan dengan hukum-Nya maka, umat wajib mengontrol dan mengoreksinya.
Allah Swt. menempatkan aktivitas tersebut sebagai sebaik-baiknya jihad. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Hakim dan lainnya). Rasulullah saw. pun memberikan pujian, jika seseorang terbunuh karena aktivitas meluruskan penguasa zalim maka Nabi saw. menyamakannya dengan pemimpin para syuhada, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Oleh karena itu, muhasabah lil hukam atau aktivitas mengoreksi penguasa hanya ada pada sistem Islam dan ia merupakan aktivitas yang paling utama. Aktivitas ini merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar, yang pahalanya besar di sisi Allah Swt. dan dengan aktivitas itu pula umat Islam memperoleh gelar umat terbaik dari-Nya.
Muhasabah terhadap penguasa tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah karena haus kekuasaan tetapi agar sistem kehidupan Islam tetap berlangsung yaitu jaminan dan terpeliharanya urusan umat dan sanksi Islam ditegakkan atas pelanggaran yang terjadi dengan adanya pengawalan terhadap penguasa. Dengan ini, kemakmuran dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara tanpa kecuali.
Mekanisme Menyampaikan Kritik
Islam agama yang sempurna dengan seperangkat aturan yang mampu mengatasi persoalan kehidupan manusia. Termasuk mengatur mekanisme dalam menyampaikan kritik. Sebab, Islam memandang bahwa penguasa adalah manusia biasa yang memungkinkan baginya berbuat salah. Dengan kondisi ini, Islam mewajibkan umatnya untuk mengoreksi penguasanya agar ia tetap berada di jalan yang lurus. Adapun mekanisme yang bisa dilakukan umat untuk mengoreksi penguasa. Di antaranya:
Pertama, individu warga negara dan partai politik yang ada, boleh bahkan wajib mengoreksi penguasa. Hal itu pernah terjadi pada masa Khalifah Umar, seorang muslimah mengkritik kebijakan Umar terkait pembatasan mahar sebesar 400 dirham. Umar menerima protes tersebut dengan lapang dada dan mengakui kesalahannya.
Kedua, melalui Majelis Al-Ummah (wakil rakyat). Anggota majelis memiliki hak untuk mengoreksi dan menyuarakan aspirasinya tanpa dibayangi rasa takut terhadap penguasa yang represif.
Ketiga, jika rakyat tidak puas pada kebijakan khalifah, boleh mengadukannya ke Mahkamah Mazhalim. Hukum perundang-undangan dan seluruh pejabat negara secara berkala akan diawasi oleh qadhi (hakim) untuk memastikan semuanya sesuai syariat Islam tanpa menzalimi siapa pun. Pengadilan ini, yang akan menindaklanjuti persoalan khalifah dengan rakyatnya. Apa pun keputusan dari pengadilan, khalifah harus tunduk.
Kesimpulan
Inilah suasana yang terbentuk ketika Islam diterapkan dalam kehidupan, amar makruf nahi mungkar senantiasa ada dan dilakukan oleh masyarakat Islam dengan landasan iman. Hanya Islam yang mampu memberikan ruang aspirasi dan kritikan agar kehidupan bernegara berjalan pada rel-Nya. Berbeda dengan sistem sekularisme demokrasi, kritikan umat dipandang musuh negara yang harus segera diamankan. Wallahu 'alam bishshawab.[]
Photo : Canva