"Hukum Indonesia yang berkiblat pada Barat, tentu tak lepas dengan ideologi yang dianut Barat, yakni kapitalisme. Prinsip kapitalisme yang berupa asas manfaat menjadi daya tarik besar untuk memuluskan segala hawa nafsu menjadi kenyataan. Meski dalam prosesnya, banyak mendulang kemaksiatan."
Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Berbicara tentang sistem peradilan di Indonesia, tentu khalayak akan setuju jika sistem peradilan saat ini sedang rusak. Keadilan bagai fatamorgana apalagi bagi kaum papa. Hingga tebersit selintas pemikiran bahwa peradilan hanya diperuntukkan bagi yang terpandang. Jika seperti ini, layakkah hukum rusak dipertahankan? Lantas, adakah sistem peradilan yang layak menggantikannya?
Pandangan rusaknya sistem peradilan tentu datang dengan fakta lapangan. Kasus kebakaran Lapas Kelas 1 Tangerang September lalu, menyisakan bara sengketa. Buntut dari tewasnya puluhan narapidana, muncul surat pernyataan yang dibuat Menkumham untuk ditandatangani keluarga korban. Yang menjadi sorotan, negara seolah tak mau disalahkan. Surat pernyataan pun diberikan di bawah 'tekanan', meminta keluarga korban tak melayangkan tuntutan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Kemenkumham sendiri. (cnnindonesia.com, 1/11/2021)
Sorotan tak hanya berhenti di sana, kebobrokan sistem peradilan lainnya pun ditunjukkan oleh aparat. Dilansir dari cnnindonesia.com (Senin 1/11/2021), mantan narapidana Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, mengaku jika ia beserta puluhan tahanan lainnya kerap dianiaya oleh petugas Lapas. Siksaan mulai dari yang ringan hingga berat, bahkan sampai pada pelecehan seksual pernah diterima.
Sistem peradilan yang seharusnya memberi keadilan, juga sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam menyolusi persoalan malah terkesan arogan. Ketimpangan juga kerap dipertontonkan tatkala rakyat miskin dan oposisi yang duduk di kursi pesakitan. Lantas, apakah sistem peradilan semacam ini yang hendak dipertahankan?
Makelar Kasus dan Mafia Hukum
Bukan rahasia lagi bahwa sistem peradilan di negara ini dalam kondisi rusak. Hal senada juga disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L, saat peluncuran buku "Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan 'Fungsi Manajemen Mahkamah Agung terhadap Pengadilan di Bawahnya setelah Perubahan UUD 1945" yang berlokasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Beliau mengatakan bahwa hukum di Indonesia dalam keadaan kacau. Tak hanya penegakan hukum bahkan pelayanan hukumnya juga bermasalah.
Jika diperhatikan lebih dalam, sistem peradilan di Indonesia rusak disebabkan banyaknya makelar kasus atau mafia hukum. Masyarakat tentu sudah sadar jika sistem peradilan di negeri ini telah ternodai tindakan-tindakan yang tak mencerminkan sikap keadilan. Namun betapa pun masyarakat lelah dengan segala sandiwara yang dipertontonkan, kesulitan dalam mengungkapnya bagai mencari jarum ditumpukan jerami.
Adanya makelar kasus atau mafia hukum ini bisa terjadi di sepanjang proses peradilan, mulai dari proses penyidikan hingga terakhir pemasyarakatan. Tujuan dari adanya makelar kasus adalah untuk memenangkan perkara yang diinginkan, menjebloskan pesaingnya ke dalam penjara, atau sekadar agar pesaingnya berurusan dengan penegak hukum.
Makelar kasus sendiri identik dengan penggunaan uang dan kekuasaan dalam memuluskan aksinya. Tentu yang dapat keistimewaan adalah orang berpendapatan fantastis saja. Lantas terkesan hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Akhirnya, masyarakat pun hilang kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum. Mulai dari polisi hingga peradilan. Kesucian lembaga peradilan pun mulai luntur di mata masyarakat.
Sebab jamak diberitakan polisi yang tertangkap tangan menerima bayaran ilegal. Contoh paling akurat adalah kasus Djoko Chandra, yang tak hanya menyeret polisi, bahkan sekelas jaksa pun tergiur dengan kucuran dolar. Dua Jenderal polisi, yakni Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo menjadi tersangka pengecekan red notice dan penghapusan DPO (Daftar Pencarian Orang) atas nama Djoko Chandra. (cnnindonesia, 10/03/2021)
Tak cukup di sana, pemulusan kasus juga menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ia didakwa menerima suap, tindak pidana pencucian uang, dan pemufakatan jahat dalam kasus Djoko Chandra. Pengadilan pun memutuskan 10 tahun penjara dan denda sebesar 600 juta rupiah. Namun putusan tersebut dengan mudah diturunkan dalam ajuan banding Pinangki ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Merosotnya masa tahanan menjadi 4 tahun dan denda 600 juta rupiah pun masih menyisakan tanda tanya.
Kasus tersebut berbelok tajam jika tersangka adalah rakyat kecil maupun rakyat yang bersikap kritis terhadap kebijakan negara. Sebut saja mbah Minah dengan kasus semangkanya, kakek Samirin yang mengambil sisa getah pohon karet, juga para pendakwah yang lantang mengkritik kebijakan seperti Gus Nur, dan Habib Rizieq Shihab. Inilah wajah lain dari sistem hukum di negeri ini, sistem hukum yang diadopsi dari Barat dengan kapitalismenya.
Kapitalisme Mendukung Keberadaan Mafia Hukum
Hukum Indonesia yang berkiblat pada Barat, tentu tak lepas dengan ideologi yang dianut Barat, yakni kapitalisme. Prinsip kapitalisme yang berupa asas manfaat menjadi daya tarik besar untuk memuluskan segala hawa nafsu menjadi kenyataan. Meski dalam prosesnya, banyak mendulang kemaksiatan.
Aturan perolehan harta yang tidak diatur, memungkinkan manusia untuk mencari harta dengan berbagai jalan. Tak peduli menabrak aturan, asal dolar sudah di tangan semua bisa lancar. Bahkan, korupsi bisa menjadi jalan lain mencari rezeki asal tidak ketahuan. Sedemikian bobroknya sistem ini namun masih dipercaya sebagai penyelamat dunia.
Sistem Peradilan dalam Islam
Islam datang tak hanya mengenalkan manusia kepada Tuhannya, namun Islam juga mengenalkan manusia pada aturan-aturan Tuhannya yang berupa syariat Islam. Sejak diutusnya Nabi Muhammad saw. syariat Islam sudah pakem menjadi hukum yang mengikat seluruh kaum muslim. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 50 yang berbunyi, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Bahkan, dalam ayat lain Allah mengecam orang-orang yang tidak menggunakan syariat Islam sebagai hukum dengan sebutan zalim. “Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (Al-Qur’an) maka merekalah para pelaku kezaliman.”
Keadilan yang bagai barang mewah di negeri ini, statusnya akan berubah dalam aturan Islam. Karena adil menjadi salah satu sifat yang harus ada dalam diri individu bahkan negara. Maka bisa dikatakan Islam dan keadilan adalah satu.
Islam mempunyai sistem sanksi (uqubat) sebagai sarana pengadilan ketika manusia lalai dan berlaku maksiat. Uqubat sendiri dapat diklasifikasi dalam hudud, takzir, dan mukhalafat.
Pertama, hudud. Ia adalah sanksi yang kadarnya sudah ditetapkan Allah, seperti potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhson. Kedua, takzir. Sedangkan takzir adalah sanksi yang ditetapkan oleh kadi atau khalifah sendiri dengan ijtihad mereka. Sanksi ini bisa berbeda dilihat dari situasi dan kondisi, berbeda dengan hudud yang sudah paten tidak dapat diubah. Terakhir adalah mukhalafat, yakni sanksi yang diberikan kepada orang yang menentang keputusan atau perintah khalifah, sedang khalifah memerintahkan kepada kemakrufan. Maka menyelisihi khalifah termasuk kemaksiatan yang ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 59. “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu”.
Dengan ketaatan pada sistem hukum Islam, manusia mendapat manfaat yakni sebagai zawajir (pencegah). Sebab Islam akan menghukum pelaku kemaksiatan dengan setimpal tanpa melihat status. Kaya atau nasab bukan menjadi alasan tawar menawar hukum yang berlaku. Selain itu, pemberlakuan hukum Islam juga akan menjadi jawabir atau penebus dosa. Hingga manusia yang bermaksiat jika di hukum sesuai dengan syariat Islam di dunia, maka ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kemaksiatan tersebut di akhirat.
Tentu, semua sistem hukum akan menjadi kosong jika pemangku hukum tidak amanah. Inilah kelebihan yang dimiliki Islam dari pada ideologi lain. Karena jika Islam diterapkan secara sempurna, maka akidah kaum muslim akan dijaga. Akhlak akan dibina menjadi insan yang mulia, taat pada syariat Islam secara sempurna. Maka kejadian suap-menyuap yang sering terjadi di sistem kapitalis dapat tereduksi dengan nyata. Allahu a’lam bis-showwab.[]