"Sistem sekuler telah memengaruhi gaya hidup bahkan cara berpikir masyarakat. Standar baik dan buruk bersifat relatif dan bisa berubah-ubah. Bahkan, setiap orang bisa membuat standar kebenaran menurut cara pandangnya sendiri, termasuk dalam pendefinisian kekerasan seksual yang tertuang dalam Permendikbud."
Oleh. Novianti
NarasiPost.Com-Baru-baru ini, Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, kembali membuat kontroversi. Ia menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Aturan ini dimuat dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditandatangani pada 31 Agustus 2021.
Ada faktor-faktor yang melatarbelakangi kemunculannya. Menurut Bapak Menteri, kekerasan seksual adalah salah satu bentuk penjajahan di lingkungan pendidikan yang mengancam kemerdekaan belajar, termasuk di perguruan tinggi. Dengan adanya aturan ini, setiap perguruan tinggi dapat membentuk Satgas Kekerasan Seksual dan memberikan sanksi bagi pelakunya.
Namun, alih-alih mendapat dukungan, malah keputusan Menteri ini menuai banyak kritikan. Permendikbud tersebut dipandang beraroma liberalisme yang justru melegalkan perzinaan dan penyimpangan perilaku seksual. Ini terkait pencantuman frasa ‘persetujuan korban’ di pasal 5 ayat 2.
Beberapa aktivitas disebutkan dalam permendikbud dikategorikan kekerasan seksual jika tanpa persetujuan. Pemuatan frasa tersebut, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.
Kritikan Masyarakat
Pimpinan Pusat Muhammadiyah langsung bersikap tegas. Lembaga ini meminta peraturan dicabut dengan alasan keputusan tersebut justru melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas. (republika.co.id, 0/11/2021)
Rumusan norma kekerasan seksual dalam permendikbud bisa menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama tetapi persetujuan dari pihak pelaku. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, maka penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun di luar pernikahan.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes, juga mendesak agar aturan dicabut karena mengakomodasi pembiaran praktik zina dan hubungan sesama jenis. Aturan ingin menghilangkan kekerasan seksual di kampus, tetapi sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan asusila termasuk praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis (LGBT). (liputan6.com, 09/11/2021)
Maraknya Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan seksual memang memerlukan perhatian karena jumlahnya masih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Sementara hingga Juni 2021 terdapat 1.902 kasus. (antaranews.com, 04/06/2021)
Perguruan tinggi juga tidak lepas dari kasus tersebut meski tampaknya adem ayem. Hal ini dikarenakan banyak korban yang tidak melapor, demikian menurut Ketua Subkomisi Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah. Dalam catatan Kemendikbud Ristek, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, lalu 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya itu. (tempo.co, 31/10/2021)
Mereka bahkan enggan membicarakan kejadian dan memilih melupakan meskipun secara psikologis mereka terganggu dan mengalami trauma berkepanjangan. Sebagian besar pelakunya adalah mahasiswa, lalu diikuti oleh dosen.
Sistem Sekuler Menyuburkan Kekerasan Seksual
Meningkatnya kasus kekerasan seksual seharusnya menjadi alarm terutama bagi para pemangku kebijakan. Apalagi jika terjadi di lingkungan kampus, tempat bagi sekelompok manusia yang dianggap terdidik. Namun, persoalan ini tidak bisa dilihat secara parsial karena kampus adalah bagian dari sistem pengaturan oleh negara ini yang menerapkan sistem sekuler.
Sistem sekuler telah memengaruhi gaya hidup bahkan cara berpikir masyarakat. Standar baik dan buruk bersifat relatif dan bisa berubah-ubah. Bahkan, setiap orang bisa membuat standar kebenaran menurut cara pandangnya sendiri, termasuk dalam pendefinisian kekerasan seksual yang tertuang dalam Permendikbud.
Definisi kekerasan seksual dalam aturan tersebut adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal. Definisi ini sama sekali tidak menyinggung praktik perzinaan dan peyimpangan perilaku seksual yang makin marak dan seharusnya menjadi perhatian.
Dalam Islam hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar pernikahan dan hubungan sesama jenis termasuk kategori pelanggaran, meski dilakukan atas dasar kerelaan dari pelakunya. Namun, permendikbud terkesan melindungi praktik-praktik semacam itu karena sah-sah saja selama atas dasar suka sama suka. Maraknya kekerasan seksual bukan hanya persoalan inidividu, misal seseorang tak mampu menjaga diri. Atau disebabkan adanya diskiriminasi gender dan relasi kuasa yang timpang sebagaimana yang tertuang dalam permendikbud, melainkan akibat penerapan sistem sekuler liberal, sistem yang menjadikan ruang gerak manusia hampa dari sentuhan agama.
Manusia dibiarkan bebas atas nama hak asasi manusia. Dengan konsep ini, antarindividu dengan individu lainnya menjadi enggan saling mengingatkan meski untuk perbuatan yang melanggar prinsip agama. Pandangan inilah yang mewarnai permendikbud dan senapas dengan RUU Kekerasan Seksual yang sebelumnya sudah menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat.
Sistem Islam vs Sistem Sekuler
Sistem sekuler adalah biang kerok dari maraknya kekerasan seksual, sehingga selama sistem ini masih dipertahankan, undang-undang apa pun tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan kekerasan seksual. Satgas Kekerasan Seksual tidak memiliki kekuatan untuk mencegah bertambahnya korban. Sistem sekuler terus membiarkan bahkan memproduksi stimulasi-stimulasi yang memancing naluri seksual. Setiap orang bisa berekspresi, baik dalam penampilan, bergaul termasuk dalam menyalurkan hasrat seksual sesuai keinginannya. Alhasil, kekerasan seksual akan terus terjadi seiring dengan kerusakan-kerusakan lainnya yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat. Keimanan terkikis, kepribadian terus tergerus, dan keberlangsungan kehidupan manusia akan terancam.
Padahal sekiranya umat Islam ini berpikir jernih dan menggali Islam, pasti akan ditemukan solusi bagi permasalahan ini. Bahkan, tidak hanya solusi tetapi Islam memberikan perlindungan berlapis mulai dari pencegahan dari lingkup keluarga hingga negara. Pencegahan dalam bentuk seperangkat aturan seperti cara berpakaian dan bergaul. Ada aturan dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Misal, orang tua harus memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan ketika sudah memasuki usia 10 tahun. Anak harus meminta izin di waktu-waktu tertentu saat memasuki kamar orang tua. Dalam lingkungan masyarakat, kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah.
Lapisan berikutnya adalah penerapan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran seperti pelaku zina dan penyuka sesama jenis. Sanksi tersebut untuk memberi efek jera bagi pelaku dan kelak menjadi penebus dosa bagi dirinya di yaumul hisab. Terlihat bagaimana syariat Islam melindungi agama, akal, jiwa, dan keturunan. Syariat Islam merupakan bentuk kasih sayang Allah agar manusia tidak perlu disibukkan membuat atau merevisi undang-undang yang memakan tenaga, waktu, dan biaya seperti sekarang. Akal manusia terbatas, sampai kapan pun jika kehidupan ini bertumpu pada aturan produk manusia, berbagai persoalan termasuk kekerasan seksual akan terus terjadi.[]