Pendekatan Militer Gagal, Dialog Dilancarkan Papua Butuh Solusi Mengakar bukan Parsial

"Kemiskinan yang terjadi di Papua bukanlah disebabkan karena keterbelakangan yang selama ini digaungkan, namun kemiskinan sistematik akibat tata kelola kapitalistik."

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Persoalan Papua sudah bertunas pada awal sejarah pembentukannya. Belanda yang masih menginginkan Papua sebagai jajahannya, menuntut Indonesia membawa persoalan Papua ke ranah internasional. Hingga akhirnya United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dibentuk dalam perjanjian New York pada 15 Agustus 1962. Dalam perjanjian ini, Papua akan kembali ke pangkuan Nusantara jika Indonesia melakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Beruntung, 1.025 rakyat Papua masih ingin berada dalam buaian nusantara. Pada 19 Desember 1969 ketok palu PBB pun memutuskan bahwa Papua masih menjadi bagian dari Indonesia.

Sayangnya, konflik demi konflik terjadi di tanah Cenderawasih. Bahkan hingga kini, konflik semakin tak terlihat muaranya. Ratusan nyawa baik dari TNI, rakyat sipil maupun separatis Papua telah tewas akibat perselisihan yang tiada akhir. Pendekatan militer yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat, dengan mengirim Tentara Negara Indonesia (TNI) untuk mengamankan gerakan separatis Papua atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) nyatanya tak memberi hasil yang memuaskan. Bahkan peluru itu berbalik, sebagian rakyat Papua malah geram dengan pendekatan militer yang dilakukan pemerintah.

Baru-baru ini, dilansir dari nasional.tempo.com (15/11/2021) bahwa Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih, Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono telah memberikan dukungannya, apabila pemerintah ingin melakukan pendekatan dialog dalam penyelesaian konflik di Papua. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya pun lelah dengan aksi baku hantam yang semakin intens, sebab korban jatuh tak hanya dari pihak kriminal bersenjata, namun banyak prajurit TNI yang juga gugur. Ia menganggap bahwa persoalan Papua sesungguhnya bukan masalah keamanan, namun akar masalahnya adalah kesejahteraan.

Dengan demikian, lantas benarkah dialog dapat menjadi jalan pintas terselesaikannya persoalan di Papua?

Dialog

Ketika kita tarik sejarah dialog pemerintah dengan Papua, akan kita dapati bahwa dialog sudah sering dilakukan oleh pemerintah pusat dengan perwakilan rakyat Papua. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pada 30 Desember 1999 dialog dilakukan. Beliau mendengar keluh kesah perwakilan berbagai tokoh di Papua, tak ketinggalan OPM pun juga ikut serta dalam dialog tersebut. Hasil yang paling terkenal dari dialog tersebut adalah perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. Sayangnya, konflik masih terjadi meski telah terjadi dialog dengan orang nomor satu kala itu.

Demikian pada era pemerintahan Joko Widodo, Presiden Jokowi juga pernah mengadakan sesi dialog dengan perwakilan tokoh rakyat Papua. Pada tanggal 10 September 2019, Jokowi mengundang setidaknya 61 perwakilan tokoh dari seluruh elemen masyarakat Papua ke Istana Presiden di Jakarta. Namun, menurut Yan Christian Warinussy, pegiat hak asasi di Papua mengatakan bahwa tokoh yang diundang oleh Jokowi adalah tokoh-tokoh yang pro-pemerintah. Ia menambahkan seharusnya tokoh yang kontra dengan pemerintah juga di undang, untuk mendengar keinginan mereka, karena mereka juga anak bangsa yang harus didengar suaranya agar perdamaian segera terlaksana.

Hasil dari pertemuan tersebut, adalah sepuluh aspirasi. Sayangnya menurut Yan, sepuluh aspirasi tersebut tidak menyentuh akar persoalan di Papua. Hingga sampai saat ini, Papua masih bergejolak (bbc.com, 10/9/2019). Dialog kali ini yang disebut sebagai dialog Jakarta-Papua pun masih belum menemukan titik terang. Apa saja yang dibahas, siapa yang hadir, hingga tujuan yang hendak dicapai masih dalam rumusan.

Meneropong Akar Masalah Konflik Papua

Sejatinya tuntutan masyarakat Papua hanyalah pengakuan dan kesejahteraan. Pulau paling timur ini, merasa terasing sebagai bangsa Indonesia. Tak jarang, banyak tokoh Papua mengatakan bahwa Papua merasa dianaktirikan. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Anggota DPR Komisi I dari Fraksi PKS, Sukamta. Beliau berpendapat bahwa akar permasalahan Papua adalah rasialisme dan diskriminasi yang terjadi pada rakyat Papua, pelanggaran HAM, pembangunan yang belum berhasil menyejahterakan masyarakat, juga status dan sejarah Papua itu sendiri (dpr.go.id, 12/1/2021).

Rakyat Papua adalah pemilik dari kekayaan sumber daya alam, namun kekayaan itu tak dapat dinikmati oleh warga, segala mineral yang tertanam di dalam tanah, hasil bumi yang melimpah, juga kondisi alam yang menjadi titik pariwisata mancanegara, nyatanya tak dapat mengentaskan Papua dari kemiskinan. Sebab mereka bukanlah penguasa dari tanahnya, namun para kapitalis, baik lokal maupun internasional.

Kemiskinan yang terjadi di Papua bukanlah disebabkan karena keterbelakangan yang selama ini digaungkan, namun kemiskinan sistematik akibat tata kelola kapitalistik. Sumber daya alam yang harusnya menjadi hak rakyat, harus rela dijarah atas nama investasi. Kapitalisme yang tak mengenal hak milik, terus menggerus kekayaan yang melimpah di bumi Cenderawasih.

Sedangkan hal sebaliknya malah terjadi pada pemilik sahnya. Kemiskinan dan keterbelakangan akhirnya memantik percikan ‘rasa’ hingga bergejolak menuntut keadilan. Kemiskinan ini menurut databoks.katadata.co.id, 16/7/2021, di Papua merupakan nomor satu di Indonesia. Sekitar 920 ribu jiwa atau 26,86 persen hidup dalam kekurangan. Sedangkan Papua Barat, mereka mempunyai sekitar 21,84 persen warga yang berada pada garis kemiskinan.

Pembangunan pun dinilai lebih bermanfaat bagi para kapitalis daripada rakyat Papua sendiri. Sebab, masih banyak rakyat yang belum bisa mengakses pendidikan dan kesehatan. Bahkan, di sana masih terdapat suku yang tak tersentuh peradaban. Puluhan tahun rakyat hanya mendengar bahwa tanahnya mengandung emas, namun untuk menikmatinya, jauh panggang dari api.

Hal ini juga diperparah dengan janji-janji yang diberikan para penguasa negeri yang dianggap berserakan tak bisa dikumpulkan kebenarannya. Yang awalnya memupuk angan masyarakat Papua akan kesejahteraan, namun angan hanya tinggal angan. Janji itu hingga kini tak tersampaikan. Bahkan Otsus (Otonomi Khusus) yang diberlakukan pada tahun 2001, yang saat ini berjalan 20 tahun, tak menancapkan bekas yang berarti.

Solusi Papua Adalah Diterapkannya Syariat

Kapitalisme yang menjadi dasar ideologi negara, dengan ekonomi kapitalis yang tidak mempunyai batasan, tentu akan membawa manusia dalam dua kategori, sangat kaya dan sangat miskin. Dua pilihan ini yang akan selalu terjadi di belahan dunia mana pun ketika ekonomi kapitalis yang diterapkan. Meski kaya dan miskin adalah qada Allah, namun kesejahteraan harus tetap ada pada kelompok mana pun. Inilah yang tidak dimiliki kapitalis saat ini.

Di saat kapitalis memutus segala subsidi, dan membiarkan rakyat bergelut mencari kesejahteraannya sendiri, Islam dengan sistem ekonominya beranggapan bahwa kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Negara Islam akan memastikan rakyat hidup dalam keadaan cukup, meski ia terkategori miskin. Dalam artian, Islam akan memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi. Seperti sandang, pangan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Maka, kesejahteraan yang menjadi masalah Papua saat ini bisa diselesaikan dengan diterapkannya syariat Islam. Sebab, tanah Papua yang bergelimang emas dan tambang lainnya, akan dikelola negara dengan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu, pengelolaan mandiri juga akan membutuhkan banyak tenaga kerja. Hal ini dapat menjadi solusi persoalan pengangguran yang sering dijumpai dalam sistem kapitalisme. Pembangunan merata, pendidikan, dan kesehatan pun dapat terwujud saat hasil tambang dikembalikan untuk kepentingan rakyat.

Karena tambang merupakan salah satu hal yang menjadi hak rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput, dan api (tambang), dan harganya adalah haram”. Dengan dalil ini, maka haram hukumnya tambang dijadikan sebagai lahan investasi bagi swasta, baik lokal maupun internasional. Dan sepantasnya negara yang mengelola segala sumber daya alam dengan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat sendiri. Allahu a’lam bis-showwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Harga Minyak Membuat Rakyat Menjerit Serak
Next
Keharusan Mengamalkan Ilmu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram