Baju Adat Jadi Seragam Sekolah, demi Nasionalisme atau Sekularisasi?

”Bukankah hal ini berpotensi memicu fanatisme kedaerahan? Semula tujuan seragam pakaian adat ini dalam rangka mempersatukan, justru akan memicu perbedaan dan persaingan antardaerah, akibat masing-masing pihak saling bersaing menonjolkan budaya atau adatnya.”

Oleh. Wa Ode Mila Amartiar
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Banyaknya problem pendidikan yang belum tuntas, pemerintah sebagai penanggung jawab utama seharusnya memberikan solusi yang tepat, daripada membuat aturan seragam sekolah yang dinilai tidak terlalu genting. Pasalnya, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan aturan pengenaan baju adat sebagai seragam sekolah yang berlaku mulai 7 September 2022. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) Nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik.

Sementara itu, pemerintah menyebut bahwa tujuan dari kebijakan ini adalah demi menanamkan rasa kebersamaan, persaudaraan, nasionalisme, persatuan, serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab peserta didik. (Suara.com, 25/9/2022)

Jika memang seragam dapat mempererat kesatuan para peserta didik, seharusnya hal ini sudah lama terwujud. Bukankah sebelumnya baju batik telah resmi menjadi seragam sekolah? Aturan baru ini justru membuktikan bahwa seragam sekolah sebelumnya dinilai belum mampu mempersatukan bangsa ini. Bahkan, baju motif batik yang mencirikan budaya tradisional Indonesia ternyata dinilai belum mampu menutupi kesenjangan sosial antarsiswa. Menanggapi hal ini, benarkah perilaku seseorang ditentukan dari seragam? Lantas, akankah kebijakan ini dapat mewujudkan persatuan antarpeserta didik?

Tanggapan Publik

Kebijakan ini menuai respons yang berbeda dari masing-masing orang tua murid. Ada yang setuju dan ada pula yang menolak. Bagi yang setuju, mereka menilai bahwa kebijakan ini cukup bagus karena dapat melestarikan budaya daerah masing-masing. Mereka berpendapat bahwa dengan memakai pakaian adat, maka secara tidak langsung akan mengangkat ikon budaya daerah. Terakhir, kebijakan ini dinilai dapat meningkatkan rezeki dan pendapatan bagi para penjual baju adat.

Sementara itu, pihak orang tua yang tidak setuju menilai bahwa kebijakan ini justru hanya menambah beban ekonomi bagi mereka. Terutama bagi orang tua yang memiliki anak bersekolah lebih dari satu. Aturan ini justru membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli seragam adat, di saat kondisi perekonomian yang tidak menentu. Pasalnya, harga seragam adat lebih mahal dibandingkan seragam biasa, karena proses pengerjaannya dibutuhkan teknik khusus, waktu lama, dan jumlahnya terbatas.

Publik juga menilai bahwa aturan ini justru merepotkan putra-putri mereka. Bayangkan, bagaimana repotnya saat belajar dan bermain dengan memakai baju adat lengkap dengan atributnya? Apalagi ada siswa-siswi yang menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Bukankah seharusnya seragam sekolah lebih mengutamakan kenyamanan siswa-siswi?

Bahkan, sebagian pihak justru mengkritik kebijakan ini. Perlu dipahami oleh pemerintah, khususnya Mendikbudristek bahwa peningkatan kesetaraan dan persatuan di antara siswa tidak akan terwujud hanya lewat baju adat. Kebijakan ini justru akan memperlihatkan ketimpangan sosial dan ekonomi antarsiswa. Melalui kualitas dari baju adatnya pun akan sangat terlihat antara siswa yang tidak mampu dan siswa yang mampu. Jelas ini akan menimbulkan ketimpangan, bukan kesetaraan apalagi persatuan.

Ditambah lagi, jika masing-masing Pemda menentukan model pakaian adat yang sesuai dengan daerah masing-masing. Bukankah hal ini berpotensi memicu fanatisme kedaerahan? Semula tujuan seragam pakaian adat ini dalam rangka mempersatukan, justru akan memicu perbedaan dan persaingan antardaerah, akibat masing-masing pihak saling bersaing menonjolkan budaya atau adatnya.

Aroma Sekularisme di Balik Kebijakan

Mencermati tujuan diberlakukannya aturan pakaian adat menjadi seragam sekolah, ada beberapa hal yang perlu kita kritisi antara lain:

Pertama, seolah-olah ada upaya membenturkan agama dan budaya. Meskipun dalam Permendikbudristek menyebutkan bahwa pemakaian adat sebagai seragam sekolah harus memperhatikan hak siswa dalam menjalankan agama, namun faktanya banyak baju adat yang tidak sesuai syariat Islam, khususnya bagi muslimah.

Kedua, aturan ini secara tidak langsung akan menuai polemik bagi seorang muslim. Apalagi, belum lama ini pernah terjadi kasus, di mana ada pihak yang mengeklaim bahwa jilbab adalah budaya bangsa Arab dan dianggap tidak sesuai dengan kearifan lokal di negeri ini. Maraknya islamofobia ini, secara tidak langsung memicu pihak-pihak tertentu untuk mempersoalkan identitas agama seseorang jika ia memaksakan memakai pakaian adat sesuai syariat Islam.

Dalam Islam, adat dan budaya boleh berlaku selama tidak bertentangan dengan syariat, karena seorang muslim wajib terikat dengan hukum Allah Swt. Artinya, pakaian adat tidak seharusnya mengikis keterikatan seorang muslim dengan syariat Islam. Jika memang pakaian adat tersebut tidak syar’i, maka seorang muslim wajib meninggalkannya, bukan malah memaksakan diri.

Ditambah lagi, kebijakan ini terkesan kontradiktif dengan tujuan utama pendidikan, yakni membentuk generasi berkarakter mulia dan baik. Dalam pandangan Islam, seragam tidak memengaruhi kepribadian seseorang, karena kepribadian sejatinya dibentuk dari pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan syariat Islam. Artinya, setiap muslim, baik seorang pelajar maupun guru sudah seharusnya terikat dengan hukum Islam.

Bukti Gagalnya Sistem Pendidikan Sekuler

Melihat banyaknya problem pendidikan yang belum tuntas seperti degradasi moral, kekerasan antarpelajar, sarana dan prasarana yang kurang memadai, kesejahteraan guru yang masih timpang, dan semua ini jika dibandingkan dengan urusan seragam justru lebih urgen dan genting untuk segera dituntaskan. Namun kenyataannya, pemerintah sebagai penanggung jawab utama belum bisa memberikan solusi yang signifikan hingga hari ini. Kebijakan yang dibuat justru kontras dengan visi dan misi yang digaungkan selama ini.

Kebijakan silih berganti, namun kualitas pendidikan di negeri ini masih jauh dari kata sempurna. Berdasarkan survei pada tahun 2021 oleh World Population Review, Indonesia mendapatkan peringkat ke-54 dari 78 negara untuk kategori tingkat kualitas pendidikan dunia. Survei ini menjadi bukti bahwa kualitas pendidikan Indonesia sangat rendah. Kenyataan pahit terpaksa dirasakan orang tua murid bahwa pendidikan saat ini tidak mampu menjamin masa depan putra-putri mereka menuju kehidupan yang lebih baik, karena kualitas output- nya yang rendah.

Berdasarkan hasil survei yang dirilis HSBC, Indonesia berada di posisi ke-13 sebagai negara dengan pengeluaran biaya pendidikan tertinggi dunia. Dengan ini, Indonesia merupakan negara ke-3 di Asia Tenggara yang biaya pendidikannya tertinggi setelah Singapura dan Malaysia, di mana rata-rata biaya yang dihabiskan sejak SD hingga tingkat perguruan tinggi sebesar Rp257.908.000.

Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan ribuan anak negeri terpaksa harus putus sekolah. Dalam buku karya Muhammad Ali yang bertajuk “Pendidikan untuk Pembangunan Nasional” tertulis bahwa data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan mayoritas (76%) anak putus sekolah akibat masalah ekonomi, di mana 67% karena tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya terpaksa harus berhenti sekolah karena harus bekerja mencari nafkah. Kenyataan ini seharusnya bukan hanya menjadi masalah keluarga yang bersangkutan, namun juga menjadi permasalahan negara. (Detikedu, 02/09/2022)

Fakta ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia masih menjadi barang mahal untuk sebagian rakyat. Mirisnya, mahalnya biaya pendidikan berbanding terbalik dengan kualitasnya, di mana fasilitas, sarana, dan prasarana belum bisa tersedia secara cukup dan memadai. Ditambah lagi kurikulum sebagai acuan proses pendidikan masih kabur, dan pendidik berkualitas masih belum terpenuhi seiring dengan minimnya tingkat kesejahteraan guru.

Inilah hal mendasar yang menjadi kunci permasalahan pendidikan yang wajib dituntaskan oleh negara. Sistem sekuler menyebabkan kerusakan yang terjadi hampir di seluruh komponen pendidikan tanpa terkecuali. Memperbaiki kualitas pendidikan harus dilakukan secara total dengan mengubah sistem pendidikan di negeri ini. Sekadar perubahan kurikulum maupun pergantian kebijakan ternyata tidak dapat menyelesaikan seabrek masalah yang menimpa dunia pendidikan saat ini.

Seputar Sistem Pendidikan Islam

Sistem pendidikan sekuler terbukti tidak mampu melahirkan generasi berkualitas, berpola pikir, dan berperilaku Islami. Sebab, kurikulumnya jelas memisahkan agama dari kehidupan. Hasilnya sudah bisa ditebak, lahirlah pemuda dengan karakter pragmatis, rapuh, dan bergaya hidup ala kapitalis yang hedonis akibat terkontaminasi pemikiran sekuler.

Sebaliknya, syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah Swt. telah berhasil mewujudkan persatuan hakiki dan merekatkan keberagaman di bawah naungan Khilafah, dalam ikatan akidah yang kokoh. Rasulullah Muhammad saw. telah memberi teladan terbaik, mampu menyatukan dan membangun masyarakat dalam ikatan akidah tanpa memandang ras, suku, budaya, negara, dan lain sebagainya. Syariat Islam kaffah dapat membawa rahmat bagi semesta, bukan khusus untuk umat Islam saja.

Dalam sistem pemerintahan Islam, pendidikan merupakan tombak peradaban negara. Pendidikan yang baik akan melahirkan generasi unggul, dan pendidikan yang buruk menyebabkan negara kekurangan SDM unggul dan berakhlak mIslam Rasulullah Muhammad saw. bersabda dalam riwayat Ibnu Majah yang artinya, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. Dari hadis ini jelas bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu, karena pendidikan memiliki peranan besar dalam rangka menjaga tsaqafah umat dan ideologi Islam.

Oleh karena itu, masalah pendidikan harus diatasi dari dasar, mulai dari penanaman akidah yang benar dan menata ulang paradigma serta visi misi pendidikan sebagai pencetak generasi unggul dan beradab. Jika masalah akidah dan kepribadian generasi telah tuntas, barulah bicara perkara cabang lainnya.

Kemudian, kebijakan negara secara sistemis akan mendesain sistem pendidikan sebaik mungkin beserta seluruh sistem pendukungnya. Mulai dari media, tenaga pendidik, riset, industri, tenaga kerja, sampai pada tataran politik luar negeri, semua akan diatur secara bijak. Negara benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan, tentu berusaha melahirkan generasi yang unggul.

Dalam Daulah Islam, negara wajib menyediakan kebutuhan primer untuk seluruh rakyatnya tanpa terkecuali. Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menuntut ilmu sehingga kesempatan pendidikan dibuka seluas mungkin. Khilafah wajib menyediakan infrastruktur pendidikan dan fasilitas yang cukup dan memadai, seperti gedung sekolah, balai penelitian, laboratorium buku pelajaran, dan lain sebagainya. Semua itu tentu saja diperoleh secara gratis.

Pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya bisa terealisasi secara menyeluruh akibat penerapan sistem ekonomi yang sesuai syariat Islam. Selain itu, negara akan mencegah pendidikan sebagai ladang bisnis atau komoditas ekonomi, sebagaimana realitas di dalam sistem pendidikan sekuler-kapitalis.

Khatimah

Sistem sekuler terbukti banyak melahirkan permasalahan pada dunia pendidikan saat ini. Namun anehnya, kebijakan dan aturan yang dibuat tidak memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menangani inti permasalahannya. Sekadar perbaikan dan perubahan kebijakan terbukti tidak mampu mewujudkan generasi yang unggul dan mulia, maka perlu adanya perubahan total pada sistem pendidikan di negeri ini. Sebaliknya, sejarah membuktikan selama 1.400 tahun, sistem pemerintahan Islam berhasil memberikan pendidikan terbaik serta melahirkan generasi unggul bagi peradaban manusia. Sekarang, saatnya giliran kita memperjuangkan dan membuktikan pada dunia betapa indahnya syariat Islam kaffah itu.
Wallahu a’lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Penjagaan Kehormatan melalui Kebijakan Setengah Hati
Next
Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Belajar
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram