Polemik PCR, Betulkah Menjamin Keamanan Ketika Berpergian?

"Belum lagi masyarakat harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit demi mendapatkan selembar kertas yang bertuliskan, 'negatif'. Tak jarang hal ini dijadikan sebagai ladang bisnis."

Oleh. Irsad Syamsul Ainun

NarasiPost.Com-Perjalanan kesuatu daerah bisa dipicu oleh banyak hal. Di antaranya urusan pekerjaan, kembalinya seseorang ke kampung halaman, perjalanan medis dan lain-lain.

Sejak adanya pandemi Covid-19, urusan perjalanan seakan menjadi tugas yang harus dipikirkan. Pasalnya, sejumlah aktivitas keluar daerah mewajibkan adanya tes antigen, yang kemudian berganti ke PCR (Polymerase Chain Reaction).

Adanya tes PCR ini kemudian menjadi salah satu syarat wajib bagi pelaku perjalanan yang menggunakan transportasi udara dan laut. Akan tetapi pemberlakuan ini kemudian menjadi salah satu bentuk keresahan di tengah masyarakat. Pasalnya, di samping keterbatasan tempat penyedia layanan, harga yang ditetapkan pun meroket.

Hingga tak heran banyak pihak yang lagi-lagi menunda perjalanan atau bahkan menggunakan jasa lain. Meski demikian, kebijakan pemerintah akan adanya PCR bukannya dihilangkan akan tetapi justru statusnya menjadi wajib untuk seluruh pelaku perjalanan dalam mode transportasi. Hal ini diungkapkan sebagai salah satu bentuk perhatian sekaligus bentuk komitmen untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 di tanah air. Dilansir dari laman Kompas.com, (21/10/2021), "Selain itu, Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Alexander Ginting mengatakan bahwa kebijakan itu diubah untuk mencegah penularan virus corona ketika mobilitas mulai meningkat."

"Mencegah penularan di kala mobilitas mulai meningkat," ujar Alex saat dihubungi secara terpisah. Jika setiap pelaku perjalanan diwajibkan untuk menggunakan tes PCR ini, dengan alasan sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19, benarkah hal ini akan efektif?

Jauh sebelum pemberlakuan tes PCR sebagai syarat perjalanan, tes antigen pun diberlakukan. Akan tetapi kenyataan di lapangan bukannya mengurangi jumlah penderita pasien Covid-19. Malah semakin meningkat setiap harinya. Belum lagi masyarakat harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit demi mendapatkan selembar kertas dengan tulisan, 'negatif'. Tak jarang hal ini dijadikan sebagai ladang bisnis.

Sejumlah kalangan rela membayar mahal asal tak melakukan tes. Bagaimana dengan mereka yang memiliki modal sedikit? Indonesia dikatakan sebagai negeri dengan kekayaan yang melimpah, akan tetapi untuk masalah kesehatan sahaja, mereka harus mengeluarkan modal besar.

Kebijakan serupa pun kerap dikeluarkan dengan alasan untuk mencegah penularan Covid-19. Namun hasilnya lagi-lagi bukannya menguntungkan, malah berujung buntung. Kebijakan ini terus digulirkan di tengah masyarakat, yang konon katanya demi keselamatan bersama.

Jika kebijakan tes PCR demi meningkatkan kapasitas penumpang pesawat dan mencegah penyebaran Covid-19, lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat? Sudahkan pemerintah memikirkan cara yang lebih efektif untuk mencegah penyebaran virus Covid-19?

Sampai hari ini kebijakan Tes PCR dengan beragam variasi harga, lagi-lagi menuai pro kontra. Pasalnya, jika sebelumnya biaya tes ada di kisaran Rp3 juta sampai Rp500 ribu masih menyisakan utang bagi penyedia layanan, bagaimana dengan harga Rp300 ribu?

Pun dengan biaya Rp300 ribu bukan jaminan bahwa rakyat bisa mengaksesnya. Belum lagi dengan kelangkaan tempat layanan dan waktu yang notabene hanya berlaku 1x24 jam. Ini berarti setiap hendak berganti transportasi maka harus melakukan tes. Adakah langkah yang telah ditetapkan pemerintah yang hasilnya menyejahterakan rakyat?

Jawabannya, lagi-lagi tidak! Di tengah kebuntungan ini adakah solusi yang efektif sekaligus aman? Tentu saja. Satu-satunya solusi ialah mengganti sistem dengan aturan yang lebih paripurna, yang tak lain adalah solusi Islam kaffah.

Di tengah terjangan badai bencana seperti wabah Covid-19, solusi bagi Islam ialah seperti yang disabdakan Rasulullah saw.,
"Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Inilah metode yang ditetapkan Rasulullah. Metode ini tentu saja bukan hanya menyelamatkan mereka yang berada dalam wilayah yang terserang wabah, akan tetapi di luar pun mendapatkan keselamatan yang sama. Pun dengan masalah pengobatan dan biaya hidup. Dalam penerapan sistem Islam, jaminan kesehatan bagi rakyat menjadi tanggung jawab negara. Jadi tidak ada istilah perdagangan di atas penderitaan rakyat. Apalagi kebijakan untung-buntung yang diperjualbelikan di tengah keterpurukan.

Kesejahteraan dan layanan kesehatan tersebut tak akan mungkin terwujud selama sistem yang rusak masih bercokol di negeri ini. Sebab sistem hari ini dikendalikan oleh mereka yang bermodal. Rakyat dibiarkan hidup terombang-ambing, dan penguasa makin sejahtera.

Wallahu'alam bi ash-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Irsad Syamsul Ainun Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mendamba Keluarga Sakinah Mawadah Warahmah
Next
Mulianya Kedudukan Ibu di Dalam Sistem Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram