“Namun, pengetahuan terhadap ekonomi makro dan mikro berikut data-datanya tidak serta-merta menjadikan seorang pemimpin mampu menyolusi badai krisis ekonomi yang akan menghantam. Apalagi jika penyebab mendasar terjadinya krisis tidak berhasil diidentifikasi secara tepat, kebijakan negara akan jauh dari solutif.”
Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Pilpres 2024 harus mengerti ekonomi, baik ekonomi makro maupun mikro. "Ke depan itu memerlukan pemimpin yang mau… Tidak hanya ngerti makro, bukan hanya ngerti… mikronya juga harus ngerti," ucapnya. Selain itu, para calon pemimpin negara itu harus menguasai data. "Tapi memang harus mampu bekerja lebih detail. Menguasai data dan lapangan, kemudian memutuskan," kata Jokowi (kompas.com, 6/11/2022).
Pada tahun-tahun mendatang, ekonomi dunia memang diprediksi akan suram. International Monetary Fund (IMF) memprediksi sepertiga ekonomi dunia akan masuk jurang resesi pada tahun 2023 (katadata, 12/10/2022).
Menghadapi hal ini, Bank Indonesia mengajak masyarakat agar waspada terhadap risiko krisis global. Indonesia tidak boleh lengah, karena ada potensi krisis yang menular dan berkepanjangan. Untuk menghadapinya, butuh bauran kebijakan makro maupun mikro (katadata, 13/7/2022).
Namun, pertanyaannya, ketika capres-cawapres sudah mengerti tentang makro dan mikro ekonomi, juga menguasai data, akankah dia mampu untuk menyelamatkan Indonesia dari turbulensi ekonomi yang diprediksi akan sangat hebat?
Kapitalisme Biang Kerok Krisis
Pemahaman terhadap ekonomi makro dan mikro, serta penguasaan data ekonomi merupakan perkara yang mutlak harus ada pada seorang pemimpin negara. Penguasaan pada hal-hal tersebut merupakan hal yang penting, karena merupakan dasar untuk membuat kebijakan ekonomi. Justru aneh jika ada pemimpin negara yang tidak paham ekonomi. Lantas dia mau memimpin dengan cara seperti apa?
Namun, pengetahuan terhadap ekonomi makro dan mikro berikut data-datanya tidak serta-merta menjadikan seorang pemimpin mampu menyolusi badai krisis ekonomi yang akan menghantam. Apalagi jika penyebab mendasar terjadinya krisis tidak berhasil diidentifikasi secara tepat, kebijakan negara akan jauh dari solutif.
Oleh karenanya, perlu disadari bahwa krisis yang terjadi secara global saat ini bukan semata karena adanya distraksi terhadap rantai pasok pangan dan energi akibat pandemi dan perang Rusia-Ukraina. Kedua peristiwa tersebut memang memiliki dampak yang besar terhadap ekonomi global. Namun, sebelum terjadi pandemi dan perang, ekonomi dunia memang sudah bermasalah. Pandemi dan perang sifatnya adalah memperberat krisis yang sudah ada.
Selama menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, dunia selalu dirundung krisis. Krisis demi krisis terjadi tiap jangka waktu tertentu. Ada yang menyebut siklusnya tiap dekade, alias 10 tahun.
Tidak salah memang. Kita ingat krisis moneter tahun 1998 yang membuat rupiah jatuh bebas dan diikuti kejatuhan Soeharto. Lantas pada 2008 terjadi krisis ekonomi karena subprime mortgage. Setelah itu krisis juga terjadi pada 2020 karena pandemi, meski tidak tepat 10 tahun dari krisis sebelumnya.
Siklus krisis yang rutin berulang menunjukkan bahwa sistem kapitalisme memang rentan krisis. Bahkan, bisa dikatakan sistem kapitalisme adalah penyebab krisis ekonomi global. Praktik riba dan spekulasi yang menjadi aktivitas utama dalam kapitalisme telah menjadikan adanya ekonomi gelembung (bubble economy) yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Selain itu, penerapan sistem mata uang kertas (fiat money) telah menjadikan mata uang bisa demikian rapuh, bisa goyang dan goyah hanya karena isu-isu yang diembuskan. Mata uang kertas juga bisa dicetak sesuka hati sehingga inflasi selalu terjadi (stagflasi). Nilai uang makin turun, sebaliknya harga barang-barang kian mahal. Kesejahteraan makin jauh dari jangkauan.
Krisis ekonomi saat ini yang disebabkan gangguan rantai pasokan pangan dan energi juga terjadi karena penerapan kapitalisme. Pangan telah menjadi produk yang tidak hanya diperdagangkan secara riil, tetapi juga diperdagangkan di bursa komoditas. Para spekulan pun bermain demi keuntungan maksimal.
Efeknya, banyak rakyat yang kelaparan. Dunia dilanda ancaman kelaparan akut. Bahkan, di negara Eropa saja ada realitas para siswa makan karet penghapus karena sulit mengakses makanan. Sedangkan di Amerika banyak rakyat harus antre untuk mendapatkan jatah bantuan pangan. Di Indonesia, kemiskinan ekstrem terjadi pada level yang makin memprihatinkan.
Demikianlah, ekonomi gelembung dalam kapitalisme menjadikan krisis mudah terjadi, baik lokal, regional, maupun global. Krisis moneter tahun 1998 sekupnya regional, yaitu kawasan Asia. Sedangkan krisis yang terjadi hari ini sifatnya global, yakni mendera semua negara. Namun, tentu saja, negara-negara miskin akan menjadi pihak yang paling terpukul.
Realitas ini harus disadari oleh para pemimpin negara. Agar mereka tidak terus-menerus berkiblat pada kapitalisme Barat dalam pengaturan ekonominya. Hari ini, kapitalisme telah tampak sempoyongan, tetapi sistem ini tetap berdiri dengan berbagai upaya tambal sulam. Jika tetap bertahan pada kapitalisme, bisa diprediksi ekonomi kita tidak akan pernah terhindar dari krisis pada masa depan. Bahkan, bisa jadi krisisnya makin parah.
Tinggalkan Kapitalisme
Dengan melihat kapitalisme sebagai biang kerok krisis ekonomi, maka pemimpin negara harus mau dan berani untuk meninggalkan sistem ekonomi kapitalisme. Selanjutnya, menerapkan sistem ekonomi Islam yang tahan terhadap krisis karena bertumpu pada ekonomi riil dan tidak ada pasar sekunder yang menyebabkan ekonomi gelembung.
Namun, harus disadari pula bahwa penerapan sistem ekonomi Islam membutuhkan sistem politik Islam yang menaunginya. Oleh karenanya, yang dibutuhkan bukan sekadar penerapan ekonomi syariah secara parsial sebagaimana yang terjadi saat ini. Namun haruslah penerapan ekonomi syariah secara kaffah dengan dukungan sistem politik Islam.
Penerapan sistem mata uang logam (emas dan perak) misalnya, jelas butuh kekuatan politik negara. Dengan demikian bisa menghadapi berbagai tekanan global dan bahkan bisa mengajak negara-negara lain menerapkan mata uang logam juga. Dengan demikian dominasi dolar Amerika akan tergeser.
Begitu juga dengan pengembalian berbagai tambang sebagai milik umum, jelas butuh kekuatan politik negara untuk mengeluarkan swasta dari pengelolaan tambang. Bahkan, penghentian praktik riba secara total juga butuh kekuatan politik negara. Demikianlah, penerapan ekonomi Islam sebagai solusi krisis tidak berdiri sendiri, tetapi butuh dukungan suprastruktur berupa tegaknya Khilafah.
Maha Benar Allah Swt. yang memerintahkan umat Islam untuk ber-Islam kaffah, bukan sebagian-sebagian. Sebagaimana firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 208)
Inilah catatan untuk para calon pemimpin Indonesia. Terapkanlah Islam kaffah agar hidup menjadi berkah, jauh dari krisis. Nah, adakah yang bersedia? Wallahualam bissawab.